Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anak juga bisa mengalami sembelit, ada yang disebabkan kelainan organ atau masalah pada organ. Begitu kata pakar kesehatan anak Prof. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A (K).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan 95 persen kasus konstipasi disebabkan fungsi organ bermasalah, sisanya disebabkan oleh kelainan organ. Dia menjelaskan empat gejala sembelit yang bisa dialami bayi atau anak. Pertama, frekuensi buang air besar dua kali dalam seminggu atau kurang dari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apabila satu hari BAB, besoknya tidak, lalu besoknya BAB, itu masih normal," kata Hanifah.
Gejala kedua adalah feses keras dan rasa sakit ketika buang air besar, lalu cepirit satu kali dalam seminggu. Tanda lain adalah anak menahan buang air besar, seperti feses terlalu besar sampai menyumbat WC karena anak sudah lama tidak mengeluarkan kotoran.
Dokter bisa memastikan gejala lain dengan memasukkan jari ke dalam dubur. Anak bisa disebut sembelit bila feses terasa besar dan keras. Hanifah mengatakan dalam sepekan anak minimal harus buang air besar sebanyak tiga kali.
"Kalau BAB dua kali seminggu itu dikatakan konstipasi secara frekuensi," ujarnya.
Pada bayi yang masih menyusui, frekuensi buang air besar yang sering dan tidak teratur yang jarang belum tentu konstipasi. Saat baru lahir dan mendapat ASI, bayi belum punya banyak enzim laktase di dalam usus. Padahal, ASI yang tinggi laktosa butuh enzim laktase agar bisa dicerna dan diserap tubuh.
"Karena enzim laktase pada bayi baru lahir itu kurang, jadi dia tidak bisa melakukan metabolism laktosa. Akibatnya BAB-nya jadi sering, sehari bisa sepuluh kali. Tapi dalam perkembangan, bayi itu bertumbuh. Dia jadi mempunyai enzim laktasenya lebih banyak, bahkan kemudian bisa 2-3 hari tidak BAB, kadang bisa seminggu, bahkan 10 hari. Selama BAB nya tidak keras, itu bukan konstipasi," tambahnya.
Konstipasi fungsional diduga diakibatkan rasa takut bayi atau anak yang trauma ketika merasa nyeri saat buang air besar akibat feses keras dan besar sehingga anusnya sakit. Rasa takut membuatnya menahan rasa ingin buang air. Akhirnya feses menumpuk hingga terlalu banyak dan memicu rasa sakit berulang.
Dia menjelaskan tiga waktu terjadinya sembelit yang harus diwaspadai orangtua. Pertama, saat anak mulai mengonsumsi makanan pendamping ASI, juga perubahan dari susu formula ke susu UHT, di mana ada perubahan pola makanan cair ke padat. Perubahan itu membuat kotoran jadi keras, lalu anak akan merasa sakit ketika buang air besar.
Kedua, ketika anak belum siap berlatih buang air di tempatnya. Ketika orangtua mengajari anak buang air sendiri di WC, bukan di popok, anak yang belum siap akan menahan sehingga feses jadi keras, kemudian justru jadi takut karena merasa sakit.
Latihan buang air di WC biasanya mulai dilakukan ketika anak berusia 1-3 tahun. Ia mengingatkan kepada orangtua untuk tidak memaksa anak agar tidak terjadi trauma. Pertanda anak sudah bisa toilet training adalah bisa menaikkan dan menurunkan celana sendiri dan tertarik untuk ke kamar kecil.
Ketiga, ketika anak masuk sekolah. Berada di lingkungan yang baru, melihat kondisi toilet yang berbeda dari rumah juga bisa berpotensi membuat anak mengalami sembelit. Konstipasi juga bisa terjadi karena anak menahan buang air bila tidak mau buang air di sekolah karena kondisi yang berbeda atau karena kamar mandi kotor.
"Orang tua harus observasi setiap hari apakah BAB anaknya lancar," kata Hanifah.
Sebaiknya orangtua rutin memantau anak atau bertanya apakah lancar buang air besar. Kemudian, berikan cairan serta serat yang cukup. Rumusnya adalah usia anak ditambah 3 gram. Untuk anak berusia 3 tahun, serat yang dibutuhkan adalah 8 gram.
Dia memaparkan sembelit tidak secara langsung berhubungan dengan nafsu makan anak. Tapi kotoran yang menumpuk di usus membuat anak merasa kenyang dan tidak nyaman saat makan. Si kecil juga bisa berpikir makan banyak akan membuat kotorannya banyak dan keras.
"Tiga hal tidak langsung tersebut membuat anak tidak nafsu makan bahkan tidak mau makan. Karena itu, beberapa anak yg mengalami konstipasi itu kurus, namun tidak semua. Waktu kita bereskan konstipasinya, makannya banyak, beratnya naik sendiri tanpa kita apa- apakan pada beratnya," paparnya