Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sensasi Mencicip Jamu di Kafe Ibu Kota

Pengalaman menjajal aneka racikan jamu di tiga kafe herbal di Jakarta. Tak cuma menjual, tapi juga memberi edukasi tentang jamu.

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peramu jamu Acaraki, Muhammad Dhani, membuat pesanan di Acaraki, Kota Tua, Jakarta. TEMPO/ Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah kafe berfokus mempertahankan dan mengembangkan eksistensi jamu Nusantara. 

  • Bergerak menciptakan ramuan jamu kekinian demi anak muda.

  • Di tengah ramainya jamu modern, ramuan herbal tradisional masih dicari orang. 

"Halo! Selamat datang." Suara ramah pria berkaca mata itu menyapa begitu saya membuka pintu masuk Acaraki, sebuah kafe jamu yang berlokasi di Gedung Kerta Niaga 3, kawasan Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat, Rabu, 29 Mei lalu. Pria bernama Muhammad Dhani itu lantas mempersilakan saya duduk. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di ruangan kafe dengan luas sekitar 60 meter persegi itu terdapat enam meja kecil dengan masing-masing dua kursi dan satu meja besar dengan lima kursi. Dhani justru menyarankan saya duduk di meja bar berbentuk huruf L yang dilengkapi lima kursi tinggi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi tamu yang datang sendirian, Dhani menyarankan untuk duduk di meja bar. Alasannya sederhana, agar tamu bisa berinteraksi dengan para acaraki. Selain nama kafe, rupanya acaraki adalah sebutan bagi orang yang berprofesi sebagai peracik jamu

Dhani menjelaskan, kata acaraki ditemukan dalam prasasti Madhawapura yang tercatat pada zaman kerajaan Majapahit. Dalam prasasti itu, tertulis beberapa nama profesi, salah satunya acaraki atau orang yang ahli meramu jamu. "Ada juga abhasana bagi pembuat pakaian dan angawari sebagai pembuat kuali," kata Dhani. 

Bicara tentang jamu, pada Senin lalu, tepatnya 27 Mei 2024, merupakan momen spesial merayakan Hari Jamu Nasional. Hari Jamu Nasional pada 27 Mei itu ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008. 

Sembari mengobrol, Dhani menawarkan sejumlah menu dari jamu spesial tradisional, seperti kunyit asam dan beras kencur, sampai jamu racikan modern semacam minuman golden sparkling yang merupakan campuran kunyit asam dan air soda kosong, bereskrim yang mengkombinasikan beras kencur dan es krim, atau ruby sparkling yang mencampur kunyit, hibiskus atau kelopak bunga sepatu, dan air soda. 

Jamu kunyit asam di Acaraki, Kota Tua, Jakarta. TEMPO/ Nita Dian

Pilihan saya justru jatuh pada magenta sparkling, minuman yang dibuat dari jahe, bunga talang, lemon, dan soda kosong. Tampilan minuman yang disajikan dingin ini begitu cantik lantaran degradasi warna ungu yang terang tampak melayang di atas air gula nan bening di dasar gelas. 

Rasa asam dari lemon dan manis dari gula serta kesegaran air soda dingin seperti mendapat guyuran air es di kepala. Terlebih, di tengah cuaca siang yang terik kala itu. Uniknya, ada sensasi hangat di tenggorokan setiap kali selesai meneguk minuman tersebut. 

Selanjutnya, saya mencoba jamu kunyit asam yang dibuat dadakan oleh Dhani di meja bar. Pertama, ia mengambil beberapa sendok kunyit kering yang sudah dihaluskan dari stoples kaca yang berjajar rapi di meja bar. Setidaknya ada 12 stoples berisi bahan herbal dan rempah. 

Aroma wangi berkarakter rempah dan tanah seketika menyeruak di sekitar meja ketika stoples dibuka. Selanjutnya, Dhani menyendok asam jawa yang sudah dikeringkan juga. 

Setelah itu, ia menghaluskan lagi kunyit dan asam jawa menggunakan mesin penggiling kopi. Tujuannya agar kedua bahan itu bisa mudah diseduh secara manual dengan metode V60 ala kopi. Selanjutnya, ia menyuguhkan seduhan kunyit asam itu ke dalam botol. Tak lupa ia menyiapkan gelas kosong berisi es batu dan gelas kecil lainnya berisi gula cair. 

Meski begitu, Dhani menyarankan saya mencicipi sedikit jamu itu tanpa campuran es dan gula. "Rasakan dulu cita rasa aslinya," kata dia. 

Jamu kunyit asam ini terasa agak pahit dan getir ditambah dengan aroma kunyit yang menyengat. Rasanya tak jauh berbeda dengan jamu kunyit asam yang dijajakan penjual jamu gendong. Bedanya, rasa rempahnya lebih segar, kuat, dan pekat. 

Namun ketika jamu berkelir kuning gelap itu dicampur dengan es batu dan gula cair, rasa minuman ini menjadi lebih gampang diterima lidah. Rasanya berubah menjadi segar, sedikit asam, dan manis, dengan meninggalkan aroma kunyit di rongga mulut.

Sembari saya menikmati jamu, Dhani terus berbicara menjelaskan manfaat ramuan herbal yang saya minum. Menurut dia, kunyit asam punya beragam manfaat, seperti meningkatkan sistem imunitas, mencegah kanker, sampai menyehatkan sistem pencernaan.  

Dhani juga tak berkeberatan menjelaskan berbagai hal tentang jamu, bahkan semua isi menu kafe Acaraki. Menurut dia, selain menjual jamu, kafe ini memang punya misi mengedukasi masyarakat tentang jamu dan manfaatnya. 

Seperti proses pembuatan jamu yang dilakukan secara manual di meja bar. Tujuannya agar pengunjung, terutama yang duduk di meja bar, bisa melihat proses pembuatan jamu. "Kami menjual story telling tentang sejarah jamu. Kami akan menceritakan sejarah jamu itu seperti apa," tutur pria 23 tahun itu. 

Pengalaman menikmati jamu tradisional dan modern di Acaraki makin lengkap berkat penataan interior kafe yang memadukan konsep kuno serta kekinian. Dari tampilan interior, kafe ini menggunakan dinding batu bata sisa bangunan zaman kolonial Belanda. 

Suwe Ora Jamu di M Bloc Space, Melawai, Jakarta. TEMPO/Nita Dian

Perjalanan saya menikmati jamu tak berhenti di Kota Tua. Berjarak 18 kilometer ke arah selatan, saya menyambangi kafe Suwe Ora Jamu di M Bloc Space, sebuah ruang kekinian yang sebelumnya merupakan area bekas perumahan pegawai Perusahaan Umum Percetakan Uang Negara (Peruri), Melawai, Jakarta Selatan. 

Kafe ini juga menjual nuansa klasik, dari dinding bata lawas sampai segala furnitur jadul, seperti kursi dan meja. Suwe Ora Jamu menjual sejumlah resep minuman, seperti beras kencur, kunyit asam, temu kunci, kunyit jahe, serai talang, temu lawak, dan wedang jahe. 

Masih ada jamu kekinian yang dikombinasikan dengan soda, seperti kunyit jahe, rosela pandan, serai talang, dan kayu manis. Ada minuman racikan bahan herbal unik, seperti wedang kelor lemon madu, wedang pala lemon madu, dan wedang pegagan lemon madu.  

Ada pula menu kopi, dari kopi hitam, kopi rempah, kopi jahe, hingga kopi kayu manis. Kafe ini pun menjual beragam makanan, dari camilan sampai makanan berat. 

Rabu lalu, saya sempat menjajal beberapa minuman jamu, seperti wedang seduh asmara yang terdiri atas akar kayu manis, kayu manis, dan serai. Dari tampilannya, minuman ini tampak cantik dengan kelir merah muda yang terang. Soal rasa, tentu saja sensasi aroma kayu manis dan serai menerobos rongga mulut serta hidung dengan cukup kencang. Minuman ini diklaim baik untuk kesehatan. Hebatnya lagi, seduh asmara diyakini bisa meredakan stres. 

Saya juga mencoba jamu yang dicampur air berkarbonasi alias soda, yakni rosela pandan. Minuman ini memiliki warna merah mirip air sirop rasa kokopandan. Namun, dari segi rasa, sensasi kecut dari bunga rosela kering mendominasi minuman ini dengan sedikit tambahan aroma pandan.

Berbagai menu jamu Suwe Ora Jamu di M Bloc Space, Melawai, Jakarta. TEMPO/Nita Dian

Pendiri Suwe Ora Jamu, Nova Dewi Setiabudi, mengatakan ide menjual jamu muncul kala ia pindah dari Surabaya ke Jakarta pada 2009. Sejak itu, ia kesulitan mencari minuman jamu yang sebelumnya mudah dia temukan di Surabaya. 

"Saat saya ajak teman untuk minum jamu reaksinya aneh karena menganggap saya sedang sakit karena butuh jamu," kata Nova saat ditemui di lokasi Suwe Ora Jamu di M Bloc Space.  

Walhasil, pada 2012, ia memulai membuka gerai kecil Suwe Ora Jamu di Petogogan, Jakarta Selatan. Menu yang ia jual saat itu hanya beras kencur dan kunyit asam. Perlahan barulah ia mengkombinasikan beragam rempah dan bahan herbal. 

"Saya kembangkan rasa-rasa yang dicampur tapi enak. Namun tak sekadar enak, harus berkhasiat dan ada sensasi saat diminum," kata Nova, yang saat ini bisa mengembangkan Suwe Ora Jamu hingga lebih dari lima cabang. 

Sajian jamu juga bisa ditemukan di Jamu Bukti Mentjos yang berlokasi di Jalan Salemba Tengah, Paseban, Jakarta Pusat. Kedai jamu satu ini memang legendaris. Maklum, Jamu Bukti Mentjos sudah berdiri sejak 1950-an. 

Saya sempat kaget ketika pertama kali berkunjung ke kedai ini pada Kamis, 30 Mei lalu. Sebab, saya menemukan lebih dari 60 jenis ramuan jamu dalam menu. 

Jamu Bukti Mentjos di Salemba, Jakarta. TEMPO/ Indra Wijaya

Ketika membaca menu secara detail, saya hanya bisa geleng-geleng kepala lantaran kedai ini menyajikan jamu komplet, dari untuk ibu hamil, untuk ibu setelah melahirkan, hingga untuk meredakan beragam penyakit, dari yang sepele, seperti sariawan, pegal linu, batuk, dan pilek, sampai masalah serius, seperti sakit pencernaan.

Saya pun mencoba memesan jamu untuk meredakan batuk dan pilek. Kebetulan saya sedang terserang flu. Setelah memesan, saya harus menunggu jamu yang saya pilih diracik dan diseduh selama 5 menit. Untuk jamu pereda batuk dan pilek, disajikan dalam dua cangkir kecil. 

Cangkir pertama berisi air seduhan rempah berwarna hijau kecokelatan dengan tekstur yang sangat pekat. Adapun cangkir satunya berisi air jahe yang manis. Rasa pahit dan aroma rempah yang teramat kuat seakan-akan menonjok mulut dan lidah saya. 

Maklum, ramuan jamu yang saya minum terdiri atas jahe, kencur, kapulaga, dan sambiloto. Sangat wajar jika rasanya begitu getir hingga membuat mata merem melek. Walhasil, air jahe manis menjadi pilihan saya untuk melenyapkan sisa rasa pahit di lidah dan aroma rempah yang tertinggal. 

Jamu temulawak asam dan wedang ronde di Bukti Mentjos di Salemba, Jakarta. TEMPO/ Indra Wijaya

Meski sudah tua, kedai jamu ini tak menolak perkembangan zaman. Buktinya, Mentjos tetap membuat aneka jamu yang punya rasa lebih nikmat untuk anak muda. Beberapa jamu, seperti beras kencur, kunyit asam, dan temu lawak asam, menjadi pilihan.

Produk jamu manis itu disimpan dalam kemasan botol plastik dan disajikan dingin. Saya sempat menjajal jamu temu lawak asam. Rasanya pun jauh lebih nikmat ketimbang jamu pahitan yang sebelumnya. Sesuai dengan namanya, jamu ini memiliki rasa manis dan asam serta aroma temu lawak yang cukup kuat yang tertinggal di rongga mulut. 

Salah satu pengunjung, Wildan Saputra, 37 tahun, mengaku hampir setiap pekan mampir ke Bukti Mentjos untuk minum jamu pereda sakit maag. Wildan rupanya sempat mengalami gangguan lambung cukup serius sejak 2020. Lewat saran pamannya, Wildan menjajal mengkonsumsi jamu. 

Mulanya, ia pesimistis jamu lebih manjur ketimbang obat. Namun setelah mengkonsumsi jamu pahit itu selama beberapa bulan, kadar sakit pada lambungnya berkurang. Hingga sekarang, dalam setahun terakhir, ia sudah tak mengalami sakit maag lagi. 

"Jadi, jangan remehkan jamu. Meski dianggap kuno, ini manjur dan saya yakin aman."   

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus