Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perokok anak di Kota Bogor rata-rata dimulai umur 12,8 tahun. Pemerintah Kota Bogor melakukan Survei Perilaku Merokok dan Implementasi Perda KTR pada Anak Sekolah di wilayah mereka pada 2019. “Kami menyurvei 30 sekolah dengan responden dari kelas 8 sampai kelas 12,” kata Wali Kota Bima Arya Sugiarto dalam webinar Indonesia Tobacco Control Strategic Roundtable 2022, Menerjemahkan Komitmen Pemerintah ke Dalam Aksi, Rabu, 2 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bima menuturkan fakta yang lebih memilukan. Sebanyak 32 persen anak-anak pernah merokok rokok konvensional, 21,4 persen masih merokok hingga sekarang, 30,8 persen pernah merokok rokok elektronik dan hingga sekarang masih merokok vape sebanyak 18,0 persen. “69 persen anak-anak melihat orang merokok di mal dan supermarker, 46 persen di perkantoran, 77 persen di restoran, dan 57 persen di sekolah,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Asia Pacific Cities Alliance for Health and Development ini mengatakan, sebanyak 17 persen anak-anak ini membeli rokok di warung dan 2 persen membelinya di minimarket. Sebanyak 22,2 persen responden, menghabiskan Rp 11 ribu untuk rokok. Nilai ini masih sangat terjangkau bagi mereka lantaran uang saku kebanyakan sudah di atas Rp 11 ribu.
“Selama ini kami banyak melakukan sidak di minimarket, tapi ternyata mereka kebanyakan membeli di warung, mungkin karena lebih dekat rumah dan pengawasan di minimarket melarang anak-anak membeli rokok,” ujarnya.
Ia menjelaskan, di warung, pemerintah menemukan iklan rokok secara terselubung. “Ada simbol-simbol dan ditangkap anak-anak.” Hal ini bisa dilihat dari data yang menunjukkan anak-anak melihat iklan rokok 82,3 persen di warung atau toko, 7,3 persen sales menawarkan rokok secara gratis, dan 6,2 persen menggunakan barang dengan label nama perusahaan rokok.
Bima bersyukur masyarakat Kota Bogor makin cerdas membantu mengawal Perda KTR. “Masyarakat terus mengawasi pelaksanaan Perda KTR , termasuk di dalamnya yang mengatur pelarangan iklan rokok di tempat strategis, di tempat-tempat strategis yang nyolong-nyolong pasang display, akan disidak masyarakat,” katanya.
Menurut dia, ada tiga kunci yang membuat pelaksanaan Perda KTR berhasil di wilayahnya. Tiga kata kunci ini bisa menjadi contoh di daerah lain.
“Satu, political will, kedua regulasi, dan ketiga kolaborasi dengan semuanya, melakukan riset-riset yang bertujuan meng-update pendekatan-pendekatan yang lebih relevan untuk memastikan langkah-langkah penyelamatan anak muda, dan pengendalian tembakau di wilayahnya masing-masing,” katanya.
President International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (UNION), Guy Marks menuturkan, saat ini diperkirakan ada lebih dari 235 ribu orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berkaitan dengan rokok di Indonesia. “Kita perlu buat aksi mendesak pemerintah Indonesia untuk memperkuat kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi prevalensi perokok anak dan menyelamatkan generasi muda Indonesia,” ujarnya.
Marks menuturkan, ada beberapa cara untuk mengurangi jumlah prevalensi perokok anak. Pertama, mencegah anak untuk merokok sejak dini. Untuk yang sudah terlanjur merokok, pemerintah harus mendukung perokok untuk berhenti merokok. Cara ini sudah ditempuh dengan dibukanya Layanan Berhenti Merokok di puskesmas. Kedua, menerapkan pajak yang tinggi dan melarang total iklan produk tembakau atau rokok.
Menurut Marks, di banyak negara, melawan industri rokok berlangsung permanen. Tapi mereka tidak kekurangan akal. Industri rokok mengganti produknya menjadi rokok elektronik dengan dalih untuk membantu berhenti merokok. “Kenyataan ini justru berbahaya. Pembuat kebijakan harus membuat aturan soal itu dan kami mendorong pemerintah melakukan tindakan pencegahan, termasuk melarang konsumsi produk tembakau di tempat-tempat umum,” ucapnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui angka prevalensi perokok anak terus meningkat, hingga 9,1 persen untuk anak usia 10-18 tahun. “Walaupun demikian, Indonesia berkomitmen menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 persen di tahun 2019 menjadi 8,7 persen di tahun 2024,” kata Menteri Budi.
Budi menjelaskan, Kementerian Kesehatan mendukung kenaikan cukai rokok, penyederhanaan sistem cukai tembakau, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship dari industri rokok, dan pembesaran peringatan kesehatan pada bungkus rokok. Dukungan optimalisasi pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan pajak rokok, kata dia, sebaiknya disalurkan ke daerah untuk membantu pembangunan kesehatan masyarakat.
“Pelaksanaan penguatan pengendalian tembakau memerlukan dukungan semua pihak secara kolaboratif, bersama pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya. Ia meminta daerah aktif mengadakan Layanan Berhenti Merokok dan mengimplementasikan Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.