Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dampak perubahan iklim sudah dirasakan secara langsung. Cuaca ekstrem, meningkatnya suhu, permukaan laut, hingga kadar karbon monoksida berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental, terutama pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2030-2050, perubahan iklim diperkirakan menyebabkan bertambahnya kematian sebanyak 250.000 per tahun karena malnutrisi, malaria, diare, dan dampak stres. Tak hanya itu, sebanyak 150 juta penduduk di perkotaan juga akan mengalami kekurangan air bersih pada 2050 dan 1,5 miliar orang diperkirakan tidak mempunyai akses pada sanitasi. Perubahan komposisi penduduk ke arah penduduk tua juga akan menyebabkan kerentanan terkait penyakit degeneratif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ibu hamil yang terpapar polutan berpotensi melahirkan anak dengan berat badan yang rendah. Belum lagi dampak perubahan iklim pada kesehatan reproduksi, yang mana terjadi disrupsi endokrin," ujar perwakilan dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan, dr. M Baharuddin SpOG., dalam diskusi terkait dampak perubahan iklim terhadap perempuan yang diselenggarakan Pita Putih Indonesia di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.
Gangguan endokrin merupakan kondisi ketidakseimbangan hormon tubuh akibat paparan zat kimia. Kondisi tersebut dapat memicu infertilitas atau gangguan kesuburan pada perempuan. Sejumlah penyakit yang dapat terjadi akibat gangguan endokrin di antaranya kanker prostat, kanker payudara, endometriosis, infertilitas, diabetes, sindrom ovarium polikistik atau PCOS, pubertas dini, dan obesitas.
Gangguan kesehatan tersebut sudah dirasakan banyak perempuan dan anak. Tak hanya gangguan endokrin, perubahan iklim berdampak pada semua tahapan kehidupan. Pada masa bayi dan anak, meningkatkan risiko kematian bayi, penyakit pernapasan, malnutrisi, hingga pada pembelajaran dan pendidikan.
Dampak pada kesehatan mental dan fisik
Pada masa remaja, dampak gangguan iklim mempengaruhi kesehatan mental, penyakit pernapasan, malnutrisi, hingga berkurangnya akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Di masa kehamilan, perinatal, dan pascamelahirkan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur, kelahiran mati, bayi dengan berat lahir rendah, kelainan bawaan, penyakit pernapasan, hingga hipertensi pada kehamilan.
Sementara saat dewasa, perubahan iklim berdampak pada penyakit jantung, ginjal, pernapasan, malnutrisi, dan kesehatan mental. Pada lansia, dampaknya pada peningkatan angka kematian, gangguan metabolisme, gangguan kognitif, dan risiko lebih besar terkena penyakit jantung dan ginjal.
Ketua Pelaksana Harian Pita Putih Indonesia, dr. Heru Kasidi, mengatakan perubahan iklim di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian sampai 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2050. Kerugian karena t DBD dan malaria saja diperkirakan akan bernilai Rp 45 trilliun. Selain itu, dampak pada kerusakan lingkungan berpotensi menyebabkan kehancuran yang permanen.
"Ini perlu menjadi perhatian bersama karena perubahan iklim seperti suhu udara memiliki dampak besar, misalnya kelahiran prematur yang meningkat 6-16 persen di kawasan Amerika Utara, Eropa, Australia, Selandia Baru, Sub-Sahara, dan Cina," jelas Heru.
Dampak perubahan iklim juga sudah dirasakan di Indonesia. Studi yang dilakukan para ilmuwan menunjukkan terlambatnya musim hujan mempengaruhi tinggi badan anak usia 2-4 tahun di Pulau Jawa. Begitu juga penelitian yang dilakukan Jayachandran S pada 2009, yang menganalisis dampak kebakaran hutan pada 1997 dan data sensus penduduk pada 2000, menunjukkan setidaknya 15.600 anak yang meninggal. Penelitian lain juga menunjukkan kebakaran hutan pada 1997 berkaitan dengan tinggi badan anak saat dewasa karena semasa dalam kandungan anak terpapar polusi akibat kebakaran hutan.