ADA apa dengan pelayanan medis kita? Hampir secara berkala terbaca dalam media massa berbagai berita perihal malapraktek yang sekaligus merupakan kritik pedas terhadap pelayanan medis. Malapraktek sebenarnya bukan hal baru, dan bukan cuma terjadi di Indonesia. Toh, ia begitu mencemaskan, karena datang bertubi-tubi di tengah bermacam pengumuman tentang meningkatnya pelayanan medis. Apa beda pelayanan medis dengan pelayanan kesehatan? Pelayanan medis mengutamakan pengobatan atas permintaan, dan mengandung hubungan individual antara dokter dan penderita. Sedangkan pelayanan kesehatan (health care), yang bicara soal sarana, jumlah dokter, imunisasi, dan sebagainya, sering kali merupakan urusan statistik yang dingin. Pelayanan medis, kata buku teks, lebih urusan manusia -- membutuhkan kehangatan. Lalu, menjawab kritik masyarakat terhadap pelayanan medis bisa sederhana: human error, kealpaan manusia. Bukankah dokter manusia juga? Tapi, nanti dulu. Kehangatan faktor manusia pada pelayanan medis punya dua sisi: dokter dan pasien -- bukan cuma dokter. Maka, titik api kritik masyarakat dalam hal malapraktek mungkin berada di sekitar hubungan ini. Hubungan antarmanusia pada pelayanan medis sering terabaikan karena interaksi antara dokter dan penderita dalam pengobatan berlangsung hampir di luar kesadaran. Padahal, pertalian itu sangat utama. "Kontrak" itu penting dan unik, karena upaya di baliknya sama sekali tak punya garansi kesembuhan -- ilmu kedokteran bukan ilmu yang pasti. Maka, penyembuhan adalah ikhtiar dua pihak mencari hasil maksimal: dokter menggayakan keahliannya, dan penderita patuh karena percaya. Mekanisme interaksi ini bersifat meraba. Ia mengandung berbagai ketidakpastian, baik di pihak dokter maupun pada penderita. Karena itu, berbagai perasaan bercampur, kadang-kadang kontradiktif. Harapan dan janji terjalin dengan kebimbangan, bahkan mungkin ketakutan. Maka, proses penyembuhan sebenarnya kerja sama yang tersendat-sendat, dan senantiasa terancam putus -- berbalik menjadi rasa kecewa yang menegangkan. Kalau kerja sama yang tertata baik bisa terancam, apalagi interaksi antara dokter dan penderita yang buruk, dan tidak manusiawi. Di sini, bukan cuma malapraktek yang mengancam, tapi juga diikuti tuntutan akibat rasa kecewa yang berlebihan. Ketegangan hubungan dokter dengan pasien, yang sudah ada sejak awal, pun meletus akhirnya. Mungkin itulah yang kini sedang terjadi. Dehumanisasi pelayanan medis akibat berkembangnya pelayanan kesehatan? Belum tentu. Mungkin, karena keterbatasan kemampuan melakukan pendekatan secara manusia, kepandaian menguraikan pokok persoalan dalam proses penyembuhan untuk membangun kerja sama, yang semua itu sangat bergantung pada frame of referenece. Memacu pelayanan kesehatan, melalui peningkatan jumlah dokter dengan cepat, sering kali membuat pendidikan dokter menjadi penuh keterbatasan. Termasuk kealpaan untuk mengingatkan kesadaran bahwa kemampuan dokter senantiasa terbatas. Diagnosa penyakit, menurut kelaziman medis disusun dalam klasifikasi yang disebut nosologi, walau sudah dibolak-balik selama 300 tahun, tetap tak sempurna, dan senantiasa berubah. Terapi, sebagai kelanjutan diagnosa, tak lain dari rangkuman pengalaman klinis. Karena itu, malapraktek, pada hakikatnya, senantiasa mengintip. Maka, bersikap terlalu yakin di tengah semua fenomena itu adalah terlalu berani dan gegabah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pelayanan medis ? Pertanyaan ini ternyata berlaku bagi ilmu kedokteran di seluruh dunia, tidak cuma di Indonesia. Salah satu pangkalnya adalah berkembangnya teknologi medis yang makin hari kian canggih, sehingga membangun ketegangan baru. Yaitu, imaji kecanggihan alat modern bisa meningkatkan persentase kemungkinan sembuh. Harapan yang melambung ini terempas bila yang terjadi ternyata kegagalan. Lalu, muncullah kekecewaan yang berlebihan. Ketegangan lain, teknologi medis membuahkan penyembuhan biaya tinggi, seperti terlihat nyata di Amerika Serikat. Beberapa tahun lalu, 30% dari kenaikan pelayanan medis di AS tercatat berpangkal pada investasi teknologi medis. Biaya yang dikeluarkan hanya untuk penggunaan dua produk teknologi medis, seperti CT Scanning dan hemodialisis, bisa 60% lebih besar dari pembiayaan keseluruhan rumah sakit setahun. Di Indonesia, ini bisa membangkitkan semacam hubungan bisnis yang kaya muslihat dan kecurigaan, baik pada dokter maupun pasien. Dokter memburu jumlah investasi, dan pasien minta uang kembali bila proses penyembuhan gagal dengan jalan menuntut. Perkembangan ke jalan buntu ? Tidak. Ilmu kedokteran, yang tak pernah sempurna itu, masih terus berubah. Mengamati munculnya berbagai ketegangan baru, di negara maju muncul pemikiran-pemikiran yang berbalik arah. Buku teks, yang sering dijuluki usang, dibuka kembali. Dan muncullah sistem penyembuhan yang patient oriented dan pendekatan bedside teaching. Apa itu? Tak lain interaksi antara dokter dan penderita yang lebih manusiawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini