DI tahun 1977 dan 1978 film seperti alat pengisap debu. Ia
berproduksi dengan gila dan mengisap karyawan untuk dijadikan
orang-orang gemuk berkantung tebal. Bayangkan 1977 produksi film
nasional mencapai 134 buah judul. Tahun 1978 merosot jadi 67
judul, tapi toh masih terasa serasa panen. Namun pada awal 1979
ini angin mati. Produksi film menjadi suram dan karyawannya
gentayangan memikirkan nasib di kemudian hari.
Tatkala tulisan ini diturunkan jatah untuk 1979 baru jalan 6
buah produksi. Akibat Bercinta, Ira Puteri Sepatu Roda, Kisah
Cinderella, Bayang-bayang Kelabu, Benci Tapi Rindu, dan
Perempuan Segala Musim. Maka badaipun menyerang hidup lebih dari
lima ratus anggota Parfi serta tak sedikit dari sekitar seribu
orang Karyawan Film Indonesia (KFT) terpaksa menjadi penganggur
berbulan-bulan lamanya.
Bisa Mampus
Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tiba-tiba diselenggarakan
pementasan sandiwara Jangan Kirimi Aku Bunga yang didukung
bintang film seperti: Rahayu Effendy, Dedy Soetomo, Wahab Abdi,
Hendra Cipta, Bung Salim dan Mansyur Syah. Orang lalu menuduh
bahwa orang-orang film memang sedang kurang kerjaan sekaran.
Karena itu di antara mereka ada yang terjun ke drama. Wahab Abdi
atau Soekarno M. Noor tidak mau mengatakan bahwa bintang film
main drama karena pasarannya sepi. Tapi mereka berdua memang
sedang tidak ada kontrak pada waktu pementasan itu berlangsung.
Chaerul Umam, sutradara AI Kautsar sudah 7 bulan menganggur
sejak filmnya yang terakhir Bidan Aminah. Untuk menyambung
hidup, bekas pemain drama ini kemudian mencari objekan lain. Ia
bikin kaset cerita untuk lagu-lagu Adi Bing Slamet. "Lumayan
sambil menunggu produksi berikutnya," kata sutradara itu kepada
Abdul Mutholib dari TEMPO. Seperti Umam bintang baru Yati
Surachman, sejak filmnya yang terakhir Ballada Sumirah juga
mengaku sudah 7 bulan jadi penganggur. "Kalau nggak main film,
nggak ada kerjaan, malasnya jadi terpelihara," kata Yati. Dia
masih menunggu sampai akhir tahun, kalau masih tetap sepi, ada
rencananya untuk cari kerjaan sebagai pegawai kantor.
"Dunia ini serasa gelap, saya tak tahu harus kerja apa. Harapan
saya sederhana: agar perfilman bisa seramai dulu lagi," kata
Agus Elyas, seorang asisten sutradara yang berusia 25 tahun. Ia
kejeblos ke film sejak 1971 sebagai juru lampu. Honornya hanya
Rp 30 ribu. Kemudian naik perlahan-lahan sebagai "pencatat".
Sebagai asisten sekarang ia dapat Rp 500 ribu. Tapi sejak
menyelesaikan Akibat Godaan pasarannya sepi. Sudah lima bulan ia
termangu-mangu karena tak ada produksi. Lalu ia sering
melirik-lirik, kalau-kalau "koperasi film" yang belakangan ini
banyak disebut-sebut sudah mulai berfungsi. Setidak-tidaknya
untuk mengganjal saku sementara. "Tapi saya kira sepuluh tahun
lagi itu baru terujud," kata Agus kepada Said Muchsin dari
TEMPO.
Agus adalah andalan keluarga untuk membantu nafkah ayahnya yang
sudah pensiun di Depkes sejak 1972. Ia pernah berniat untuk
menukar profesi melihat gelagat gawat belakangan ini. Tapi
setelah fikir kali fikir, ia batalkan sendiri mengingat akan
mulai dari nol lagi. Terpaksa ia terus mondar-mandir ke pusat
perfilman Haji Usmar Ismail di Kuningan, kalau-kalau ada
produksi baru. "Dari dulu sampai sekarang importir itu tak
pernah benar," umpatnya "ketika belum lahir SK, mereka mengejar
quota saja, tak pernah memikirkan cerita yang benar dan bagus.
Sekarang ini mereka berjingkrak selagi kita jadi penganggur ! "
"Suruhlah lagi importir bikin film, agar kita semua kebagian
kerja. Saya heran kalau ada yang senang melihat orang film
nganggur," kata Eddy Hansudi seorang stundman yang sudah
menyeberang jadi asisten unit. Ia masuk ke film 1970 sebagai
heldriver, tertarik karena melihat masih sedikit ahli pemain
pengganti yang baik. Dalam film Marabunta misalnya ia membuat
adegan tabrakan 2 mobil sampai hancur. Untuk pekerjaan yang
mempertaruhkan maut itu, honornya antara empat sampai lima ratus
ribu rupiah.
"Dunia film sepi, saya bisa mampus," kata lelaki yang berusia
36 tahun itu. Dia mengakui bahwa organisasi seperi Parfi dan
KFT memang baik, tapi dalam keadaan seperti sekarang, tak bisa
berbuat banyak -- misalnya memberikan bantuan uang. Untuk
mengisi kekosongan sekarang, dia coba-coba cari order untuk
sound system gedung. Hasilnya paling banter Rp 25 ribu sebulan.
Untuk orang film jumlah ini memang seperti sebiji ikan teri
saja.
"Idealisme saya sebagai stundman tidak lenyap. Kalau film ramai
saya akan kembali," kata ayah dari dua orang anak ini. Hanya
saja dia tetap khawatir, seandainya produksi film mulai gila
lagi, belum tentu ada film yang membutuhkan seorang stundman.
"Kerjaan saya memang cari penyakit," kata jagoan itu sambil
menunjuk kaki kanannya yang sempat hancur. Kecelakaan itu
terjadi April tahun lalu, sehingga ia terpaksa mengeluarkan
biaya setengah juta untuk biaya operasi. Tak apa. Tahun itu juga
ia sempat menyabet 6 buah film.
Resafel Kabinet
Pembantu juru lampu Mohammad Nur, tak mau pindah kerja. Ia
mengangap keadaan sekarang sebagai batu ujian. " Gali lubang,
tutup lubang dan mulai main hutang," ujarnya menjawab pertanyaan
bagaimana akalnya menyelamatkan diri. Anak Betawi asli berusia
25 tahun ini, sudah menguntit dua puluh film -- termasuk
dokumenter. Honor tertinggi yang pernah diterimanya Rp 150 ribu.
Kadang-kadang dikibulin produser sehingga pernah hanya dapat Rp
75 ribu. "Saya tak punya pilihan lain. Anak-anak perlu makan.
Kran uang saya di film, lain tidak, pengetahuanpun tak punya,"
ujarnya.
Biasanya tukang lampu ini paling sedikit dapat 3 buah film
cerita satu tahun. Tahun 1977 ia sempat kerja untuk 8 film.
Tahun ini masih menjadi pertanyaan besar. Amir Sanusi, seorang
juru lampu mengatakan bahwa tahun ini produksi paling-paling
akan mencapai 30 judul. Berbeda dengan Nur, Amir bersedia jadi
supir kalau ada yang mengajak. "Film lesu sekarang, 1982 saya
kira tentu ada resafel kabinet. Seorang pejabat kalau keluarkan
peraturan, sulit bersedia menggantinya dengan peraturan baru. "
Rahayu Efendy (37 tahun), bintang film yang sempat dikasih
julukan bom sex tidak terlalu pesimis dengan keadaan sekarang.
"Ini kan baru peraturan tentang impor, peraturan produksi belum.
Saya kira tak perlu pesimis," kata Rahayu. Dia mengatakan,
1965-1968 film juga lesu. "Sekarang tak seberapa dibandingkan
tahun itu, jadi jangan buru-buru kaget," katanya lebih lanjut.
Main di TV diakuinya sebagai pelarian. "Kalau produksi sepi,
satu tahun satu film. saya mau ngapain yang sepuluh bulan itu?"
tanyanya.
Jadi Sopir
Bagi Kahayu kendati ada 5 besar bintang film yang pakai standar
honor yang bikin gentar produser, pemain-pemain lain selalu
masih kebagian rezeki. Empat buah film sebagai peran pembantu
dalam satu tahun baginya sudah memadai untuk hidup. Dia juga
mengatakan bahwa artis film yang sudah di atas 30 tahun harus
sudah bisa survival. Di samping itu setiap artis tidak bisa
disamaratakan. Setiap orang memiliki ukuran hidup yang
berbeda-beda. Ia sendiri kelihatannya cukup sabar untuk menunggu
kebijaksanaan Menterl Penerangan Ali Murtopo, karena untuk
setahun ini ia masih ada persediaan. "Tapi jangan sampai
nganggur selama satu tahun, ah!" ujarnya.
Amir, juru lampu tadi, tentu saja tak mungkin sabar seperti
Rahayu. Honor harian Amir hmya Rp 5 ribu. Kadang-kadang sempat
ketiban film iklan dengan honor Rp 10 ribu sebulan. Tapi
sekarang makan siangnya saja sudah mulai tidak teratur. Padahal
waktu masih menjadi sopir Presiden Taxi, ia bisa mengoper Rp 10
ribu sekali tarik. Dengan uang itu ia sempat beli rumah di
bilangan Cempaka Putih seharga Rp 150 ribu. Tapi untuk kembali
sebagai sopir taxi sekarang agaknya sulit. "Banyak saingan dan
setorannya berat," kata Amir. "Sebaliknya dalam keadaan
sekarang, berharap dari film sulit sekali."
Seperti Rahayu, Tuty S. produser pemilik PT Tuty Jaya Film juga
tidak begitu resah dengan keadaan sepi ini. Dia termasuk
produser "film murni" yang tidak berproduksi untuk mendapatkan
jatah impor. Dia mengaku tidak pernah menjadi "kuli" dari para
importir yang seradak-seruduk bikin film untuk mempertahankan
bisnis impornya. Berhentinya produksi dari raksasa-raksasa itu
tentu saja tidak mempengaruhi aktivitasnya Terhadap SK Menpen
No. 244 tahun 1978 yang dituding oleh banyak orang sebagai
gara-gara topan badai, Tuty malah berkata: "Mungkin Pemerintah
ingin tahu apa sebenarnya faktor sesungguhnya yang membuat
banyak produksi pada saat yang lalu. Dorongan idealisme atau
sekedar melaksanakan kewajiban?"
Sebaliknya Bai Isbahi (36 tahun) sutradara menantu Tuty S
terang-terangan mengatakan susah. "Saya ini kan orang lapangan,
kalau film sepi merupakan suatu problema yang susah saya
pecahkan," ujarnya. Dia mengatakan kalau film tidak bisa
menghidupi lagi dia akan terjun jadi sopir atau pemain band.
"Kalau terus-terusan sepi, yang tertutup bukan hanya kemungkinan
dapat penghasilan dari film itu, tapi juga kesempatan berkarya,
saya hanya cukup dua film satu tahun," ujarnya.
Ada seorang juru kamera yang sudah lama siap dengan keadaan
pasang surut seperti sekarang. Dia adalah Fes Tarigan MA. Orang
ini lulusan All Union State Government Institute of Cinema to
Oraphy Moscow 1971. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia segera
sadar bahwa film di negeri ini memang belum menjadi industri.
"Saya termasuk yang tidak semata-mata mengandalkan film cerita,
saya lebih beruntung bisa mengerjakan film-film iklan," ujarnya.
Meskipun belakangan ini ia tergolong juru kamera yang laris,
sepak terjangnya di dalam film-film iklan tetap. Kabarnya
rumahnya yang mentereng juga sebuah Citroen baru yang dipakainya
sekarang, justru datang dari film iklan.
Tarigan sudah mengkombinasikan idealisme dengan kenyataan bahwa
film masih merupakan sumber yang labil. Karena itu tak heran
kalau dia menggantungkan juga hidupnya dengan mengusahakan bus
angkutan Jakarta-Bogor dengan hasil Rp 30 ribu sehari. Jadi
keluarga tidak semata-mata bergantung dari uang lubang
kameranya. "Honor juru kamera kita sudah termasuk tinggi, di
Australia rata-rata $ 100 per hari, kita lebih dari itu. Hanya
kontinyuitas kita tidak terjamin," kata Tarigan. Kemudian ia
tambahkan: "Perfilman kita semustinya jadi industri dulu, di
samping ada usaha mempertahankan kwalitas produksinya. Sebab
kalau tidak mengarah ke industri, kalau kesempatan produksi
kurang, bagaimana munkin kita punya kesempatan bikin kwalitas
yang baik? "
Bintang dan juga sutradara Wahab Abdi (41 tahun) pada mulanya
juga membuat kombinasi seperti Tarigan. Di samping main film ia
juga main drama dan menjadi pengusaha yang menjual mesin ketik
pada 1972. Ia mengakui pada masa itu dibanding dari film, duit
dari mesin ketik lebih banyak. "Tapi hidup ini bukan kejar duit
saja, tapi kreasi, hidup saya ini rupanya kayak roda," kata
Wahab. "Sekarang sudah saya putuskan seratus prosen di film, tak
ada kemungkinan ke dunia lain." Menghadapi akibat SK Menpen
sekarang, Wahab masih tetap memegang keputusannya. Untuk mencari
lapangan lain, memerlukan penyesuaian dan belajar. Itu makan
waktu. "Kalau tak tekun dalam satu bidang ke mana-mana tak
bakalan jadi," kata Wahab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini