Bilakah kedamaian datang padaku
mengusir duka dalam hati
Bisakah kemelut berganti diri
atau menyamar jadi simfoni
. . . . . . . . .
dengarlah nyanyianku ini
supaya Engkau tahu
betapa rindunya aku akan ketenangan .....
SEMINGGU setelah menulis sajak itu di hotei Flobamoz Kupang,
Siti Nasiroh meninggal dunia. Pramugari Garuda ini jatuh
berkeping-keping bursama pesawat terbang Fokker-28 "Sambas" di
Pusung (Gunung) Lingker, sebuah bukit memanjang di pegunungan
Tengger Selasa petang 6 Maret. Tiga awak lainnya -- pilot
Suyitno, co pilot Erwin pramugara Bambang Sriwijaya -- juga
bernasib sama.
Lokasi jatuhnya pesawat itu jaraknya tinggal 90 km dari lapangan
Juanda Surabaya -- tempat pendaratan yang direncanakan. Dalam
jarak dekat itu, pilot Suyitno harus sudah menurunkan pesawatnya
menjadi 4.000 kaki (1.220 m). Tentu saja pesawat membentur
lereng gunung lantaran daerah itu tingginya sudah 2.000 meter.
Adakah Suyitno salah jalan? Menurut peta yang dilihat TEMPO di
lapangan terbang Juanda pesawat itu seharusnya lewat di atas
Kraksaan, suatu daerah di dekat pantai. Suyitno sendiri, menurut
sumber TEMPO memang baru kali ini terbang dari Denpasar ke
Surabaya.
Tapi menurut R.A.J. Lumenta, Sekretaris Perusahaan Garuda, rute
itu sebenarnya bukan asing bagi Suyitno. Sebab latihan sebagai
co pilot maupun pilot F-28 dilakukan di Denpasar. Dan bila
kekurangan bahan bakar, mereka sering mengambilnya ke Surabaya.
Lagipula rute baru di kalangan penerbangan tidak bisa dipakai
alasan bagi seorang pilot untuk menolak terbang. "Asal saja
pilotnya harus dapat brifing dulu," kata Lumenta. Juga kenapa
Suyitno tidak lewat di atas Kraksaan, karena jalur
Denpasar-Surabaya memang punya beberapa pilihan.
Tidak jelas mana yang benar. Yang jelas, dari surat Suyitno yang
dikirimkan kepada orang tuanya di Bondowoso menyebutkan bahwa
jabatan pilot itu baru diperolehnya sekitar 2,5 bulan yang lalu.
Sebelumnya, Suyitno menjadi co pilot DC-9 selama 1 tahun. "Yang
dimaksud sudah sering terbang Denpasar -- Surabaya barangkali
sebagai co pilot," ujar sumber TEMPO menjelaskan.
Tower di Juanda sebenarnya sudah bisa berhubungan dengan
Suyitno. Maka itu ketika hubungan itu tiba-tiba putus, para
petugas di tower - terutama petugas puteri -- menjerit." Kami
sangat panik dan lantas menangis. Soalnya kami mengira pesawat
itu penuh penumpang," ujar seorang petugas.
Di samping sudah bisa bicara dengan tower, Suyitno, menurut
sumber TEMPO sempat melakukan percakapan dengan pesawat F-28
yang dikemudikan pilot Sutrio. Pesawat Sutrio ini memang hanya
10 menit di depan Suyitno -- sama-sama dari Denpasar menuju
Juanda. Pesawat Sutrio inilah yang mengangkut 37 penumpang asal
Banjarmasin yang bertujuan ke Surabaya tapi terpaksa diturunkan
di Denpasar lantaran keadaan cuaca yang tidak mengijinkan
Suyitno mendarat di Juanda. Kebetulan pesawat Sutrio yang
membawa penumpang dari Kupang ke Juanda ini hanyaada 15
penumpang. Tapi ketika penumpang 'Sambas' pindah ke pesawat
Sutrio, tiba-tiba Suyitno dapat perintah agar saat itu juga
kembali ke Surabaya karena besok paginya harus terbang dari
Surabaya ke Semarang. "Penumpang yang baru saja pindah, kalau
mesti dipindahkan lagi, ya, repot. Mereka bisa protes," kata
Lumenta. Dan perintah terbang itu yang dilakukan Jakarta atas
sepengetahuan chief pilot F-28, memang agar jalur penerbangan
Garuda tidak terganggu. "Sebab rencana penerbangan Garuda bisa
kacau," kata Lumenta lagi.
Dari keadaan sekitar lereng Pusung Lingker, tidak terdapat tanda
menabrak gunung. Tidak ada lereng yang luka berat. Kalau keadaan
lereng ini bisa dipercaya, kemungkinan pesawat itu terhempas
keras lebih meyakinkan. Dan lagi saat itu, angin bertiup sangat
kencang dengan membawa kabut berkadar air yang tebal. Di bukit
itu sendiri, angin melingkar-lingkar tidak tentu arah. Malam itu
juga beberapa rumah penduduk yang lebih rendah merasakan
kencangnya angin itu. Rumah Marpuk misalnya, atapnya tersingkap.
Panut, tetangga Marpuk sampai-sampai tak berani di dalam rumah.
Menggelegar
Isteri Panut bersama lima orang anaknya tidak berani ke luar
rumah lantaran dinginnya. Keenam manusia ini duduk berjongkok
melingkari tungku sambil si kecil menyusu ibunya. Saat itulah,
sekitar jam 7 malam terdengar suara kapal terbang. Panut yang
berada di luar segera menengadah dan dilihatnya api di sebelah
kiri pesawat. Sesaat kemudian, terdengarlah suara menggelegar
diiringi kobaran api yang membuat rumah dan sekitarnya terang
benderang selama sekitar seperempat jam. Rumah Panut, termasuk
deretan yang terdekat dengan bukit meskipun kalau berjalan kaki
masih 1 jam. Dari depan rumahnya ini, kalau siang, bisa dilihat
puing-puing pesawat yang berserakan ibarat sobekan-sobekan
kertas yang dihamburkan.
Dan Siti Nasiroh, 25 tahun, anak ke 7 dari 8 bersaudara berdarah
suku Banjar kelahiran Surabaya yang tamat SKKA 4 tahun lalu dan
masuk Garuda itu, seperti telah betul-betul tahu akan pergi ke
"ketenangan". Satu hari sebelum meninggalnya, berhasil menjahit
3 potong baju. Padahal, "biasanya tiga minggu pun satu baju pun
belum karuan selesai," ujar H. Atimah, ibunya.
Nasiroh memang selalu menjahit pakaiannya sendiri dan juga
menjahitkan pakaian saudara-saudaranya. Dan ia, di hari-hari
terakhirnya, rajin sekali sembahyang dan mengaji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini