Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Berita Tempo Plus

Bukan Sekadar Penutup Kepala  

Indonesia kaya akan ragam penutup kepala perempuan yang perlu dilestarikan. Tidak hanya untuk acara adat, tapi juga bisa dipadu-padankan untuk penggunaan sehari-hari.

31 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Penutup kepala Kuluk Beselang Merto khas Jambi. Dok. indonesia.go.idJ/ambi Rantau
Perbesar
Penutup kepala Kuluk Beselang Merto khas Jambi. Dok. indonesia.go.idJ/ambi Rantau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Festival Penutup Kepala Nusantara menyuguhkan aneka penutup kepala dari berbagai daerah di Indonesia.

  • Tidak hanya digunakan untuk ritual atau acara adat, tapi juga bisa dipadu-padankan menjadi busana sehari-hari.

  • Namun tradisi menggunakan penutup kepala ini mulai tergerus oleh berbagai faktor.

Semua perempuan itu mengenakan penutup kepala dalam rangkaian acara penutupan Festival Penutup Kepala Nusantara, Kamis, 28 Oktober lalu. Ada Niluh Djelantik, pendiri dan Direktur Kreatif Niluh Djelantik, yang memproduksi sepatu dan wastra Nusantara, yang mengenakan kebaya dan penutup kepala dari selendang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ada pula komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti, yang mengenakan penutup kepala ala masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan. Bentuknya seperti kupluk pendek datar berwarna kuning keemasan. Penutup kepala bermotif Garuda Mungkur itu menggambarkan karakter perempuan Sunda yang dinamis, optimistis memperjuangkan nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Dibuat dari batik tulis. Motif ini tidak setiap saat kami pergunakan. Biasanya kami pakai saat memperjuangkan hak masyarakat adat,” ujar Dewi dalam acara yang digelar secara daring di saluran YouTube itu.

Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara diadakan Komnas Perempuan sejak Agustus hingga 28 Oktober 2021. Para peserta festival diajak mengirim foto dan video yang memperlihatkan mereka mengenakan penutup kepala tradisional daerah asalnya. Puncaknya, dalam acara penutupan, sejumlah peserta memamerkan penutup kepala masing-masing.

Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti. Dok youtube

Ada peserta dari Simalungun mengenakan bulang. Ada dari Tanah Karo mengenakan penutup kepala yang disebut tudung (kain penutup yang biasa dipakai ke ladang). Ada yang mengenakan selembar kain bermotif bunga dan diletakkan di kepala--penutup kepala yang disebut tudung manto, yang dulu dipakai di zaman Sultan Lingga.

Ada juga peserta dari Kabupaten Tungkai Merangin, Jambi, mengenakan tengkuluk cincin. “Ini maknanya tanggung jawab seorang perempuan, ibu, kepada keluarga dan masyarakat. Dulu dipakai istri pemangku adat, tapi kini bisa dipakai masyarakat biasa di hari besar adat,” ujar Ade Erlina, Ketua Komunitas Pencinta Tengkuluk.

Ade tergerak untuk tetap mengenakan penutup kepala ini dalam kesehariannya. Biasanya tengkuluk dipakai melengkapi pakaian baju kurung dan kain. “Bagaimana biar tetap bisa dipakai untuk keseharian,” tanya Ade kepada perancang busana Athan Siahaan.

Athan mengatakan tengkuluk Jambi memiliki banyak ragam, bisa dipilih kain-kain dengan motif sederhana, bukan yang berumbai, untuk dililitkan. Tengkuluk itu bisa dipadu-padankan dengan busana sehari-hari sesuai dengan suasana dan acara. “Banyak motif kain yang bisa dipakai lebih sederhana untuk dililitkan untuk sehari-hari, tanpa mengurangi makna dan estetikanya.”

Athan telah lama melestarikan wastra Nusantara dan mengaplikasikannya dalam rancangannya. Pada beberapa desainnya, ia juga menerapkan penutup kepala tradisional yang sudah dimodifikasi. Menurut dia, ragam penutup kepala Nusantara ini membanggakan, menjadi sumber kekayaan dan inspirasi dalam dunia desain dan wastra.

Perancang busana Athan Siahaan. Dok Youtube

Beberapa peserta juga menyampaikan cerita di balik penutup kepalanya tersebut. Nama, bentuk, jenis, dan kainnya pun sangat beragam. Dewi Kanti mengatakan  tradisi penutup kepala memperlihatkan betapa Indonesia kaya dengan ragam tradisi budaya. Perempuan Nusantara mempunyai daulat atas tubuh dan pakaiannya.

Sayangnya, menurut dia, tradisi ini mulai tergerus oleh berbagai faktor. Akibatnya, banyak orang tidak lagi familiar dengan penutup kepala tradisional. Salah satu sebabnya, kebijakan penyeragaman, perlakuan diskriminatif, dan politik identitas. “Harapan kami, festival ini jadi gerakan kebudayaan yang membangkitkan memori kolektif sebuah bangsa, menggali makna di balik penutup kepala. Bukan untuk penyeragaman,” ujarnya.

Dewi juga menjelaskan, penutup kepala bukan sekadar identitas budaya atau daerah, tapi punya fungsi dan makna. Ia mengatakan hal ini penting untuk  dirawat. Ia berharap penutup kepala Nusantara memunculkan kesadaran akan karakter bangsa. “Simbol wajah kebudayaan bangsa. Kita merayakan keragaman yang ada untuk menemukan mozaik kebinekaan bangsa yang utuh,” tutur salah satu tokoh masyarakat adat Sunda Wiwitan ini.

Penutup kepala ini, kata dia, merupakan ragam kreativitas dan hasil komunikasi perempuan dengan lingkungan sekitarnya. Ragam penutup kepala ini bisa dipakai kapan saja, untuk acara ritual hingga untuk bekerja.

DIAN YULIASTUTI                                                           

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus