Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberi 10 rekomendasi penanganan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia agar lebih efektif dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI, Prof. DR. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM, pada gelar wicara daring, Kamis, 30 November 2023, mengatakan rekomendasi tersebut ditujukan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, yang disusun berdasarkan masalah paling sering dialami penderita HIV/AIDS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita tidak sedang baik-baik saja. Sejak pandemi COVID-19, kondisi HIV saat ini pada posisi yang gawat, rencana-rencana penanganan menjadi berantakan dan terbengkalai, terjadi kemunduran, angkanya terus meningkat, banyak pula yang putus pengobatan,” paparnya.
Rekomendasi pertama adalah pelaksanaan terapi antiretroviral (ART) rutin setiap tiga bulan yang ditanggung BPJS. Kedua, pembukaan layanan pengobatan daring tanpa tatap muka atau telemedisin yang juga ditanggung BPJS. Zubairi mengatakan, yang sebelumnya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) perlu berobat ke layanan kesehatan seminggu hingga sebulan sekali, bisa dilakukan hanya tiga bulan sekali bila virus telah mencapai jumlah minimal dan terkendali. Hal ini tentu dapat membuat pengobatan menjadi lebih efisien dan mudah, mengurangi tingginya angka putus pengobatan di kalangan ODHA.
“Biasanya setelah tiga bulan, paling lama enam bulan, jumlah virusnya akan minimal sekali. Maka pada waktu itu tidak akan terjadi lagi penularan, jadi begitu tidak terdeteksi mestinya tidak perlu datang periksa dan dapat obat antiretroviral (ARV) sebulan sekali. Standar internasional juga tiga bulan sekali begitu terkontrol,” ujar Zubairi.
Obat HIV/AIDS
Selain itu, obat khusus HIV/AIDS yang sebelumnya diberikan sebanyak kombinasi tiga obat menjadi hanya dua, yakni kombinasi dolutegravir dan lamivudin. Zubairi menyebut kombinasi obat ini terbukti bekerja lebih baik dari kombinasi sebelumnya yang dapat berisiko pemburukan fungsi ginjal. Kombinasi dua obat ARV ini juga telah ditetapkan sebagai landasan obat HIV/AIDS di berbagai negara.
Rekomendasi keempat yakni penyediaan obat tuberkulosis (TBC) sebagai langkah pencegahan. ODHA diketahui sangat rentan terinfeksi TBC sementara ketersediaan obat tersebut sering tidak terpenuhi. Kelima, baik pemerintah maupun instansi terkait perlu untuk menggandeng media dalam rangka perluasan edukasi mengenai pengobatan HIV/AIDS.
Keenam, memperbanyak relawan untuk membantu tenaga medis memberi konseling pengobatan kepada ODHA. Selanjutnya, penanganan ibu hamil dan anak dengan HIV juga butuh lebih diperhatikan berdasarkan jumlahnya yang terus meningkat. PB IDI juga merekomendasikan pemerintah mengadakan Hari Tes HIV Nasional yang secara resmi dimasukkan ke dalam kalender Indonesia untuk deteksi yang lebih masif.
Rekomendasi kesembilan adalah pembukaan lapangan pekerjaan yang lebih adil bagi penderita HIV/AIDS. Stigma negatif terhadap ODHA hingga saat ini sangat mempengaruhi kehidupan mereka, termasuk dalam hal mencari penghasilan hidup. Terakhir, PB IDI merekomendasikan koordinasi, kepemimpinan, dan kerja sama yang sinergis dalam mencapai seluruh rekomendasi tersebut.
“Jadi untuk semua rekomendasi tersebut tentu diperlukan kesamaan pendapat untuk dikerjakan secara nasional, perlu koordinasi, perlu kerja sama tim yang lebih baik agar target menghentikan masalah AIDS di 2030 dapat tercapai,” tegas Zubairi.