Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gender dysphoria adalah sebuah fase yang dapat dialami oleh transgender. Gender dysphoria merupakan kondisi saat transgender berusaha memahami perbedaan identitas gender. Yang perlu ditegaskan adalah, gender dysphoria bukan gangguan mental. Dan tidak semua transgender mengalami gender dysphoria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gender dysphoria membuat seseorang merasa jenis kelamin seksualnya tidak selaras dengan identitas gendernya. Dikutip dari laman Sehatq, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders atau DSM-5 menyatakan gender dysphoria adalah kondisi yang muncul ketika seseorang mengalami ketidaknyamanan karena merasa jenis kelamin biologis dengan identitas gender dia tidak sesuai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenis kelamin dan identitas gender adalah dua hal berbeda. Jenis kelamin mengacu pada aspek biologis yang dikotomi: laki-laki atau perempuan. Adapun identitas gender merujuk pada peran sosial dan budaya dari perempuan atau laki-laki.
Baca juga:
Mengaku Transgender, Elliot Page Dapat Dukungan Selebritas Hollywood
Dalam gender dysphoria, seseorang merasa aspek biologis yang ada sejak lahir tidak sesuai dengan identitas gendernya. Gejala gender dysphoria bisa muncul sejak seseorang berusia 2 tahun.
Berikut gejala gender dysphoria:
- Pada anak-anak, secara konsisten menolak mainan atau busana yang tidak sesuai dengan identitas gendernya
- Merasa tertekan saat mengalami pubertas
- Tidak menyukai alat kelamin sampai menolak mandi, bergantik pakaian, dan berhubungan seksual
- Memiliki keinginan kuat untuk menghilangkan alat kelamin dan ciri-ciri biologis
- Menyampaikan keinginan ganti kelamin
Jika anggota keluarga menunjukkan gejala gender dysphoria, sebaiknya bicarakan baik-baik tentang apa yang dia rasakan. Pahami sudut pandangnya dan jangan langsung menghakimi apalagi menghukumnya. Jika dia itu memutuskan menjadi transgender, hormati pilihannya.