Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Paisri yang pasrah

Kebangkrutan pabrik rokok grendel tidak saja mengurangi devisa negara tetapi juga nasib ke 5.500 buruhnya yang kehilangan pekerjaan. buruh yang kebanyakan wanita itu terancam masa depan yang suram. (sd)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA ribu lima ratus wanita kehilangan duit di Malang. Mereka yang setiap pagi dan sore berbaris pergi dan meninggalkan pabrik rokok itu, sekarang berhenti bekerja. Pagi yang sibuk, dengan seribu macam potongan dan -- warna kaum pekerja, diganti dengan angka-angka kerugian yang panjang di kantor bea cukai. Sebab bukan hanya sebuah gambar manis terhapus oleh kebangkrutan pabrik rokok Grendel. Tapi juga Rp 100 juta penghasilan negara tiba-tiba berubah jadi angin kosong. Paisri, hitam manis, sweet seventeen, hanya kehilangan Rp 8 ribu setiap bulan. Angka yang terlalu kecil untuk diperhitungkan, karena berita kebangkrutan dan nasib 5.500 buruh itu sudah dipaparkan dengan pulasan kwas yang besar. Lagi pula ia pendatang baru dibanding buruh-buruh lain yang sudah mencatat masa kerja sepuluh tahunan. Tapi Kasdi, bapak Paisri, merasakan ini sebagai pemotongan yang berat. "Sebab kalau toh Grendel buka lagi, yang boleh kerja lagi hanya yang sudah punya pengalaman kerja 5 tahun ke atas," kata Paisri sendu kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. Dipingit Bagi Kasdi, masuknya Paisri ke dalam kelompok 5.500 buruh Grendel itu sangat penting. Sebagai tukang pacul, sehari suntuk penghasilannya hanya Rp 3 50. Paisri sendiri menerima Rp 20 setiap 1000 lembar pita bandrol (cukai) yang dapat ditempelkannya pada bungkus rokok. Harap dicatat, ia mampu menempelkan 800.000 pita setiap bulan. Dari Rp 8 ribu upah yang kemudian diterimanya, Rp 2 ribu sudah dipastikan sampai ke tangan Kasdi. Rp 2 ribu untuk arisan. Sisanya habis untuk makan siang selama kerja. Bagi Paisri pekerjaan itu juga berarti sangat banyak. Ia anak sulung. Tapi bapaknya tak sempat memanjakannya karena miskin. Ia hanya disekolahkan sampai kelas 3 SD. Menginjak dewasa, bapaknya mulai memingit. Hidupnya praktis menjadi datar dan membosankan. Untung Enik, tetangganya yang bekerja di pabrik Grendel, pindah kerja ke pabrik Dji Sam Soe unit Malang. Enik yang tahu kesulitan keluarga Kasdi menjawil Paisri untuk mengisi tempat yang ditinggalkannya. Kasdi pada mulanya melarang, karena umur Paisri sudah 15 tahun. Dia bertekad untuk memingit terus si hitam manis itu. Tetapi setelah melihat angka-angka yang mungkin diterima anaknya, ia rela. Apalagi adik-adik Paisri sudah gede-gede, jadi kan tidak memerlukan pengasuh lagi. O ya, Enik tetangga Paisri itu pindah kerjaan bukan semata-mata untuk menolong Paisri, tentunya. Karena ia juga miskin seperti Kasdi, matanya jadi jeli. Pertengahan tahun lalu ia mulai melihat tanda-tanda zaman buat pabrik tempatnya menggantungkan perut itu. Merasakan adanya keseretan, ia cepat cari harapan baru -- pada pabrik Dji Sam Soe. Betul saja. Grendel kemudian menggelayut turun dari kesibukan. Enik berhasil menyelamatkan nyawanya. Sedang Paisri baru mulai girang-girangnya bekerja. Ia menghirup udara merdeka di luar rumah. Sering pegang uang. Bahkan setelah 5 bulan, di lehernya bergantung kalung emas 7 gram. Ini gara-gara ia ditabrak arisan sebesar Rp 15 ribu. "Kalung ini akan tetap saya pakai sampai tua," ia pernah berkata. Entahlah janji itu akan bisa ia pe gang terus, misalkan nanti kebutuhan hidup kian meruncing. Bapaknya tidak pernah lebih maju dari seoran tukan pacul -- maklum buta huruf. Jadi wajar kalau Paisri yang mulai pegang uang sekepeng dua kepeng gelisah dalam masa-masa kosong ini. Kesungguhan buruh muda ini jelas terlihat pada usahanya untuk menjaga disiplin. Subuh pukul 4 ia sudah bangun, dandan ala kadarnya, lalu jalan kaki sepanjang 4 km. Perhatiannya pada pekerjaan, penuh -- meski apa yang dikerjakannya sepele. Tiga minggu pertama, yang jadi ujian, dapat dilaluinya dengan baik. Selama itu dia tidak terima upah -- ini memang peraturan. Bahkan ia tidak mengeluh. "Daripada di rumah terus. Di sini kan banyak teman," katanya. Maklum gadis. 18 Ribu Buruh Pengalaman pertama jadi buruh dibuka dengan peristiwa tidak enak. Suatu hari sejumlah pita yang menjadi tanggung jawabnya, hilang. Paisri takut sekali. Ia khawatir akibat kelengahan itu ia langsung dipecat. Untung di dalam pabrik berlaku peraturan: siapa yang menghilangkan harta pabrik, hanya dikenakan keharusan membayar sejumlah uang sebagai pengganti. Paisri kemudian dengan senang hati menyerahkan upahnya, untuk mengganti Rp 20 per bandrol yang hilang. Entah berapa waktu itu. Selanjutnya ia berusaha lebih teliti. Ternyata tidak sulit. Hanya harus membiasakan tangannya ngebut menempel. Tak lama kemudian ia juga mulai pandai mewarnai pergaulan dalam ruang kerja. Karena pekerjaan tidak memerlukan otak, sementara tangan sibuk, mulut para buruh biasa diumbar membicarakan apa saja. Kadangkala soal pacar, "mode", atau film Melayu. Dari sini berkembanglah sedikit demi sedikit pengetahuan gadis yang tadinya hanya bertugas mencuci dan masak ini. Misalnya ia mulai tahu bagaimana hotnya Roy Marten main cinta sama Yenny Rachman dan Yatty Octavia di dalam film. Ia sendiri tak pernah nonton. Setelah kalung terbeli, kejutan pertama muncul karena pabrik mengurangi angka produksi. Penghasilan yang diterimanya susut menjadi Rp 6 ribu. Paisri tak bisa berkata apa-apa. Kecuali pasrah. Tapi ketika kemerosotan makin laju, lalu di tangannya hanya ada Rp 4 ribu untuk satu bulan kerja, ia mulai berdoa. Berharap agar semuanya hanya sementara saja. Teman-temannya yang telah tahunan nongkrong dalam pabrik menyabarkan: bahwa setiap kali musim paceklik, angka produksi memang suka melorot. "Bukan hanya Grendel. Semua pabrik! Sebab masa ini daya beli rakyat memang menurun," kata mereka seperti yang pernah mereka dengar. Di Malang berserak 27 buah pabrik rokok, besar dan kecil. Kalau digabung seluruh buruh yang bekerja di pabrik-pabrik itu sekitar 18 ribu. Jadi sekian orang harus mengendorkan perut di dalam bangsal-bangsal menunggu masa paceklik lewat. Tapi setelah lewat, dan Malang sibuk kembali, ternyata pabrik Paisri tetap saja sempoyongan. Malah tak jarang Paisri sudah pulang jam 9 pagi, karena kurang kerjaan. Ia sendiri tak tahu kenapa. Bahkan ketika tanggal 10 April seluruh buruh diminta cuti sebulan, ia masih belum tahu apa yang akan terjadi. Setelah koran meributkan peristiwa kebangkrutan itu, dan Paisri mendengar, nah. Baru ia mulai menyadari nasib. Dengan sedih ia duduk di balai-balai di samping bapaknya. Lelaki itu sudah sejak lama ini berbaring disungkurkan oleh "busung". Belum setahun ada harapan, padam tiba-tiba. Belajar Ngetik Sulit dibandingkan, sedih siapa yang lebih gede: buruh baru atau mereka yang sudah karatan di pabrik. Seorang seperti Djumiati misalnya. Ia sudah bekerja ngepak rokok sejak umur 14 tahun -- 10 tahun yang lalu. Mula-mula memang kerja ringan-ringan saja, dengan upah yang hanya cukup untuk jajan dan beli pakaian sekedarnya. Ia juga berasal dari keluarga pas-pasan. Seorang anak yatim, ditinggal ayah sejak masih bayi. Jadi meskipun sedikit pekerjaan yang diberikan pabrik itu, artinya sangat banyak. Apalagi, setelah lama jadi buruh, disiplin kerjanya juga terbentuk. Lalu masa depan mulai digarapnya sedikit demi sedikit. Sambil pandai-pandai menabung, ia memikir jauh. Inilah agaknya manfaat terbesar sebagai buruh, di samping upah yang jelas membantu. Karena ketakutan pada masa depan itu, uang arisan yang didapatnya dimanfaatkan dengan jitu. Ia tidak beli kalung. Tapi beli kepandaian mengetik dan merias pengantin. Ijazah mengetiknya kemudian memang tidak menghasilkan apa-apa. Tapi keahliannya merias, ada buntutnya. Kini ia cukup populer di kampung bagi yang berniat dirias. Sementara pabrik macet seperti sekarang, Djumiati masih bersabar membiarkan dirinya makan tidur tok. Ia ikut berdoa supaya pabrik segar lagi. Kalau toh tetap mati, satu-satunya yang masih ia harapkan adalah uang pesangon. Tak berhasil didapat keterangan apakah ia mau memanfaatkan keahliannya mengetik atau mau berjuang sebagai tukang rias. Yang kedua ini untuk di kampung sebenarnya tak begitu menggembirakan dari segi finansiil. Ia ngepak rokok sekitar 2000 sehari. Jadi sekitar tiga juta bungkus rokok yang sudah disentuhnya selama 10 tahun. Ia sendiri bukan perokok, tentu, meskipun setiap Hari Raya di samping mendapat hadiah Rp 4000 ia juga menerima 10 pak rokok. Yang menyedihkan adalah: bahwa masa kerja tidak diperhitungkan di dalam upah. Gajinya sama saja dengan buruh baru. Di samping itu, karena semua buruh -- kecuali bagian angkut -- adalah wanita, Djum sampai sekarang tetap berstatus perawan. Sebab kapan ia sempat dekat laki-laki, lantas pacaran? "Pacar saya rokok," katanya sewot. Dua tahun lalu, Djumiati sempat juga merasakan pabrik membengkak. Buruh mengalir masuk secara besar-besaran. Ruang pengepakan ditambah dengan 2 ruangan lagi. Tapi sekarang, ia tak habis pikir mengapa segalanya mengempes dengan cepat sekali. Seharusnya ia tahu apa sebabnya. Seharusnya ia bisa menduga-duga seperti Enik. Tapi begitulah. Sebagaimana Paisri dan 5.500 buruh-buruh yang lain, mereka hanya tahu bekerja. Mereka tak pernah menggubris soal pabrik. Sebagai akibatnya kini mereka kelabakan. Mau berbuat apa? Hanya menunggu. Atau anda bisa menolong?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus