LIMA ribu lima ratus wanita kehilangan duit di Malang. Mereka
yang setiap pagi dan sore berbaris pergi dan meninggalkan pabrik
rokok itu, sekarang berhenti bekerja. Pagi yang sibuk, dengan
seribu macam potongan dan -- warna kaum pekerja, diganti dengan
angka-angka kerugian yang panjang di kantor bea cukai. Sebab
bukan hanya sebuah gambar manis terhapus oleh kebangkrutan
pabrik rokok Grendel. Tapi juga Rp 100 juta penghasilan negara
tiba-tiba berubah jadi angin kosong.
Paisri, hitam manis, sweet seventeen, hanya kehilangan Rp 8 ribu
setiap bulan. Angka yang terlalu kecil untuk diperhitungkan,
karena berita kebangkrutan dan nasib 5.500 buruh itu sudah
dipaparkan dengan pulasan kwas yang besar. Lagi pula ia
pendatang baru dibanding buruh-buruh lain yang sudah mencatat
masa kerja sepuluh tahunan. Tapi Kasdi, bapak Paisri, merasakan
ini sebagai pemotongan yang berat. "Sebab kalau toh Grendel buka
lagi, yang boleh kerja lagi hanya yang sudah punya pengalaman
kerja 5 tahun ke atas," kata Paisri sendu kepada Dahlan Iskan
dari TEMPO.
Dipingit
Bagi Kasdi, masuknya Paisri ke dalam kelompok 5.500 buruh
Grendel itu sangat penting. Sebagai tukang pacul, sehari suntuk
penghasilannya hanya Rp 3 50. Paisri sendiri menerima Rp 20
setiap 1000 lembar pita bandrol (cukai) yang dapat
ditempelkannya pada bungkus rokok. Harap dicatat, ia mampu
menempelkan 800.000 pita setiap bulan. Dari Rp 8 ribu upah yang
kemudian diterimanya, Rp 2 ribu sudah dipastikan sampai ke
tangan Kasdi. Rp 2 ribu untuk arisan. Sisanya habis untuk makan
siang selama kerja.
Bagi Paisri pekerjaan itu juga berarti sangat banyak. Ia anak
sulung. Tapi bapaknya tak sempat memanjakannya karena miskin. Ia
hanya disekolahkan sampai kelas 3 SD. Menginjak dewasa, bapaknya
mulai memingit. Hidupnya praktis menjadi datar dan membosankan.
Untung Enik, tetangganya yang bekerja di pabrik Grendel, pindah
kerja ke pabrik Dji Sam Soe unit Malang. Enik yang tahu
kesulitan keluarga Kasdi menjawil Paisri untuk mengisi tempat
yang ditinggalkannya. Kasdi pada mulanya melarang, karena umur
Paisri sudah 15 tahun. Dia bertekad untuk memingit terus si
hitam manis itu. Tetapi setelah melihat angka-angka yang mungkin
diterima anaknya, ia rela. Apalagi adik-adik Paisri sudah
gede-gede, jadi kan tidak memerlukan pengasuh lagi.
O ya, Enik tetangga Paisri itu pindah kerjaan bukan semata-mata
untuk menolong Paisri, tentunya. Karena ia juga miskin seperti
Kasdi, matanya jadi jeli. Pertengahan tahun lalu ia mulai
melihat tanda-tanda zaman buat pabrik tempatnya menggantungkan
perut itu. Merasakan adanya keseretan, ia cepat cari harapan
baru -- pada pabrik Dji Sam Soe. Betul saja. Grendel kemudian
menggelayut turun dari kesibukan. Enik berhasil menyelamatkan
nyawanya.
Sedang Paisri baru mulai girang-girangnya bekerja. Ia menghirup
udara merdeka di luar rumah. Sering pegang uang. Bahkan setelah
5 bulan, di lehernya bergantung kalung emas 7 gram. Ini
gara-gara ia ditabrak arisan sebesar Rp 15 ribu. "Kalung ini
akan tetap saya pakai sampai tua," ia pernah berkata. Entahlah
janji itu akan bisa ia pe gang terus, misalkan nanti kebutuhan
hidup kian meruncing. Bapaknya tidak pernah lebih maju dari
seoran tukan pacul -- maklum buta huruf. Jadi wajar kalau
Paisri yang mulai pegang uang sekepeng dua kepeng gelisah dalam
masa-masa kosong ini.
Kesungguhan buruh muda ini jelas terlihat pada usahanya untuk
menjaga disiplin. Subuh pukul 4 ia sudah bangun, dandan ala
kadarnya, lalu jalan kaki sepanjang 4 km. Perhatiannya pada
pekerjaan, penuh -- meski apa yang dikerjakannya sepele. Tiga
minggu pertama, yang jadi ujian, dapat dilaluinya dengan baik.
Selama itu dia tidak terima upah -- ini memang peraturan. Bahkan
ia tidak mengeluh. "Daripada di rumah terus. Di sini kan banyak
teman," katanya. Maklum gadis.
18 Ribu Buruh
Pengalaman pertama jadi buruh dibuka dengan peristiwa tidak
enak. Suatu hari sejumlah pita yang menjadi tanggung jawabnya,
hilang. Paisri takut sekali. Ia khawatir akibat kelengahan itu
ia langsung dipecat. Untung di dalam pabrik berlaku peraturan:
siapa yang menghilangkan harta pabrik, hanya dikenakan keharusan
membayar sejumlah uang sebagai pengganti. Paisri kemudian dengan
senang hati menyerahkan upahnya, untuk mengganti Rp 20 per
bandrol yang hilang. Entah berapa waktu itu.
Selanjutnya ia berusaha lebih teliti. Ternyata tidak sulit.
Hanya harus membiasakan tangannya ngebut menempel. Tak lama
kemudian ia juga mulai pandai mewarnai pergaulan dalam ruang
kerja. Karena pekerjaan tidak memerlukan otak, sementara tangan
sibuk, mulut para buruh biasa diumbar membicarakan apa saja.
Kadangkala soal pacar, "mode", atau film Melayu. Dari sini
berkembanglah sedikit demi sedikit pengetahuan gadis yang
tadinya hanya bertugas mencuci dan masak ini. Misalnya ia mulai
tahu bagaimana hotnya Roy Marten main cinta sama Yenny Rachman
dan Yatty Octavia di dalam film. Ia sendiri tak pernah nonton.
Setelah kalung terbeli, kejutan pertama muncul karena pabrik
mengurangi angka produksi. Penghasilan yang diterimanya susut
menjadi Rp 6 ribu. Paisri tak bisa berkata apa-apa. Kecuali
pasrah. Tapi ketika kemerosotan makin laju, lalu di tangannya
hanya ada Rp 4 ribu untuk satu bulan kerja, ia mulai berdoa.
Berharap agar semuanya hanya sementara saja. Teman-temannya yang
telah tahunan nongkrong dalam pabrik menyabarkan: bahwa setiap
kali musim paceklik, angka produksi memang suka melorot. "Bukan
hanya Grendel. Semua pabrik! Sebab masa ini daya beli rakyat
memang menurun," kata mereka seperti yang pernah mereka dengar.
Di Malang berserak 27 buah pabrik rokok, besar dan kecil. Kalau
digabung seluruh buruh yang bekerja di pabrik-pabrik itu sekitar
18 ribu. Jadi sekian orang harus mengendorkan perut di dalam
bangsal-bangsal menunggu masa paceklik lewat. Tapi setelah
lewat, dan Malang sibuk kembali, ternyata pabrik Paisri tetap
saja sempoyongan. Malah tak jarang Paisri sudah pulang jam 9
pagi, karena kurang kerjaan. Ia sendiri tak tahu kenapa. Bahkan
ketika tanggal 10 April seluruh buruh diminta cuti sebulan, ia
masih belum tahu apa yang akan terjadi. Setelah koran meributkan
peristiwa kebangkrutan itu, dan Paisri mendengar, nah. Baru ia
mulai menyadari nasib. Dengan sedih ia duduk di balai-balai di
samping bapaknya. Lelaki itu sudah sejak lama ini berbaring
disungkurkan oleh "busung". Belum setahun ada harapan, padam
tiba-tiba.
Belajar Ngetik
Sulit dibandingkan, sedih siapa yang lebih gede: buruh baru atau
mereka yang sudah karatan di pabrik. Seorang seperti Djumiati
misalnya. Ia sudah bekerja ngepak rokok sejak umur 14 tahun --
10 tahun yang lalu. Mula-mula memang kerja ringan-ringan saja,
dengan upah yang hanya cukup untuk jajan dan beli pakaian
sekedarnya. Ia juga berasal dari keluarga pas-pasan. Seorang
anak yatim, ditinggal ayah sejak masih bayi. Jadi meskipun
sedikit pekerjaan yang diberikan pabrik itu, artinya sangat
banyak.
Apalagi, setelah lama jadi buruh, disiplin kerjanya juga
terbentuk. Lalu masa depan mulai digarapnya sedikit demi
sedikit. Sambil pandai-pandai menabung, ia memikir jauh. Inilah
agaknya manfaat terbesar sebagai buruh, di samping upah yang
jelas membantu. Karena ketakutan pada masa depan itu, uang
arisan yang didapatnya dimanfaatkan dengan jitu. Ia tidak beli
kalung. Tapi beli kepandaian mengetik dan merias pengantin.
Ijazah mengetiknya kemudian memang tidak menghasilkan apa-apa.
Tapi keahliannya merias, ada buntutnya. Kini ia cukup populer di
kampung bagi yang berniat dirias.
Sementara pabrik macet seperti sekarang, Djumiati masih bersabar
membiarkan dirinya makan tidur tok. Ia ikut berdoa supaya pabrik
segar lagi. Kalau toh tetap mati, satu-satunya yang masih ia
harapkan adalah uang pesangon. Tak berhasil didapat keterangan
apakah ia mau memanfaatkan keahliannya mengetik atau mau
berjuang sebagai tukang rias. Yang kedua ini untuk di kampung
sebenarnya tak begitu menggembirakan dari segi finansiil.
Ia ngepak rokok sekitar 2000 sehari. Jadi sekitar tiga juta
bungkus rokok yang sudah disentuhnya selama 10 tahun. Ia sendiri
bukan perokok, tentu, meskipun setiap Hari Raya di samping
mendapat hadiah Rp 4000 ia juga menerima 10 pak rokok. Yang
menyedihkan adalah: bahwa masa kerja tidak diperhitungkan di
dalam upah. Gajinya sama saja dengan buruh baru. Di samping itu,
karena semua buruh -- kecuali bagian angkut -- adalah wanita,
Djum sampai sekarang tetap berstatus perawan. Sebab kapan ia
sempat dekat laki-laki, lantas pacaran? "Pacar saya rokok,"
katanya sewot.
Dua tahun lalu, Djumiati sempat juga merasakan pabrik
membengkak. Buruh mengalir masuk secara besar-besaran. Ruang
pengepakan ditambah dengan 2 ruangan lagi. Tapi sekarang, ia tak
habis pikir mengapa segalanya mengempes dengan cepat sekali.
Seharusnya ia tahu apa sebabnya. Seharusnya ia bisa menduga-duga
seperti Enik. Tapi begitulah. Sebagaimana Paisri dan 5.500
buruh-buruh yang lain, mereka hanya tahu bekerja. Mereka tak
pernah menggubris soal pabrik. Sebagai akibatnya kini mereka
kelabakan. Mau berbuat apa? Hanya menunggu.
Atau anda bisa menolong?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini