Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Penyintas Covid-19 Jadi Pelupa dan Pikun, Ini Sebabnya

Pakar mengatakan penurunan fungsi kognitif yang gejalanya mencakup lupa hingga pikiran melambat atau lemot bisa penyintas COVID-19.

17 Agustus 2021 | 10.21 WIB

Ilustrasi orang lupa
Perbesar
Ilustrasi orang lupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Berdasarkan beberapa penelitian, infeksi COVID-19 tidak hanya menyerang saluran pernapasan tapi juga dapat berdampak negatif terhadap saraf dan otak. Dokter spesialis saraf di Rumah Sakit Universitas Indonesia, dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K) mengatakan penurunan fungsi kognitif yang gejalanya mencakup lupa hingga pikiran melambat atau lemot bisa penyintas COVID-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lebih rinci mengenai gejala penurunan fungsi kognitif ini yakni LALILULELO, yang merupakan kepanjangan dari Labil emosi atau pendiriannya, Linglung, Lupa, Lemot atau pikiran melamban, dan Logika berpikir menurun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Terdapat gejala dini pikun atau demensia yang disingkat LALILULELO. Bila menemukan satu dari lima gejala ini, segera lakukan pemeriksaan ke dokter," ujarnya.

Sebuah studi yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Asosiasi Alzheimer pada 29 Juli 2021 di Denver, Colorado, menemukan, banyak penyintas COVID-19 mengalami kabut otak dan gangguan kognitif lain beberapa bulan setelah pemulihan. Dalam studi itu, para peneliti dari Pusat Ilmu Kesehatan Universitas Texas dan kolega mempelajari kognisi dan indera penciuman pada hampir 300 orang dewasa di Argentina yang mengalami COVID-19.

Mereka mempelajari para partisipan 3-6 bulan setelah terinfeksi COVID-19. Hasilnya, lebih dari separuh menunjukkan masalah terus-menerus lupa. Temuan ini menambah deretan hasil studi terkait gejala long COVID-19, seperti bingung, lupa, dan tanda-tanda hilangnya ingatan yang mengkhawatirkan lain.

Sebelumnya, sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal EClinicalMedicine The Lancet pada 22 Juli 2021 menunjukkan penyintas COVID-19, termasuk yang tidak lagi melaporkan gejala memperlihatkan defisit kognitif signifikan. Kondisi ini dialami baik oleh yang pernah dirawat di rumah sakit maupun yang tidak.

Pukovisa merekomendasikan pemeriksaan kesehatan pasca-COVID-19 bagi yang mengalami gangguan kognitif setelah sembuh dari penyakit yang disebabkan virus corona itu. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan fisik menyeluruh, terutama tekanan darah, sistem pernapasan, indeks massa tubuh, jantung, pembuluh darah, pencernaan, dan skrining keluhan saraf, skrining kognitif, pemantauan risiko otak sehat, dan pemeriksaan darah serta radiologi jika dibutuhkan.

Anda yang ingin melakukan skrining deteksi dini demensia bisa mengunduh aplikasi EMS (eMemory Screening). Aplikasi ini dibuat oleh Persatuan Dokter Spesialis Saraf Seluruh Indonesia.

"Tiga fitur utama pada aplikasi ini, di antaranya artikel demensia, AD8-INA skrining, dan daftar rumah sakit serta dokter spesialis neurologi terdekat," katanya. Menurut Puvokisa, masyarakat tidak perlu khawatir dan cemas berlebihan. Ahli kesehatan akan membantu menyusun program sesuai dengan masalah kognitif yang ada. Menurutnyaa, memperbanyak interaksi sosial dan aktivitas produktif terjadwal dapat membantu mengatasi gangguan kognitif yang dialami.

Sebuah penelitian di Meksiko menunjukkan dari 370 pasien yang dirawat, sekitar 20 persen mengalami gejala neurologis seperti sakit kepala, anosmia, ageusia, dan gangguan neurologis lainnya.

Selain itu, penelitian dari Oxford memperlihatkan dari 236.379 pasien yang didiagnosis COVID19, sebanyak 33,62 persen mengalami gangguan neurologis dan psikiatris dalam enam bulan setelahnya.

Secara khusus pada saraf, virus corona bisa mengenai daerah itu secara langsung dan tak langsung, ungkap dokter spesialis saraf sekaligus Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUI, dr. Ramdinal Aviesena Zairinal, Sp.S.

"Secara langsung yaitu virus yang berada pada ujung-ujung saraf, misalnya saraf pada hidung, lidah, paru-paru, usus, lalu ke otak. Pada jalur yang tidak langsung, saraf bisa terkena akibat respons tubuh melawan virus, virus di dalam pembuluh darah, dan beredar ke seluruh tubuh dan bisa masuk ke otak," ujarnya.

Pada kondisi awal, gangguan saraf bisa berupa sakit kepala, gangguan penciuman dan pengecapan. Sementara pada kondisi lanjut, gangguan saraf bisa berupa stroke, penurunan kesadaran, dan kejang. Oleh karena itu, menurut Ramdinal, pasien perlu segera memeriksakan diri ke dokter untuk mencegah komplikasi yang lebih parah.

Dia dan tim pernah melakukan penelitian terkait gangguan saraf pada penderita COVID-19 di RSUI dan RSCM. Mereka menemukan dari 227 pasien terdapat beberapa pasien yang mengalami gangguan saraf dengan gejala antara lain penurunan kesadaran (59 kasus), stroke (58), pingsan (46), kejang (28), sakit kepala (22), infeksi otak (16), serta gangguan penciuman atau pengecapan (8).

Sementara untuk angka kematian selama perawatan di rumah sakit yakni sebesar 48,5 persen atau 110 dari 227 pasien. Hal ini karena pasien yang dirawat kebanyakan bergejala berat dan juga memiliki gangguan saraf berat. Sebenarnya, bukan hanya COVID-19 yang menjadi faktor risiko gangguan kognitif. Gaya hidup tak sehat seperti kurang berolahraga, makan makanan yang tidak bergizi seimbang, mengonsumsi alkohol dan merokok juga bisa menjadi penyebab masalah ini.

Di samping itu, ada faktor risiko lain yakni memiliki masalah medis yang sudah ada sebelumnya, terutama berhubungan dengan otak, diabetes, kelainan pembuluh darah, kolesterol tinggi, serta tekanan darah tinggi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus