Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Banyaknya kasus kekerasan anak tak lepas dari pengaruh konten media sosial yang dengan mudah diakses oleh anak-anak. Terjadinya kasus penculikan dan pembunuhan anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada awal Januari 2023, juga merupakan dampak dari konten-konten media sosial yang dilihat tanpa pendampingan orang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika mutilasi dilakukan oleh anak untuk menjual organ tubuh, itu terinspirasi dari media sosial. Setelah temannya dibunuh kemudian dimutilasi, pelaku tidak tahu mau dijual ke mana. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengingatkan anak yang menjadi pelaku kriminal sebenarnya sekaligus merupakan korban. Untuk itu, para orang dewasa harus hadir memberikan pendampingan yang terbaik pada anak-anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, mengatakan setiap anak seharusnya mendapatkan pendampingan dan pengasuhan terbaik dari orang tua. Terlebih di era globalisasi dan digitalisasi yang membuat anak-anak butuh pengawasan ekstra.
Sepanjang 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 5.980 pengaduan dan pada 2022 ada 4.683 pengaduan terkait masalah anak, di antaranya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menyebut saat ini banyak kekerasan yang mengintai anak-anak di internet, seperti cyberbullying, grooming, sextortion, dan pornografi anak.
KPAI juga menyoroti pentingnya orang tua memahami digital parenting untuk meningkatkan efektivitas pengawasan anak di media sosial. Tak hanya orang tua yang harus paham, anak juga harus diberikan pemahaman tentang cara berselancar di internet yang sehat dan tidak mengancam diri sendiri.
Pengalaman KPAI melihat berbagai hasil asesmen dalam persoalan anak, penyebab anak berada dalam pusaran konflik, berhadapan dengan hukum, berkonflik dengan hukum, terancam jiwanya, dan mengalami disorientasi akibat perlakuan salah adalah karena tidak terpenuhinya hak-hak mereka terkait kebutuhan tumbuh kembang anak yang seharusnya didapatkan. Penyebabnya akibat kurang perhatian, kehilangan figur yang dipercaya, yatim piatu, putus sekolah, bahkan meski sekolah, kondisi belajarnya sudah tidak terperhatikan.
Penyebab lain, orang tua bercerai, konflik berkepanjangan, kemiskinan, terlepas dari pengasuhan, berpindah-pindah pengasuhan, berselancar di internet tanpa pengawasan, dan banyaknya industri kekerasan yang dengan mudah mendekati anak dengan berbagai cara. Masalah paling hulu dari kondisi ini adalah anak-anak yang sangat minim dikenalkan cara berpartisipasi dalam menghadapi persoalan di sekitar. Maksudnya, partisipasi yang bermakna, yang dipahami sesuai usia, tumbuh kembang, dan pemahaman anak. Untuk itu, perlu didorong ruang-ruang dialog keluarga agar selalu dihidupkan, sehingga anak-anak memiliki kecerdasan emosional dalam menghadapi masalah.
Tanggung jawab bersama
Anak memiliki tiga lingkungan dalam hidup, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan. Ketika satu lingkungan saja tidak berfungsi dalam membangun kedekatan, kelekatan, pengawasan bersama, dan monitor maka anak akan sangat rentan berada dalam perlakuan salah. Oleh sebab itu, peran besar pengasuhan bersama menjadi sangat penting karena mengurus anak butuh orang sekampung untuk ikut mengawasi.
Selain itu, keterbatasan yang ada dapat diatasi dengan penyediaan fasilitas publik yang dapat mendukung tumbuh kembang anak dan adanya pusat aktivitas anak yang secara kondusif merekam dan memantau perkembangan anak. Akses internet sangat dibutuhkan oleh masyarakat namun hal tersebut juga harus diimbangi tingkat literasi digital yang memadai.
Tindak kriminal yang dilakukan anak ataupun yang menjadikan anak sebagai korban merupakan akibat kurang pahamnya orang tua terhadap cara yang aman menggunakan internet. Perlu kerja sama semua pihak untuk meningkatkan literasi digital masyarakat untuk memerangi kekerasan anak dan memastikan hak-hak anak terpenuhi demi tercapainya Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045.
Pilihan Editor: Upaya ChildFund Lindungi Anak dari Cyber Bullying