Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikiater di RSUD Tarakan Jakarta, dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ, meminta orang tua tak meremehkan atau mengabaikan dan membiarkan anak yang mengalami kekerasan. Menurutnya, anak yang mengalami kekerasan berisiko tinggi mengalami gangguan kesehatan mental di kemudian hari, bahkan juga bisa berdampak pada kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat dan kehidupan yang produktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau kita biarkan jangka panjang, tentunya ini akan berdampak pada kesehatan anak, baik fisik maupun mental dan untuk relasi dia, anak bisa jadi punya trust issue saat dewasa," kata Zulvia pada diskusi daring yang digelar RSUD Tarakan dalam rangka Hari Anak Nasional pada Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketahui jenis kekerasan
Ia menjelaskan orang tua juga perlu mengetahui banyak jenis kekerasan, yakni kekerasan fisik, seksual, emosional, dan penelantaran. "Karena itu, orang tua perlu mewaspadai apabila anak mengalami gejala kesehatan mental akibat kekerasan," pesan Zulvia.
Gejala gangguan kesehatan mental yang dapat dialami anak korban kekerasan di antaranya adalah kecemasan, depresi, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan masalah perilaku. "Kalau sudah seperti itu, cari tahu apa penyebabnya dan bawa konsultasi ke profesional sesegera mungkin," katanya.
Selain itu, bila anak mengalami tindak kekerasan, orang tua bisa melakukan penanganan pertama. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah mengamankan anak dan memberi dukungan emosional. Zulvia menegaskan orang tua perlu menunjukkan empati dan jangan mengeluarkan perkataan yang menyalahkan anak. Kemudian, hindari menginterogasi anak dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya harus menceritakan pengalamannya berkali-kali.
Pilihan Editor: Tak hanya Korban, Pelaku Perundungan Juga Bisa Alami Depresi