Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Delapan teko lawas berisi air teh dan puluhan gelas cangkir berdesain klasik sebagai pasangannya dipajang setiap hari di beranda gedung Pancoran Tea House. Tempat yang berlokasi di mulut Jalan Pancoran Raya Nomor 6, Glodok, Jakarta Barat, itu tengah menggelar tradisi Patekoan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Asyiknya Menikmati Kopi di Kedai Tak Kie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tradisi Patekoan ini, air teh disuguhkan gratis buat siapa pun yang kebetulan lewat dan dahaga. “Tak terbatas kalangan, mau pedagang asongan, pekerja bank, bahkan pejabat yang lewat, boleh mampir untuk minum teh,” kata Huans Solaihan, pegiat wisata Jakarta Good Guide kepada Tempo pada Sabtu, 3 Februari 2018.
Tradisi Patekoan atau menghidangkan teh gratis untuk masyarakat ini adalah ritual turun-temurun. Mulanya dari Kapiten Gan Djie. Ia ialah seorang kapiten Cina atau Kapitein der Chineezen ketiga di Batavia.
Djie merupakan pemilik tunggal bangunan berarsitektur Tionghoa yang sekarang menjadi gedung Pancoran Tea House itu. Gedung ini dulunya apotek. Titel apotek tersebut ialah Chung Hwa; atau Apotheek Chung Hwa dalam ejaan Cina.
Si kapiten dan istrinya mempunyai jiwa sosial yang cukup tinggi. Pada masanya, ketika air bersih sulit didapat, Djie dan istri menyediakan wedang teh buat para pedagang keliling, buruh, dan orang-orang yang melintas.
Tradisi menyajikan teh ini dialiaskan Patekoan. Pat dalam bahasa Cina berarti delapan. Sedangkan tekoan merupakan bentuk tak baku dari kata teko atau sebutan untuk cerek minuman.
Adapun teko berjumlah delapan yang selalu disajikan di beranda bangunan berhubungan erat dengan mitos angka kebaikan. Delapan dipercaya sebagai angka keberuntungan lantaran garisnya tak terputus.
Karena itu, delapan teko yang disajikan dipercaya membawa kebaikan, baik untuk yang menghidangkan maupun yang dihidangi. “Lalu mengapa isinya teh, ya karena teh erat kaitannya dengan tradisi minum orang Cina,” ucap Huans.
Tradisi Patekoan sempat berhenti lantaran bangunan itu tidak beroperasi. Apalagi pasca-kerusuhan 1998. Namun, setelah Imlek 2016, tepatnya seusai bangunan ini difungsikan kembali menjadi rumah minum teh, tradisi Patekoan kembali dihidupkan.
Sekarang, orang-orang yang melintas di Jalan Pancoran Nomor 6—yang kini menjadi Jalan Perniagaan—bisa kembali menikmati warisan sosial Djie. Patekoan dapat dinikmati setiap hari, mulai pukul 08.00 hingga 19.00.
Ada dua tipe rasa teh yang disajikan, yakni pahit dan manis. Adapun teh yang dipakai untuk racikan tradisi Patekoan merupakan daun teh hasil panen para petani Nusantara.
Menjelang Imlek pada 16 Februari mendatang, tempat digelarnya Patekoan ramai didatangi pengunjung. Apalagi warga asli. Selain untuk bernostalgia akan kampung pecinan masa lampau, semangat kebajikan Dije masih terngiang sampai kini.