Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Belajar Meluncur Sejak Bau Kencur

Dulu, permainan papan luncur alias skateboard identik dengan remaja dan orang dewasa. Namun, lima tahun terakhir, olahraga ekstrem ini banyak dimainkan anak-anak. Pada masa pandemi, semakin banyak orang tua yang mendaftarkan anak mereka ke sekolah skateboard.  

30 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Skate park Taman Kalijodo di Jakarta, 5 Februari 2017. Dok.TEMPO/Ilham Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dulu skateboard identik dengan permainan para remaja dan orang dewasa.

  • Selama masa pandemi, banyak anak belajar bermain papan luncur.

  • Ada yang sekadar hobi, ada juga yang berprestasi di kompetisi.

Sejak lima tahun lalu, Lakeisha Maheswari serius menekuni olahraga renang. Tak hanya berlatih di sekolah renang, gadis berusia 12 tahun ini juga kerap mengikuti kompetisi tingkat lokal di kota tempat tinggalnya, Malang, Jawa Timur. Namun, sejak dua bulan lalu, Keisha—begitu ia biasa dipanggil—mulai melirik olahraga lain yang lebih ekstrem: papan luncur alias skateboard.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemicu Keisha ingin belajar bermain skateboard adalah adiknya sendiri, Zeefara Mahika Darmawan, 9 tahun, yang punya prestasi segudang di bidang olahraga itu. “Keisha melihat kok adiknya gampang berprestasi, dia jadi termotivasi juga,” kata ayahanda mereka, Riky Darmawan, kepada Tempo, Kamis lalu. Riky sempat ragu ketika Keisha menyatakan ingin mengikuti jejak adiknya menjadi pemain papan luncur. “Saya bilang olahraga ini kalau jatuh, sakit. Tidak seperti berenang. Tapi anaknya tetap ingin mencoba.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jadilah Riky mendaftarkan Keisha ke sekolah skateboard Bolang Sk8 School Malang. Dua bulan belajar bersama sang adik yang sudah berlatih sejak 2019, kini Keisha sudah bisa melakukan beberapa trik dasar. “Sekarang saya hampir setiap hari menemani anak bermain skateboard,” kata Riky, pengusaha kuliner di Kota Apel itu. “Anak-anak enggak ada capeknya latihan setiap hari, malah saya yang nungguin, yang capek,” dia berseloroh.

Skateboarder asal Malang Zeefara Mahika Darmawan (kanan depan), kakaknya Lakeisha Maheswari, serta orang tuanya, Riky Darmawan dan Andriyanie Lucky. Dok. Pribadi

***

Pada 1980-an sampai pertengahan 2000-an, olahraga papan luncur dikenal sebagai aktivitas para remaja dan orang dewasa. Namun belakangan memang semakin populer di kalangan anak-anak. Di banyak kota, tempat belajar skateboard untuk anak-anak banyak bermunculan. Peminatnya tak sedikit, apalagi pada masa pandemi ini, ketika para anak terpaksa bersekolah di rumah, sehingga aktivitas luar ruang mereka berkurang.

Salah satu pionir sekolah skateboard di Tanah Air adalah Anthony Adam Caya yang mendirikan Green Skate Lesson di Jakarta pada 2009. Pria berusia 41 tahun yang dikenal dengan nama Tony Sruntul ini memang bukan nama asing di dunia permainan papan luncur Indonesia. Sebagai skater—sebutan pemain skateboard—profesional, dia sudah punya banyak prestasi di tingkat nasional maupun internasional. Setelah “pensiun” bermain, Tony menjadi pelatih bagi para skater cilik pemula maupun atlet nasional.

Beberapa atlet skateboard cilik nasional, seperti Aliqqa Novvery Kayyisa dan Nyimas Bunga Cinta, merupakan hasil didikan Tony. Aliqqa merupakan anggota tim nasional skateboard Indonesia dalam Asian Games 2018. Ia memegang rekor sebagai atlet termuda pada waktu itu. Rekan setim Aliqqa, Nyimas Bunga, adalah peraih medali perunggu di nomor Women’s Street dalam kompetisi yang sama. Selain mereka berdua, Green Skate Lesson menelurkan beberapa nama skater muda berbakat, seperti Brian Catraguna, Diaz Ramadhana, dan Farrel.

Tony mendirikan Green Skate Lesson saat ia sering bermain di arena papan luncur (skatepark) di Taman Mini Indonesia Indah pada 2008-2009. Ketika Tony bermain, banyak pengunjung yang membawa anak menyatakan minat mencoba skateboard. “Anak-anak di sekitar Taman Mini juga banyak yang ingin belajar,” ujarnya. Tony melihat hal itu sebagai kesempatan untuk memasyarakatkan olahraga yang populer di Indonesia sejak 1970-an tersebut. “Saya merasa mereka perlu dibantu mengenal skateboard karena akan bagus untuk pengembangan olahraga skateboard di Indonesia ke depan.”

Setelah membuka sekolah papan luncur di Taman Mini, peminat dari kalangan orang tua yang ingin mendaftarkan anak-anak mereka terus bertambah. Tony pun membuka cabang Green Skate Lesson dengan mendirikan skatepark indoor (dalam ruangan) bernama Sector 1 Xtremepark, di Bintaro, Jakarta Selatan. Arena ini baru saja dibuka pada Desember lalu. Selain di dalam ruangan, yang membuat skater bisa tetap bermain meski cuaca hujan, adalah skatepark ini punya fasilitas lengkap. Salah satunya ramp (lintasan skateboard berbentuk U) setinggi 2,75 meter dan menjadi yang terbesar di Indonesia saat ini.

Pemilik Green Skateboard Lessons,Tony Sruntul (kanan). Instagram/ Green Skate Lessons

Walau aneka fasilitas di skatepark itu dirancang untuk para skater profesional, Tony menjamin, peserta anak-anak juga bisa menjajalnya. Sebab, ada beberapa bagian yang didesain untuk pemula. “Skatepark ini juga cocok buat anak-anak. Justru mereka sering diajak berlatih di ramp yang tinggi supaya berani meluncur.” Kini jumlah murid skateboard anak-anak yang belajar di Green Skate Lesson sudah lebih dari 100 orang, dengan rentang usia mulai 4 tahun sampai remaja. “Pada masa pandemi, pendaftar baru membeludak, di luar perkiraan kami. Sampai saya harus rekrut coach baru.”

Tony menilai popularitas skateboard di kalangan anak-anak mulai terjadi sejak Asian Games Jakarta dua tahun lalu. Berkat prestasi yang ditorehkan Nyimas Bunga dan Aliqqa Novery, banyak orang tua masa kini yang melihat skateboard sebagai cabang olahraga prestasi. “Skateboard sekarang enggak dipandang sebelah mata lagi,” tutur dia. Lucunya, kata Tony, banyak orang tua yang malah ikutan belajar bermain papan luncur sembari menemani anak mereka berlatih. “Ada juga yang orang tuanya sejak lama bermain skateboard, jadi mereka ingin anak-anaknya juga bisa.”

Bagi peserta pemula, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, Tony punya “kurikulum” yang sama. Di Green Skate Lesson, setiap peserta mulai dari program dasar atau basic. “Diajari teori-teori, pengenalan alat dan perlengkapan, sampai teknik jatuh yang tepat.” Pada tahap ini, setiap peserta dilatih untuk berdiri, menjaga keseimbangan, memutar papan luncur ke berbagai arah, dan belajar meluncur maju maupun mundur. Pada tahap berikutnya, peserta diajari trik dasar, seperti ollie (trik melompat), ollie sambil maju dan mundur, serta melompat sambil berbelok.

Setelah lancar melakukan trik dasar, para murid diajak meluncur sambil berbelok secara melengkung (quarter). Di tahap beginner 2, setiap murid dilatih melakukan trik lain, seperti memutar papan atau menggesekkan as roda ke pagar besi (grind). Jika ingin belajar melompat atau “terbang” (air), peserta harus lulus di tingkat intermediate. “Trik yang lebih sulit diajarkan di program advance.”

Anak-anak mengikuti kelas sore Green Skateboard Lessons di BSD Xtreme Park, Cisauk, Tangerang, Banten. Dok. Green Skate Lessons

Menurut Tony, biasanya para peserta menyelesaikan setiap program selama empat bulan. “Nanti setiap bulan ada evaluasinya.” Tony merancang “kurikulum” tersebut dengan mengadopsi program berbagai sekolah skateboard di negara lain.

Di Green Skate Lesson, selain jalur untuk hobi yang diikuti peserta umum, terdapat jalur prestasi. Biasanya peserta yang ikut jalur ini paling muda berusia 7-12 tahun dan perkembangan kemampuannya menonjol. “Diarahkan supaya bisa sampai level profesional.” Peserta yang masuk jalur prestasi juga akan diikutkan dalam aneka pertandingan tingkat daerah, nasional, hingga internasional. “Sekarang di Green Skate Lesson sudah banyak skater muda yang diakui dan berprestasi secara nasional.”

***

Di Jakarta, sekolah skateboard lain yang sedang naik daun adalah Elbricks Skateschool, yang berlokasi di Elbricks Skatepark, Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sekolah itu resmi dibuka pada Agustus lalu. Sebelumnya, mereka punya program pelatihan skate, tapi peminatnya terbatas. “Baru ramai pada masa pandemi, membeludak banget,” kata salah satu pelatih di Elbricks, Victor Adianggara.

Bahkan mereka membuka kelas khusus untuk anak-anak. “Ketika pembatasan sosial berskala besar mulai dilonggarkan pada Agustus lalu, banyak orang tua yang ingin mendaftarkan anaknya belajar skate di Elbricks. Makanya dibuka program khusus,” ujar pria berusia 36 tahun itu.

Pelatih Elbricks Skateschool, Victor Adianggara. Instagram/ victoradianggara

Ada puluhan murid di Elbricks, dengan usia mulai 5 tahun sampai 24 tahun. “Kebanyakan orang tua ini dulunya main skate. Mereka berambisi anak-anaknya bisa main juga.” Ada juga orang tua yang mendaftarkan karena keinginan anak-anak mereka sendiri.

Setiap peserta sekolah skateboard di Elbricks, ujar Victor, harus menggunakan aneka perlengkapan keamanan yang lengkap. Dari helm, pelindung siku, hingga pelindung lutut. Kurikulumnya mirip sekolah skateboard lain, yakni dari pengenalan teknik dasar sampai belajar melakukan trik di atas papan.

Untuk bisa berlatih di sekolah Elbricks, peserta dikenakan biaya Rp 750 ribu per bulan dan biaya pendaftaran Rp 250 ribu. Para peserta di Elbricks mengikuti kelas sebanyak empat kali sebulan. “Satu sesi biasanya dua jam.”

Victor bercerita, melatih skateboard untuk anak-anak punya tantangan tersendiri. Sebagian dari mereka belum bisa fokus saat latihan. “Kalau sudah ketemu teman-temannya yang lain, ya, jadinya main-main.” Tantangan lain adalah ketika ia harus melatih seorang anak yang penakut. Untuk kasus semacam ini, Victor kadang “tega” dengan membiarkan sang anak meluncur sendiri. “Justru biasanya kalau sudah disuruh meluncur sendiri, anak jadi enggak takut lagi karena merasakan sendiri naik skateboard itu tidak menakutkan,” ujarnya.

Skateboarder Indonesia, Bunga Nyimas, dalam Asian Games 2018 di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, 29 Agustus 2018. ANTARA/INASGOC/Rahmad Suryadi

Selama melatih para anak-anak bermain skateboard, Victor juga menemukan banyak pengalaman unik. Sering kali dia bertemu dengan anak-anak yang ketika baru mulai, masih malu-malu dan penakut. “Bahkan ada seorang anak yang main perosotan saja tidak berani,” kata dia.

Tapi, setelah beberapa kali belajar bermain skateboard, mereka jadi berani dan ketagihan. Anak-anak yang awalnya pemalu juga jadi mudah bergaul. Sebab, di skatepark isinya bukan hanya anak-anak, ada juga remaja dan orang tua. “Skateboard itu sense of community-nya kuat banget, dari usia berapa pun bisa bersenang-senang dengan bermain skateboard.”*

PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus