Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Warisan Budaya Bissu Harus Dipertahankan

Salah satu warisan budaya kuno Bugis yang masih bertahan hingga kini adalah para Bissu. Keberadaannya makin sedikit karena berbagai faktor.

14 Januari 2020 | 18.56 WIB

Para Bissu melakukan parade jelang melakukan Ritual Mappalili di Desa Segeri, Pangkep, Sulawesi Selatan, 2 Desember 2014. Ritual Mappalili tersebut dilakukan tiap tahun untuk menyambut musim tanam, atau turun sawah. TEMPO/Fahmi Ali
Perbesar
Para Bissu melakukan parade jelang melakukan Ritual Mappalili di Desa Segeri, Pangkep, Sulawesi Selatan, 2 Desember 2014. Ritual Mappalili tersebut dilakukan tiap tahun untuk menyambut musim tanam, atau turun sawah. TEMPO/Fahmi Ali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu warisan budaya kuno Bugis yang masih bertahan hingga kini adalah para Bissu. Keberadaannya makin sedikit karena berbagai faktor. Sebagai budaya yang masih ada, keberadaan Bissu sudah selayaknya dijaga dan dipertahankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini muncul dalam program publik Pemutaran Film dan Diskusi tentang Bissu yang berlangsung di Museum MACAN, Ahad,12 Januari 2020. Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Ardhanary Institut, RR. Sri Agustine. “Bissu ini sudah ada dan disebut dalam naskah La Galigo, alangkah sayangnya jika kita kehilangan warisan budaya ini. Harapannya mereka masih tetap ada di nusantara,” ujar Agustine dalam paparannya usai pemutaran film Calalai in Betweenes, produksi Ardhanary Institut, Rumah Pohon Indonesia dan Hivos SEA yang disutradarai oleh Kiki Febriyanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Agustine, Budaya Bissu memperlihatkan keragaman gender yang mendapatkan pengakuan budaya sejak lama. Disebutkan dalam naskah La Galigo, budaya Bugis mengenal lima gender dalam kehidupan sehari-hari yakni Orooane (laki-laki), Makkunrai (perempuaan), Calalai (perempuan yang berpenampilan laki-laki), Calabai (laki-laki berpenampilan seperti layaknya perempuan) dan Bissu, figur spiritual yang tidak terkait gender perempuan atau laki-laki (netral).

Semua adat, tradisi dan budaya Bugis tercantum dalam kitab La Galigo yang diperkirakan ditulis pada abad 13-14. Kitab ini bercerita tentang tiga tempat yakni Bottilangi (kehidupan atas/ langit) yang merupakan simbol maskulinitas; Burillu (kehidupan bawah- simbol feminitas dan perkawinan simbol maskulinitas dan feminitas yakni dunia tengah. Penghuninya ada laki-laki, perempuan dan antara laki-laki dan perempuan. “Calalai, Calabai, Bissu dianggap di dunia tengah,” ujar Agustin lagi.

Film dokumentasi yang berdurasi 45 menit ini merupakan film produksi 2015 dan sudah diputar di berbagai festival dan berbagai acara. Berkisah tentang Calalai dan Bissu dari Calalai dengan tokoh utama bernama Mak Temmi. Dari profil Mak Temmi, kemudian beralih ke tokoh Calalai, salah satunya Sanro Annis. Dialah kemudian menjadi seorang Bissu yang meneruskan mandat Mak Temmi. Biasanya ia memimpin ritual adat di Bugis atau mendoakan anak atau orang yang sakit. Ada juga penjelasan tentang Bissu dari pengamat budaya Bugis, Halilintar Lathief dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya yang juga seorang ahli membaca kitab La Galigo, Profesor Nurhayati Rahma.

Proses untuk menemukan Calalai ini, kata Agustine dan Kiki, sungguh tidak mudah. Mereka mencari keberadaan mereka lebih dari dua tahun. Bissu laki-laki, kata Agustin, lebih mudah ditemui. Keberadaan mereka lebih mudah dijumpai karena akses informasi, pendidikan, ekonomi juga banyak didominasi Bissu laki-laki. Juga karena akses secara budaya. Agustine juga mengharapkan dengan masyarakat dan pemerintah mampu mempertahankan dan melindungi keragaman budaya dan tradisi Bugis, termasuk Bugis ini.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus