Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah tim peneliti asal Jepang melalui studi yang dipublikasikan dalam Environmental Chemistry Letters, menyatakan telah menemukan keberadaan partikel mikroplastik di dalam awan, Selasa, 3 Oktober 2023. Fenomena tersebut berhasil diketahui setelah peneliti menggunakan teknologi canggih terhadap sampel air ketika mendaki Gunung Fuji dan Gunung Oyama untuk mengumpulkan air dari kabut yang ada di kawasan sekitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasilnya, ditemukan 6,7-13,9 serpihan mikroplastik, di mana sembilan di antaranya berjenis polimer dan sisanya berupa karet dengan kisaran ukuran yang ditemukan dalam awan yakni 7,1 sampai dengan 94,6 mikrometer. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengatakan mikroplastik yang ditemukan dalam kandungan awan di udara itu dapat memicu terjadinya kerusakan paru-paru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mikroplastik jelas adalah bagian dari polusi, baik di air maupun udara. Di udara, mikroplastik dapat dijumpai di luar ruangan seperti udara bebas, juga dalam ruangan,” jelas Tjandra.
Menanggapi dampak buruk mikroplastik yang ditemukan dalam awan oleh sejumlah peneliti Jepang, ia mengatakan partikel mikroplastik sudah lebih dulu ditemukan pada dahak dan jaringan paru manusia berdasarkan sebuah data ilmiah. Karena ukuran partikelnya yang amat kecil, mikroplastik dapat dengan mudah masuk jauh ke dalam paru-paru. Ada lima mekanisme kerusakan dalam paru yang dapat terjadi jika partikel asing itu berhasil masuk.
Sebabkan peradangan
Tjandra menjelaskan paru-paru manusia bisa mengalami peradangan, adanya sitotoksisitas atau rusaknya zat atau sel dalam paru dan mengalami disfungsi barier epitel yang berfungsi sebagai gerbang pelindung tubuh dari zat asing. Bahaya lain yakni terjadinya redox imbalance yang berkaitan dengan ketidakseimbangan oksidasi serta kemungkinan efek sinergi dengan alergen secara umum.
Ia juga menyatakan bentuk dan tingkat konsentrasi pencemaran udara akibat mikroplastik bisa dipengaruhi gaya hidup manusia, aktivitas antropogenik seperti pencemaran atau masuknya limbah dari kegiatan industri, pertambangan, pertanian, hingga situasi meteorologi setempat.
“Harus diakui penelitian dampak kesehatan paru-paru akibat mikroplastik masih amat terbatas sehingga jenis penyakit pasti belum dapat ditentukan,” ujar mantan Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara itu.
Atas dasar tersebut Tjandra mengusulkan pemerintah Indonesia mulai melakukan empat jenis penelitian sebagai bentuk antisipasi dari dampak buruk mikroplastik dalam awan. Pertama, penelitian terkait dampak jangka panjang yang disebabkan mikroplastik terhadap kemungkinan terjadinya asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), fibrosis paru, emfisema, dan penyakit lain.
Lalu, pemerintah perlu mengkaji dampak nano mikroplastik yang dari paru-paru mungkin menyebar melalui peredaran darah, meneliti adanya potensi partikel tersebut masuk ke dalam peredaran darah sehingga menimbulkan dampak pada organ selain paru-paru, sampai mengukur berapa lama mekanisme pernapasan mampu membersihkan diri dari polusi mikroplastik.
Pilihan Editor: Banyak Debu di Penitipan Anak, Waspadai Paru-parunya