Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Benda Kuno di Masjid Kauman Bantul: Batu Hitam dan Jam Bencet

Ada dua benda yang menarik perhatian jemaah Masjid Kauman atau Masjid Sabiilurrosya'ad di Bantul, Yogyakarta.

26 Mei 2019 | 07.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bantul - Masjid Kauman atau Masjid Sabiilurrosya’ad di Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, menyimpan benda bersejarah. Sie Kesejahteraan Takmir Masjid Kauman, Nur Jauzak, mengatakan ada dua benda yang menarik perhatian jemaah masjid tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca: Masjid Babul Firdaus, Tempat Para Raja Bikin Taktik Lawan Belanda

Benda itu adalah sebuah batu hitam berbentuk kotak yang disebut watu gilang dan sebuah jam bencet. "Ada dua versi tentang watu gilang yang diceritakan turun-temurun," kata Nur Jauzak kepada Tempo, Sabtu 25 Mei 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Versi pertama menyebutkan batu gilang itu adalah ancik-ancik atau pijakan kaki Kanjeng Panembahan Bodho ketika berwudu. Panembahan Bodho yang memiliki nama kecil Raden Trenggono adalah cucu Adipati Terung I yang merupakan anak Adipati Palembang, Raden Aryo Adinegoro. Panembahan Bodho merupakan cicit dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya. Di Masjid Sabiilurrosya’ad, watu gilang itu berada di dekat sumur mata air.

Cerita kedua tentang watu gilang meyakini kalau itu adalah yoni, batu untuk persembahan yang terdapat di candi-candi Hindu. Sebelum Islam masuk, masayarakat pada masa itu lebih dulu memeluk Hindu. Sebelum Masjid Kauman dipugar, watu gilang terletak di bagian depan masjid. Tujuannya, menarik perhatian orang yang melintas agar datang ke masjid.

Sebuah batu hitam yang disebut watu gilang dan jam bencet atau jam matahari di Majid Kauman Bantul di Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Benda kedua yang menarik perhatian jemaah, menurut Nur Jauzak, adalah jam bencet. Pria 52 tahun ini menjelaskan jam bencet memiliki nama lain, yakni jam matahari atau istiwa’. Jam ini digunakan untuk menentukan waktu salat. Sesuai namanya, jam tersebut mengandalkan sinar matahari dan hanya bisa digunakan untuk menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar saja. "Dan yang bisa membacanya adalah orang-orang tua," kata Nur.

Baca juga: Asyik Ngabuburit di Masjid Ini, Tunggu Buka Puasa Sambil Dipijat

Jam bencet berupa beton berbetuk setengah lingkaran yang diberi tanda derajat ukuran seperti penggaris, tetapi setengah melingkar. Di atasnya tertancap paku sepanjang 4 sentimeter. Sesuai peredaran matahari, waktu Dhuhur adalah ketika sinar matahari tepat di atas kepala. Bayangan orang pun tepat di bawah kakinya.

Bentuk jam bencet atau jam matahari di Majid Kauman Bantul di Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Sedangkan waktu Ashar terjadi ketika bayangan benda sama panjang dengan ukuran benda aslinya. "Selisih jam bencet dengan jam analog sekitar 10 sampai 30 menit, lebih dulu waktu istiwa’," kata Nur.

Jam bencet bukan peninggalan Kanjeng Panembahan Bodho. Jam itu dipesan dari perajin jam di Magelang, Jawa Tengah, pada 1950. Tak hanya di Masjid Kauman Bantul, jam bencet juga ada di sejumlah masjid kuno di Yogyakarta dan Surakarta. Kini, watu gilang dan jam bencet ditempatkan berdampingan di sisi kanan Masjid Kauman Bantul.

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus