Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Di Balik Kota Sampah di Kairo Mesir

Garbage City, kota sampah di Kairo Mesir, memberikan persfektif berbeda baik tentanv sampah maupun kehidupan

26 Februari 2025 | 10.33 WIB

Garbage City, Kairo, Mesir. (Tangkapan layar Youtube.com/Drew Binsky)
Perbesar
Garbage City, Kairo, Mesir. (Tangkapan layar Youtube.com/Drew Binsky)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah perjalanan dapat mengubah pandangan seseorang. Seperti yang dialami vlogger perjalanan, Drew Binsky, yang melakukan perjalanan ke Garbage City, di Kairo, Mesir. Dia menilai ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari penduduk setempat,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Drew mengunggah perjalanannya ke Garbage City dalam kanal perjalanannya di Youtube. Kawasan itu sebenarnya bernama Manshiyar Nasser, salah satu dari sembilan distrik yang membentuk wilayah Barat, ibu kota negara Kairo. Letaknya pun tidak jauh dari Piramida Giza yang ikonik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lebih dari 90 ribu orang tinggal di sana yang dikenal dengan Zabbaleen. Mereka mendaur ulang 80 persen sampah ibu kota Kairo. Zabbaleen, berarti "pengumpul sampah" dalam bahasa Arab Mesir, seperti dilansir dari Mirror

Sekitar 70 persen penduduknya tinggal di rumah kumuh yang dibangun sendiri. Pemandangan gerobak yang ditarik keledai mengambil sampah dari seluruh Kairo dan membawanya kembali ke kota itu nampak tak asing. Begitu juga dengan anak-anak yang memilah plastik, wanita mengurus kaleng, serta pria fokus pada kaca dan logam. Mereka juga memberi makan sampah organik ke babi.

Garbage City, Kairo, Mesir. (Tangkapan layar Youtube.com/Drew Binsky)

Bagian yang paling berkesan bagi Drew adalah kegiatan penduduk setempat yang mendaur ulang hingga 85 persen dari apa yang mereka kumpulkan. Angka ini tentu yang jauh lebih tinggi dari rata-rata 25 persen di negara-negara Barat. 

"Di sini, sampah bukan sekadar sampah. Itu adalah upaya bertahan hidup. Masa depan komunitas ini tidak pasti. Dan apakah komunitas ini akan bertahan, tidak ada yang tahu," ujarnya dalam unggahan di Youtube-nya, seperti dilansir dari Express UK.

Meski sudah melihat langsung sekilas kehidupan warga di Garbage City itu, Drew masih tidak percaya bagaimana mereka membangun kehidupan dari barang-barang yang dibuang dunia. "Jika kita memiliki akal sehat dan tekad seperti mereka, kita mungkin akan melihat sampah dan kehidupan sedikit berbeda," ujarnya.

Menurut dia, semua penduduk bekerja di tempat sampah, sangat terorganisasi. Penduduk harus memindahkan tumpukan sampah hanya untuk bertahan hidup. Dia menggambarkan seperti pertempuran, mereka mengumpulkan sampah tanpa air bersih, listrik yang tidak dapat diandalkan, dan ancaman penyakit yang terus-menerus.

"Terkadang sampah bagi satu orang bisa menjadi harta karun bagi orang lain, karena di sini ribuan penduduk setempat bergantung pada pengumpulan sampah untuk menghidupi keluarga mereka," ujarnya. 

Para pengumpul sampah juga dilaporkan sangat jujur. Jika mereka menemukan sesuatu yang berharga, seperti emas, mereka akan memberi tahu penduduk setempat untuk mencoba dan mengembalikan barang itu dengan pemilik aslinya.

Namun, ada kekhawatiran bahwa 'Garbage City ini akan dipindahkan lebih jauh dari Kairo oleh pemerintah Mesir. Selama hampir satu abad, Zabbaleen telah mengembangkan sistem pengelolaan limbah yang berakar pada metode yang banyak membutuhkan sumber daya dan padat karya. Berasal dari daerah pedesaan Mesir Hulu pada tahun 1940-an, mereka memulai sebagai petani yang memanfaatkan kembali limbah organik untuk memberi makan ternak mereka.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus