Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syofiardi Bachyul Jb.
Jurnalis, menetap di Padang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendapat tawaran melancong ke pos perbatasan negara, apalagi perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini (Papua New Guinea, PNG), saya membayangkan sebuah lokasi yang jauh dari kota. Terbayang akses jalan yang jelek, di tengah hutan, dengan fasilitas minim, dan diawasi tentara pula. Tapi Budi, teman saya yang tinggal di Jayapura, mengatakan lokasi tersebut tidak terlalu jauh, sekitar 70 kilometer dari Kota Jayapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Paling satu setengah jam ke sana dengan mobil, itu kan masih wilayah Kota Jayapura," kata Budi. Tapal batas yang dimaksud Budi adalah Kampung Skouw, Distrik Muara Tami.
Esoknya, Budi menjemput kami-saya dan tiga teman lain-di hotel di Kota Jayapura sekitar pukul 9 waktu Indonesia bagian timur. Kami berangkat menggunakan mobil Avanza.
Pusat Kota Jayapura terletak di tepi pantai pada sisi kiri Teluk Youtefa. Ini teluk yang cantik, hampir berbentuk setengah lingkaran dengan lebar sekitar 10 kilometer. Di sisi lainnya ada Pantai Holtekamp.
Jalan menuju Skouw adalah jalan negara yang mulus dan lancar, meski tidak terlalu lebar. Jalannya menyusuri perbukitan dengan pemandangan pertama hamparan Teluk Youtefa di kiri. Saya menikmati panorama ini dan mencapai puncaknya ketika melewati perbukitan di Kampung Nafri.
Hamparan Teluk Youtefa nun di bawah terlihat menawan dari Kampung Nafri. April lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan Jembatan Holtekamp berwarna merah yang menghubungkan pusat Kota Jayapura sepanjang 1,8 kilometer dengan Pantai Holtekamp. Jembatan itu memperpendek akses ke Skouw. Jembatan ini masih sedang dikerjakan hingga sekarang.
Melewati separuh perjalanan, di beberapa titik kami melihat pos jaga Tentara Nasional Indonesia. Kawasan ini memang masih dijaga ketat TNI untuk mengantisipasi gangguan dari kelompok bersenjata.
Menjelang memasuki jalan dua jalur menuju lokasi pos lintas batas, kami berhadapan dengan sebuah pos TNI. Kami menurunkan kaca mobil dan menyapa para petugas. Budi turun ke pos untuk menyerahkan kartu tanda penduduk. Seorang petugas mendekati mobil melihat jumlah kami.
Salah seorang anggota rombongan wisatawan wajib menyerahkan KTP atau surat izin mengemudi sebagai jaminan. Kami harus melaporkan keperluan berkunjung. KTP diambil kembali setelah kunjungan selesai.
Sekitar 300 meter dari pos jaga, kami melihat sebuah bangunan baru yang megah. Ada tulisan besar di depannya, "SKOW", berwarna merah menyala dan di bawahnya "Border Post of The Republik of Indonesia" berwarna putih.
Setelah memarkir mobil, kami memuaskan diri berfoto di depan bangunan berkonsep green building itu. Di belakang tulisan tersebut, berdiri megah Kantor Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw. Kantor ini masih baru karena diresmikan Presiden Jokowi pada Mei lalu dengan taman dan bangunan pelengkap lainnya. Arsitekturnya pun unik. Paduan bangunan modern dengan sentuhan unsur rumah tradisional dan ukiran khas Papua. Ruangan yang tinggi dan terbuka membuat udara mengalir segar.
Ada dua jalur masuk ke kantor imigrasi ini. Kami memilih jalur "tradisional" yang boleh dilewati tanpa paspor dan visa. Budi memberitahukan kepada petugas tentang keperluan dan jumlah kami. Beberapa penduduk lokal Jayapura terlihat melintas dengan santai tanpa pemeriksaan.
"Sebelum ada pos ini, penduduk kampung di perbatasan, baik yang di wilayah Papua Nugini maupun di wilayah Indonesia, sudah biasa melintas untuk berbagai keperluan. Karena itu, mereka bebas keluar-masuk tanpa paspor untuk keperluan sehari-hari di jalur ‘tradisional’," kata Budi.
Di jalan di samping kantor, saya melihat dua truk berisi kasur per dan truk-truk lain. Truk-truk tersebut membawa barang-barang dari Jayapura untuk dijual ke negeri seberang. Jadi mereka mengurus izin melewati perbatasan.
Barang-barang dari Indonesia lebih banyak dijual ke Papua Nugini ketimbang sebaliknya. Bahkan orang-orang PNG di perbatasan lebih suka berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional di Skouw.
Seorang teman di Jayapura mengatakan orang-orang Indonesia biasanya membeli produk dari negara tetangga, seperti kornet sapi dan sosis domba. Sosis domba tidak ada di Indonesia, sedangkan harga kornet di wilayah PNG sekitar Rp 60 ribu, jauh lebih murah dari di wilayah Indonesia perbatasan yang dijual hingga Rp 100 ribu.
Di balik gedung, berdiri patung lambang Garuda Pancasila yang cukup besar, menghadap ke gerbang perbatasan. Pengunjung selalu menjadikan patung ini sebagai latar untuk berfoto. Kami menyusuri jalan dengan trotoar lebar sepanjang 350 meter hingga sampai di gerbang perbatasan Indonesia.
Di pos jaga, ada dua atau tiga petugas Indonesia tanpa seragam yang mencolok. Mereka memeriksa pelintas sebelum melewati pagar besi untuk keluar dari wilayah Indonesia. "Maaf, kamera besarnya tidak boleh dibawa, tapi handphone boleh, jadi ambil gambar di sana dengan HP saja," kata seorang petugas kepada saya.
"Kenapa tidak boleh?" tanya saya sedikit ragu menyerahkan DSLR saya.
"Nanti kalau Bapak bawa ke seberang, kameranya bisa ditahan petugas di sana," kata petugas itu.
Di Tapal Batas Papua
Berada di luar pagar Indonesia, kami langsung melihat gerbang perbatasan PNG yang kecil dan sederhana dibanding gerbang Indonesia dari beton yang besar dan kukuh. Bendera Papua Nugini dan deretan bendera provinsi negara itu berkibar di balik pagar.
Ada zona bebas selebar 18 meter di antara gerbang kedua negara. Empat orang tentara PNG terlihat duduk santai di balik pagar. Seragamnya mengingatkan saya pada seragam tentara Australia.
Di pagar perbatasan Indonesia, terlihat beberapa warga PNG yang mirip orang Papua berjualan pinang untuk dikunyah dan aneka kaus yang digantung di pagar batas Indonesia.
Budi membawa kami melewati jalan sempit di samping Kantor Imigrasi PNG yang terlihat tanpa penjagaan. Tapi serombongan pelintas terlihat sedang berkerumun di loket pengecekan paspor. Tak ada pemeriksaan pada kami saat melewati kantor ini.
Lepas dari kantor kecil tersebut, kami melihat terminal angkutan kecil yang tak begitu luas dengan ruang tunggu hanya sebuah bangunan beratap dengan bangku dan meja dari semen. Sebuah minibus-mirip angkutan kota atau angkot-terlihat sedang menunggu penumpang. Di depannya, parkir tiga mobil putih berpelat PNG, mungkin mobil petugas imigrasi atau tentara penjaga perbatasan PNG.
Beberapa poster menarik perhatian saya karena berbeda dari desain poster di Indonesia. Ada kampanye kandidat anggota legislatif, kampanye pemberantasan HIV, dan poster lain.
Wilayah Kota Jayapura di Indonesia berbatasan langsung dengan Provinsi Sandaun, PNG. Sandaun adalah provinsi paling utara negara itu yang terkenal dengan mataharinya yang paling terakhir terbenam dibanding provinsi lain di PNG. Karena itu, namanya "Sandaun". Itu bahasa Pidgin, bahasa khas PNG, yaitu bahasa Inggris yang ditulis sesuai dengan yang terucap. "Sandaun" berasal dari "sun down" (matahari terbenam). Contoh tulisan Pidgin, "Man man you go" artinya "orang-orang kamu pergi" atau "Long-long tok tok" (long talk).
Jarak dari kedua gerbang ke pantai yang berada di bawah bukit hanya sekitar 450 meter dan langsung berhadapan dengan Samudra Pasifik. Sedangkan sisi perbatasan lainnya berhadapan dengan hutan dan pegunungan. Pagar besi perbatasan Indonesia tidak begitu panjang membatasi kedua negara.
"Kalau ke Kampung Wutung yang terletak di bawah sana atau Kota Vanimo, ibu kota Sandaun, perlu satu jam perjalanan. Kita mesti pakai paspor dan bisa naik angkot di sini. Tapi, kalau tanpa paspor, kita hanya bisa keliling di sekitar kawasan perbatasan ini," kata Budi.
Di seberang jalan dekat terminal, terlihat deretan gubuk penjual aneka suvenir khas PNG. Kami memilih beberapa. Harga kaus Rp100 ribuan; kalung Rp 50 ribuan; gelang Rp 20 ribuan; topi dan kupluk Rp 50 ribuan; serta gelas, bendera kecil, dan lainnya rata-rata Rp 20-50 ribu. Saya membeli kupluk (beanie), topi kain, dan gelang.
Penjualnya bisa berbahasa Indonesia dan melayani pembelian dengan mata uang rupiah serta kina, mata uang PNG. Nilai rupiah sangat jauh di bawah nilai kina. Saya membeli uang kertas 1 kina Rp 5.000 untuk suvenir. Nilai uang negara ini terhitung tinggi. Bahkan, pada September lalu ketika rupiah anjlok, nilai kina, seperti dolar Amerika, ikut naik.
Karena itu, kina merajai pasar tradisional di Skouw yang ramai pada Selasa dan Kamis. Pedagang lebih suka menerima kina karena nilainya lebih tinggi ketika dijual.
Puas berbelanja, kami masuk ke sebuah obyek wisata sederhana yang hanya 30 meter dari jalan. Itu satu-satunya lokasi berwisata tanpa paspor di wilayah PNG dengan bayaran masuk per orang Rp 10 ribu. Di sana, hanya ada bangku dan meja kayu untuk duduk memandang ke bawah bukit.
Pemandangan yang terhampar adalah pantai dengan Samudra Pasifik yang luas. Sebuah perkampungan terlihat cukup rapi dengan rumah-rumah berwarna putih. Itulah Kampung Wutung, permukiman terdekat PNG dengan wilayah RI. Sekitar 20 turis dari Indonesia tampak sedang menikmati panorama itu.
Pengelola obyek wisata ini menjual minuman dan makanan ringan. Ada sosis domba dan kornet sapi. Tapi, di antara kami, tidak ada yang ingin makan, apalagi saya yang tidak biasa makan daging. Jadi, kami duduk-duduk saja hampir satu jam menikmati pemandangan di wilayah PNG.
Setelah puas, kami kembali ke gerbang. Petugas tadi, atau entah yang lain karena saya sudah tidak ingat wajahnya, datang bergegas menyambut sambil menyodorkan kamera saya dengan ramah.
Seorang tentara berpakaian olahraga terlihat sedang bersiap-siap di depan gerbang untuk lari sore. Ia dengan ramah mengajak kami mengobrol. Ia mengatakan selalu rutin setiap sore berolahraga lari ke Kampung Wutung untuk mengeluarkan keringat. Itu salah satu cara untuk melawan ancaman malaria selama bertugas di pos perbatasan.
"Sebenarnya, kalau ada waktu, bisa ikut dengan saya ke Kampung Wutung, tidak perlu pakai paspor," ujarnya.
Kami bertanya-tanya kenapa para petugas tiba-tiba menyambut ramah. Seorang teman menduga mungkin isi kamera kami telah mereka periksa.
Ransel
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo