Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Selama dua tahun lebih pandemi Covid-19 terjadi, dampaknya masih terus menjadi perbincangan, termasuk bagi industri perjalanan. Kini orang sudah mulai bisa bepergian, tapi menghadapi masalah lain, yaitu harga tiket pesawat yang mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencarian di internet menunjukkan harga tiket pesawat setinggi langit untuk banyak rute, namun pelancong dengan nafsu berkelana memilih untuk menanggung biaya yang lebih tinggi setelah dilarang terbang begitu lama. Mereka ingin melakukan revenge travel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah studi Mastercard Economics Institute menemukan biaya terbang dari Singapura rata-rata 27 persen lebih tinggi pada April 2022 dibandingkan pada 2019. Sementara penerbangan dari Australia 20 persen lebih tinggi.
Pada akhir April, pemesanan penerbangan liburan global telah melampaui level pada 2019 sebesar 25 persen, sementara pemesanan perjalanan bisnis melampaui level pra-pandemi untuk pertama kalinya pada Maret. Semakin banyak pelancong yang memesan tiket berbulan-bulan sebelumnya karena mereka khawatir tentang biaya pembelian pada menit terakhir, kata David Mann, Kepala Ekonom untuk Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika di institut tersebut. Ada beberapa alasan yang membuat harga tiket pesawat tinggi:
Jet raksasa diparkir
Operator berhati-hati dalam mengoperasikan kembali semua jet mereka yang menganggur, meskipun sebagian besar negara telah melonggarkan pembatasan lintas batas. Itu terutama berlaku untuk pesawat raksasa seperti Airbus A380 superjumbo dan Boeing 747-8 yang lebih tua. Maskapai beralih ke model yang lebih hemat bahan bakar seperti Airbus A350 dan Boeing 787 Dreamliner. Masalah paling akut terjadi di Asia yang paling lambat untuk melonggarkan pembatasan.
Setelah menavigasi kebijakan pemerintah yang bervariasi dan berubah selama dua tahun terakhir, maka akan membutuhkan waktu bagi maskapai untuk membangun kembali armada mengingat banyak pembatasan baru dilonggarkan pada Mei, kata Subhas Menon, Direktur Jenderal Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik. "Ini masih awal-awal," katanya.
Operator juga mengurangi jaringan mereka selama Covid-19. Itu membuat orang mempertimbangkan perjalanan panjang dengan satu atau lebih persinggahan padahal sebelumnya mereka mungkin terbang langsung. Dengan lebih sedikit pesawat di udara, ada lebih sedikit kursi untuk memenuhi pemulihan permintaan yang pada gilirannya telah mendorong kenaikan tarif.
Naiknya harga bahan bakar
Invasi Rusia ke Ukraina telah memperburuk kenaikan harga minyak mentah selama 18 bulan terakhir. Dengan harga US$ 120 per barel, bahan bakar jet sekarang mewakili sebanyak 38 persen dari biaya rata-rata maskapai penerbangan, naik dari 27 persen di tahun-tahun menjelang 2019. Untuk beberapa maskapai beranggaran rendah, biayanya bisa mencapai 50 persen.
CEO Qantas Alan Joyce memperkirakan hal ini pada bulan Maret, ketika dia memperingatkan bahwa harga minyak global di sekitar US$ 120 per barel akan membuat biaya tiket pesawat naik sekitar 7 persen.
Wisatawan berkantong tebal
Biaya tiket yang lebih tinggi tampaknya tidak menghalangi orang untuk melakukan perjalanan sekarang karena banyak pembatasan perjalanan telah dilonggarkan. Beberapa konsumen bersedia membayar lebih mahal untuk perjalanan liburan, kata Direktur Jenderal Asosiasi Transportasi Udara Internasional Willie Walsh bulan lalu. Mereka adalah para pelaku revenge travel yang telah mendambakan perjalanan selama dua tahun terakhir.
Kekurangan staf
Ratusan ribu pilot, pramugari, ground handler dan pekerja penerbangan lainnya kehilangan pekerjaan selama beberapa tahun terakhir. Dengan peningkatan perjalanan, industri sekarang menemukan dirinya tidak dapat mempekerjakan mereka kembali dengan segera untuk memungkinkan operasi yang mulus pada tingkat pra-pandemi. Bandara Changi Singapura ingin merekrut lebih dari 6.600 orang. Banyak pekerja yang diberhentikan telah menemukan karir lain yang tidak terlalu bergejolak dan tidak mau kembali ke siklus industri penerbangan.
Memperbaiki neraca
Penerbangan adalah industri padat modal dengan margin tipis secara historis. Covid-19 telah membuat iklim operasi itu semakin menantang. Secara global, maskapai penerbangan kehilangan lebih dari US$ 200 miliar dalam tiga tahun hingga 2022. "Kami belum pernah melihat lingkungan pendapatan seperti ini, dipimpin oleh rekreasi domestik," kata CEO American Airlines Robert Isom pada konferensi industri pekan lalu.
Tidak jelas berapa lama harga tiket pesawat yang tinggi ini akan bertahan meskipun banyak pelancong tampaknya bersedia membayar. “Kenaikan harga adalah fenomena jangka pendek,” kata Stephen Tracy, Chief Operating Officer di Milieu Insight, firma analisis dan wawasan konsumen yang berbasis di Singapura. “Mari kita semua berharap bahwa setelah hal-hal ini kembali seimbang, harga kembali turun. Saya cukup yakin bahwa mereka akan melakukannya.”
EXECUTIVETRAVELLERS.COM