Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Brugge Dibayangi Ledakan Turis

Jalan-jalan utama Brugge yang dipadati turis membuat mobil-mobil warga dan bus-bus kota harus berjalan lambat.

 

11 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana di Grote Markt dengan bangunan ikonik menara lonceng dan restoran-restoran (kanan) di Brugge, Belgia, 30 November 2024. TEMPO/Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lautan turis antre panjang saat jam makan siang di restoran, kedai-kedai, dan toko suvenir cokelat.

  • Pamor Brugge sebagai tempat wisata telah dimulai pada abad ke-19, saat orang-orang dari Inggris bermalam di sana.

  • Keindahan Brugge sebagai “Negeri Dongeng” banyak diceritakan dalam catatan perjalanan hingga novel.

MENJELANG Natal pada Desember adalah puncak kedua kunjungan turis ke Brugge, Belgia, selain musim panas. Saya menyaksikan lautan turis memadati Grote Markt. Mereka antre panjang saat jam makan siang di restoran, kedai-kedai, dan toko-toko suvenir cokelat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, saya harus berebutan dengan ribuan penumpang di Stasiun Brussels Selatan menaiki kereta api menuju Brugge. Saya baru bisa menaiki gerbong pada kereta berikutnya. Itu pun saya harus rela berdiri di dekat pintu, berdesakan dengan penumpang lain sambil kepayahan membawa koper besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan-jalan utama Brugge yang dipadati turis membuat mobil-mobil warga dan bus-bus kota harus berjalan lambat. Sering kali bunyi klakson terdengar berulang. Pada Juli 2024, beberapa media di Eropa memberitakan seorang bertopeng mendorong pemandu wisata ke kanal sebagai bentuk protes karena wisatawan dianggap merusak arsitektur kota. Peristiwa itu menunjukkan adanya ketegangan antara warga lokal dan wisatawan yang jumlahnya meningkat.

“Ya, Brugge terlalu padat pada masa liburan,” ujar seorang wisatawan dari Italia yang sedang kuliah di Belanda.

Pamor Brugge sebagai tempat wisata dimulai pada abad ke-19, saat orang-orang dari Inggris bermalam di Brugge dalam perjalanan mengunjungi Waterloo dengan kereta api, medan pertempuran kekalahan Napoleon. Sebuah proyek pembaruan perkotaan yang visioner pada 1970-an mengembalikan Brugge ke kejayaannya pada abad pertengahan dengan renovasi rumah-rumah bersejarah, penataan kanal, pengembangan lebih banyak ruang hijau di kota, serta pelarangan mobil.

Keindahan Brugge sebagai “Negeri Dongeng” banyak diceritakan dalam catatan-catatan perjalanan hingga menjadi latar cerita novel, seperti Bruges-la-Morte karya Georges Rodenbach yang ditulis pada 1892. Juga karya Dorothy Dunnett, The House of Niccolò, novel delapan seri yang terbit pada 1986-2000. Film komedi gelap In Brugge besutan Martin McDonagh pada 2008 turut mendongkrak popularitas Brugge. Lewat pariwisata, kejayaan kota seluas 140,99 kilometer persegi itu kini seolah-olah bangkit untuk kedua kalinya setelah abad pertengahan.

Restoran-restoran bergaya neo-gotik di Groth Markt di Brugge, Belgia, 1 Desember 2024. TEMPO/Ika Ningtyas

Dan, boom! Jumlah turis yang datang ke kota ini pada 2023 tercatat lebih dari 8,3 juta orang, nyaris 70 kali lipat dari warga lokal yang sebanyak 120 ribu jiwa. Akses menuju Brugge memang terbuka. Selain kereta api, turis bisa menggunakan bus dari negara-negara sekitar, atau dari laut dengan kapal pesiar. Overtourism ini mengingatkan saya pada Venesia, Barcelona, atau Bali yang menghadapi kondisi sama. 

Lewat surat elektronik, seorang pemandu wisata, Emile Van de Gracht, mengatakan overtourism itu membuatnya melihat orang asing lebih banyak daripada warga lokal. Tapi di sisi lain ia menilai ada hal positif karena kota dibersihkan lima kali sehari dan warga bisa menikmati acara budaya gratis, terutama pada musim panas. “Kotamu adalah bom ketika kotamu terkenal,” kata Emile yang bekerja untuk Legend Tour.

Pemerintah Kota Brugge telah mengumumkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi turis yang berlimpah, dari menyetop pembangunan hotel baru, membatasi penyedia akomodasi berkonsep Airbnb, hingga mengurangi perjalanan kapal pesiar menjadi dua kali sehari dan lalu lintas kendaraan ke kawasan kota. “Kebijakan ini bagus untuk mengurangi tingkat stres di jalan dan menyeimbangkan kehidupan warga lokal,” tutur Emile.

Namun ia juga pesimistis kebijakan semacam itu akan bertahan lama karena uang dan pariwisata bisa membeli lebih banyak dibanding yang dihasilkan oleh warga lokal. “Saya takut, tapi juga cukup yakin bahwa pemberhentian hotel tidak akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan.”

Datang selain pada musim panas atau Desember mungkin paling tepat karena jumlah wisatawan tidak akan sebanyak pada bulan-bulan itu. “Berjalan di jalur pedestrian dan memperlakukan orang lokal sebagaimana Anda ingin diperlakukan, itu dibutuhkan saat ini di Brugge,” kata Emilie memberi tip untuk mendukung keberlanjutan wisata di kotanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ika Ningtyas

Ika Ningtyas

Koordinator Cek Fakta Tempo, anggota Pengawas SAFEnet, Majelis
Pertimbangan dan Legislasi AJI Indonesia, dan anggota KONDISI (Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus