Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Bagi umat Hindu di Palembang, Pura Agung Sriwijaya merupakan salah satu tempat perayaan ataupun upacara keagamaan yang terbilang ikonik. Karena itu, tak hanya bagi umat Hindu, pura itu menarik dikunjungi wisatawan, termasuk pada libur Nyepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pura Agung Sriwijaya terletak bersebelahan dengan Komplek Garuda II Kodam II Sriwijaya Palembang dan Musala Al Ihsan. Meski cuaca cukup panas, namun ada nuansa kesejukan dan ketenangan terasa begitu tiba di gapura utama yang disebut Candi Bentar. Di sekeliling pura juga ada beragam jenis tumbuhan yang dapat menghalangi masuknya sinar matahari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari kejauhan, tampak jemaat sedang berjalan diantara Balai Bengong, Balai Panjang pada bagian kanan dan kiri tempat ibadah utama serta Bale Kul-kul. Balai-balai tadi adanya di bagian dalam Pura.
"Di sini pernah berlangsung upacara besar Panca Wali Krama," kata IGB Surya Negara, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumsel, Rabu, 22 Maret 2023.
Surya mengatakan momentum itu terjadi pada 2917. Itu dikenal sebagai upacara yang monumental dan mampu dilaksanakan di luar Pulau Bali secara bergotong royong oleh segenap umat Hindu di Sumsel.
Bale Kul-kul di Pura Agung Sriwijaya, Palembang. TEMPO/Parliza Hendrawan
Bangunan megah pura menempati tanah seluar 3.000 meter persegi (60 meter x 50 meter) dengan luas bangunan 2.475 meter persegi (45 meter X 55 meter). Areal tanah pura dibagi menjadi tiga halaman, meliputi Utama Mandala yang merupakan halaman terdalam, Madya Mandala yaitu halaman yang kedudukannya di tengah-tengah, dan Kaniska Mandala yang merupakan halaman yang terluar atau terdepan.
"Antara satu Mandala dengan Mandala yang lain dibatasi oleh tembok Panyengker atau tembok pembatas," kata Surya.
Pada setiap Mandala terdapat beberapa bagian bangunaan dengan bentuk dan ukuran serta fungsinya masing-masing. Dari segi arah mata angin, lokasi Pura Agung Sriwijaya menunjukkan arah Timur-Barat. Artinya, hulu pura berada di arah Timur dan teben pura mengarah di Barat.
Surya menceritakan tanah lokasi pura merupakan bantuan hibah Kodam II/Sriwijaya dengan status Hak Guna Pakai.
Surya mengatakan pura ini juga memiliki keunikan yang berbeda hal dengan fungsi pura di luar Bali. Selain untuk melakukan persembahyangan umat, Pura Agung Sriwijaya dimanfaakan untuk kegiatan sosial keumatan seperti rapat-rapat warga dan pendidikan agama Hindu nonformal bagi anak atau murid Hindu Kota Palembang dan sekitarnya yang karena ketentuan berlaku tidak bisa ditempatkan guru Hindu pada sekolah yang bersangkutan.
Proses pengembangan pura
Pura Agung Sriwijaya dibangun secara bertahap dan secara gotong royong. Hal itu, menurut Surya, dapat dimaklumi mengingat keterbatasan kemampuan umat yang jumlahnya relatif sangat sedikit.
Pembangunan pura dimulai sejak 1980 atau satu tahun setelah penghibahan tanah tersebut. Di samping dilaksanakan pembangunan baru, dilakukan renovasi bangunan pura yang mengalami kelapukan termakan usia.
Karena pelaksanaan pembangunan secara bertahap, maka panitianya pun berbeda-beda menurut tahun pembangunannya.
Nama bagian-bagian bangunan
Tanah lokasi pura dibagi menjadi tiga Mandala dengan bagian-bagian bangunan dan fungsinya masing-masing. Bangunan tersebut dibedakan atas bangunan pokok dan bangunan pelengkap.
Bangunan pokok adalah bangunan yang berfungsi sebagai Linggih atau istana Sang Hyang Widhi Wasa atau berbagai manifestasinya yang disebut Dewa atau Bhatara. Kemudian, bangunan pelengkap merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat mengatur atau menyusun kelengkapan uapacara serta tempat prosesi kegiatan.
"Dibangun tahun 1982 dan diresmikan oleh Pangdam II Sriwijaya waktu itu Brigjen Tri Sutrisno (mantan Wapres," kata Surya.
Keistimewaan lainnya, menurut Surya, bangunan pura adalah ditetapkannya sebagai pura dalam konsep Padma Buwana (arah mata angin) di kawasan Barat, bersama sembilan pura yang ada di seluruh kawasan Nusantara.
Pura itu juga merupakan pura yang disungsung atau dijadikan tempat pemujaan seluruh umat Hindu yang ada di Sumsel yang mengemban tugas sebagai penyangre atau panitia pelaksana secara bergantian dalam hal melaksanakan segenap rangkaian kegiatan ritual ulang tahun pura.
Pilihan Editor: Tradisi Ogoh-Ogoh Masyarakat Hindu Bali sebelum Hari Raya Nyepi, Mengapa Setelahnya Dibakar?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.