Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Rembang- Sie Hwie Djan alias Opa Gandor diam beberapa detik di depan pintu bangunan bergaya Cina yang disebut Lawang Ombo di Jalan Sunan Bonang, Lasem, Jawa Tengah, 17 Juli lalu. Terucap beberapa kalimat yang disuarakan pelan sambil kedua tangannya mendorong daun pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Braak… Daun pintu tua bersayap dua ini terbuka. Tampak sebuah ruangan kosong. Lantainya terakota, lusuh, dan berdebu. Ada lubang di tengahnya yang mirip sumur. Lebarnya 1 meter. Konon, inilah lorong penggelapan opium alias candu yang berjaya pada masa Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sembarangan orang boleh masuk duluan. Opa Gandor, orang yang dituakan di Lasem, adalah salah satu yang dipercaya memegang kunci bangunan kuno berarsitektur oriental tersebut. Dia juga yang akan mengantarkan orang untuk menyambangi eks rumah opium itu.
“Mundur dulu,” kata laki-laki 70-an tahun itu. Angin sore berembus di belakang punggung. Bulu kuduk berdiri tak lama kemudian. “Banyak ular di sini,” kata Opa Gandor melanjutkan. Beberapa detik selanjutnya ia mempersilakan masuk.
Bau tanah dan debu mendominasi ruangan itu. Aroma dinding yang lembab menguatkan kesan bahwa gedung ini sudah lama tak terjamah banyak orang.Suasana di dalam rumah opium di Lasem, Jawa Tengah, yang menjadi pusat penggelapan Candu zaman dulu. Tempo/Francisca Christy Rosana
Seorang pemerhati budaya Tionghoa sekaligus dosen Sastra Cina Universitas Indonesia, Agni Malagina, yang ditemui Tempo di Lasem pada waktu yang sama, memperkirakan bangunan itu eksis sejak abad ke-18. Ia memprediksi pemilik awalnya adalah seorang pejabat rendah bernama Lim Cui Soon.
Ada sebuah makam batu besar alias bong di belakang gedung Lawang Ombo yang menguatkan perkiraan Agni. Di makam itu terukir nama Lim dengan huruf Mandarin.
Lawang Ombo yang berarti “pintu besar” menjadi saksi perdagangan candu terbesar di Jawa Tengah yang diprediksi mulai bergeliat sejak 1700-an. “Karena dulunya rumah ini adalah tempat distribusi pemasarannya,” kata Opa Gandor.
Ruangan sisi utara bangunan yang telah ditunjukkan Opa Gandor ini merupakan ruang rahasia. Lubang di tengahnya yang seperti sumur itu memiliki aliran langsung ke Sungai Lasem. Sungai Lasem hampir menempel dengan Klenteng Chu An Kiong--dalam peta perjalanan Belanda, Chu An Kiong telah ada sejak 1300, maka itu disebut klenteng tertua.
Panjang gorong-gorong rahasia ini diperkirakan 100 meter. Sedangkan kedalamannya hanya 3 meter. Candu dikemas rapat dan dialirkan melalui gorong-gorong. Air digerojokkan untuk mendorong candu sampai bibir sungai. Para nelayan kapal rakyat telah berjaga untuk menangkap candu-candu.
Candu Lasem lalu didistribusikan di seluruh Jawa Tengah. “Ada wilayah teritori untuk penjualan Lasem. Kalau Jawa Tengah, pusatnya di Lasem,” kata Opa Gandor.
Candu sudah menjadi barang ilegal saat itu. Mahkamah Internasional melarang keras penjualan candu dalam bentuk apa pun. Namun, menurut kesaksian laki-laki asal Lasem itu, candu masih eksis sampai 1950.
Lawang Ombo yang sesungguhnya adalah rumah opium telah berhenti beroperasi. Kini bangunan itu hanya dipakai untuk tujuan wisata. Tentunya bagi para turis yang ingin menyaksikan sejarah yang hidup di pecinan Lasem.