Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ile Boleng merupakan gunung api aktif yang pernah memuntahkan tanah dan batuan.
Tenun khas Lamaholot tradisi turun-temurun yang dirajut para perempuan di sana.
Saat menghadiri upacara kematian, orang Lamaholot wajib mengenakan tenun.
Siang yang sejuk dan syahdu di kaki Gunung Ile Boleng, Nusa Tenggara Timur. Aroma tanah menenangkan menguar selepas hujan reda. Pohon bidara dan reo sebagai bahan baku obat-obatan tumbuh rimbun, menghijaukan bukit yang kerontang setelah musim kemarau panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas menumpang perahu motor yang membelah Selat Larantuka, yang memisahkan Pulau Flores dan Adonara, saya menyusuri perbukitan menuju ke lereng gunung. Saya menggunakan sepeda motor bersama Jefri, warga Desa Pajinian Barat. Satu jam kami melintasi jalanan berkelok-kelok dan menanjak menuju kaki Gunung Ile Boleng di Desa Gayak, Kecamatan Ile Boleng, Pulau Adonara. Jalanan ini tanpa lampu penerangan sama sekali bila malam tiba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ile Boleng merupakan gunung api aktif yang pernah memuntahkan tanah dan batuan saat badai siklon tropis atau badai Seroja meluluhlantakkan permukiman warga di Adonara menjelang Paskah pada 4 April 2021. Puluhan orang tewas dan hilang, rumah penduduk hancur, serta ribuan orang mengungsi karena rumah mereka diterjang banjir bandang.
Flores langganan diterpa badai siklon tropis. Lembaga Meteorologi atau Bureau of Meteorology Australia mencatat siklon tropis paling mematikan di laut Flores terjadi pada 29 April 1973. Siklon gigantik itu menghancurkan Flores dan menewaskan 1.500 orang. Ribuan rumah rata dengan tanah, perahu hancur berkeping-keping, dan pohon bertumbangan. Siklon kembali datang pada April 2002 dan April 2003.
Siang yang mendung itu, kami singgah di pondok beratap alang-alang dan menghadap gunung api. Pondok setengah terbuka berdinding bambu dipenuhi kain tenun itu satu-satunya di sana. Dari beranda pondok berudara segar ini, saya mendengarkan kisah kepercayaan tertinggi masyarakat adat Lamaholot, Lera Wulan Tanah Ekan, yang punya arti Tuhan, matahari, bulan, dan bumi.
Rumah Tenun Milenial di Desa Gayak, Ile Boleng, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 5 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Kepercayaan itu mempengaruhi hampir seluruh kehidupan orang Lamaholot, termasuk tenun ikat yang punya peran penting bagi ritual adat dan pakaian sehari-hari. Tenun khas Lamaholot merupakan tradisi turun-temurun yang dikerjakan perempuan secara kolektif ataupun individu.
Kami lalu menemui penenun kain khas suku Lamaholot, Mariana Tuto Demon, yang mengisahkan filosofi motif-motif tenun Adonara yang dipengaruhi oleh Lera Wulan Tanah Ekan. “Setiap motif dan warna punya makna,” kata Mariana di Rumah Tenun Ikat Milenial pada Senin, 5 Februari 2024.
Ria merupakan pendiri Rumah Tenun Ikat Milenial yang melatih kalangan muda desa setempat untuk melestarikan tradisi Lamaholot. Meski mayoritas beragama Katolik, suku Lamaholot yang mendiami bagian timur Pulau Flores, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata tetap memuja Lera Wulan sebagai penguasa langit dan Tanah Ekan sebagai sosok yang berkuasa atas bumi. Lera Wulan Tanah Ekan, yang dipercaya sebagai leluhur yang menciptakan mereka, menjadi legenda yang terwariskan antar-generasi.
Orang Lamaholot percaya hukum karma. Leluhur punya mata dan bertindak adil. Bila manusia berbuat salah, misalnya mencuri atau perbuatan jahat lainnya, koda kiri atau semacam wahyu akan menghukum mereka dalam bentuk penyakit dan kematian. Saat menghadiri upacara kematian, orang Lamaholot wajib mengenakan tenun.
Pulau Adonara memiliki tenun khas yang dikenal dengan nowing dan kwatek. Nowing adalah sarung khusus untuk laki-laki, sedangkan kwatek merupakan sarung tenun untuk perempuan. Dua jenis tenun ini memiliki berbagai motif khas yang membedakannya dengan jenis tenun ikat di wilayah NTT lainnya. Motif-motifnya lebih sederhana, dominan menggunakan pola garis-garis. Bahan pewarna tenun ada yang menggunakan pewarna alami dari tumbuhan dan pewarna sintetis dari pabrik.
Di Pondok Ria, saya melirik sepuluh kain tenun dengan perwarna alami yang jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang tenun dengan pewarna sintetis. Ria—panggilan akrab Mariana—bergegas membentangkan kain satu per satu. Dia bersemangat menjelaskan filosofi motif dan warna tenun ikat. Kelir tenun pewarna alami lebih kalem dibanding yang menggunakan pewarna sintetis. Tekstur kainnya agak kasar dengan warna-warna yang malah kelihatan memudar. Sebagian tenun pewarna sintetis berwarna mencolok atau ngejreng.
Saya menjajal selembar kain bermotif ikan pari berwarna dominan cokelat, menggunakan pewarna dari akar mengkudu. Motifnya berbentuk kerumunan ikan pari kecil atau mokun ponu. Masyarakat adat Lamaholot menempatkan ikan pari sebagai simbol penting.
Gunung Ile Boleng di Desa Gayak, Ile Boleng, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 5 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Mereka punya kepercayaan pada masa lalu bahwa ikan pari pernah menyelamatkan satu keluarga penenun di pulau terpencil itu. Motif ikan pari yang disebut mowak ini sangat khas. Hanya ada di Desa Boleng di lereng Gunung Ile Boleng. Desa Boleng merupakan salah satu sentra tenun ikat. Semua perempuan di desa ini mahir menenun, termasuk anak-anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Orang Lamaholot dulu hanya mengenal dua pewarna alami, yakni dari akar mengkudu yang menghasilkan warna cokelat dan biru gelap dari daun nila atau Indigofera tinctoria. Kini bahan pewarna alami berkembang. Ada kunyit yang menghasilkan warna kuning dan tepung ubi berwarna putih.
Dalam kepercayaan orang Lamaholot, hitam dan biru melambangkan roh nenek moyang yang melindungi dari kegelapan atau kejahatan. Warna cokelat dari akar mengkudu menyimbolkan kedamaian dan kuning melambangkan kesejahteraan serta kebahagiaan. Putih keabu-abuan menggambarkan ketelatenan atau ketulusan hati. “Kain berwarna dominan hitam dipakai saat berduka. Cokelat, merah marun, dan kuning dipakai saat kami bergembira,” ujar Ria.
Motif-motif tenun Lamaholot di Adonara lekat dengan keseharian suku Lamaholot, misalnya motif kehawek berupa anak panah serta motif gala lolon berbentuk mata tombak yang biasa digunakan untuk berkebun dan berburu. Ada juga motif be’itit berupa entakan kaki atau gerak jinjit penari dan karabau makat berupa potongan daging kerbau setengah matang.
Motif kolo matan burung menggambarkan mata yang jeli melihat hingga ke empat penjuru untuk menirukan hal-hal baik, juga cermat membaca gejala alam. Motif neak belota, yang menyimbolkan penghargaan istri kepada suaminya, berupa cawan minum seperti piala. Motif kehawek berupa mata anak panah bercarang menyimbolkan kebanggaan seorang istri terhadap mata anak panah suaminya yang bersih dan mengkilat.
Motif gunung disebut ile dan pelepah kelapa dalam bentuk atap rumah disebut kau nepi. Orang Lamaholot yakin motif-motif itu menggambarkan sumber kehidupan, roh-roh yang mendiami segala yang ada di alam, termasuk gunung, tumbuhan, dan binatang.
Ria menyebutkan, pada zaman dahulu, untuk membuat satu kain tenun ikat, setidaknya butuh waktu satu tahun. Penenun harus menunggu hingga panen kapas. Lalu memisahkan biji-biji dari kapas yang dipanen, memintal kapas menjadi benang, dan mencelup pewarna alami. Proses perendaman benang pada bahan alami yang difermentasi itu perlu dilakukan berkali-kali supaya warnanya sempurna.
Tenun pewarna alami biasanya banyak digunakan untuk upacara adat, seperti pernikahan dan kematian. Tenun pewarna alami ini, menurut Ria, juga banyak diminati wisatawan asing.
Harga tenun dengan pewarna alami memang lebih mahal ketimbang yang sintetis karena proses pembuatannya lebih rumit dan lama. Bila menggunakan pewarna sintetis, hanya dibutuhkan waktu dua hari untuk menyelesaikan satu kain. Adapun satu kain dengan pewarna alami membutuhkan waktu minimal sebulan.
Ria juga sering menawarkan bahan tenun dari kapas yang dia ambil dari ladangnya. Harga kain tenun yang menggunakan benang dari kapas yang dipetik di ladangnya berkisar Rp 5 juta. Adapun kain serta benang dari pabrik dan pewarna alami berharga Rp 1.500.000-2.500.000.
Tenun ikat khas masyarakat adat Lamaholot menggunakan pewarna alam di Rumah Tenun Milenial di Desa Gayak, Ile Boleng, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 5 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Sejak 2021, tren anak muda mengenakan tenun, kata Ria, mulai meningkat. Permintaan kain tenun juga bertambah seiring dengan kebijakan pemerintah daerah yang mewajibkan pemakaian tenun di kantor-kantor pemerintahan satu hari setiap pekan.
Minat anak muda untuk menenun juga makin tinggi seiring dengan mimpi mereka melestarikan tradisi tenun. Ria melatih anak-anak muda melalui komunitas Rumah Tenun Ikat Milenial di empat desa sentra tenun, yakni Desa Nobo, Poleng, Gayak, dan Kelu.
Budayawan Lamaholot, David Klawes, mengatakan Lera Wulan Tanah Ekan memberikan pengaruh kuat pada tradisi tenun ikat. Penguasa langit dan bumi itu berhubungan dengan simbol kesuburan serta penghormatan terhadap alam. Penguasa yang dimaksudkan adalah ibu bumi yang memberikan kesuburan berupa tumbuhnya kapas dan segala tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami tenun. Perempuan punya kedudukan tinggi dalam sistem adat Lamaholot.
Motif-motif tenun ikat Adonara lebih sederhana alias tidak banyak variasi. Penenun Lamaholot menggunakan motif berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, dan gunung. “Motif ikan pari terlihat seperti bunga. Itu luapan memuji Lera Wulan Tanah Ekan,” katanya.
Dulu, nenek moyang orang Lamaholot, karena hanya mengenal dua pewarna dari akar mengkudu dan pohon nila, butuh waktu setahun untuk merampungkan satu lembar tenun ikat. Semua proses tenun dikerjakan secara tradisional menggunakan tangan perempuan dan bahan alami yang membutuhkan ketelatenan, keuletan, serta kesabaran.
Dia berharap pemerintah punya perhatian serius untuk membantu komunitas-komunitas tenun ikat Adonara. Desa-desa yang menjadi sentra tenun ikat Adonara, menurut dia, selama ini belum banyak mendapat perhatian. Dukungan pengembangan wisatanya lemah ketimbang daerah-daerah lain, misalnya di Sumba Barat yang berhasil memasarkan tenun serta mendatangkan wisatawan domestik dan mancanegara. Mereka juga menjadikan cerita-cerita atau filosofi kain Sumba sebagai bagian dari promosi tenun dan pariwisata.
Pariwisata Adonara pun terlihat belum tergarap secara serius. Sebagian tenun produksi Adonara baru digunakan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat lokal setempat. Padahal tenun ikat Adonara bukan sekadar kain, tapi juga punya filosofi yang kuat, yakni Lera Wulan Tanah Ekan yang kudus. Kepercayaan itu terus menyebar dan abadi.
SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo