Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kairo - Hari masih gelap, langit redup hanya dihiasi bintang-bintang. Namun tampaknya kegelapan malam saat itu sedikit diterangi cahaya api semangat saya dan teman-teman, untuk mendaki gunung yang pernah didaki Nabi Musa menemui Tuhan, yakni Gunung Sinai, Mesir.
Empat jam lamanya kami melakukan perjalanan. Jalanan pendakian tidak berjalan mulus lantaran rute jalan setapak dengan bebatuan yang minim penerangan dan jurang di samping jalan yang cukup berbahaya. Dinginnya malam itu tidak membekukan tekad untuk bisa mencapai puncak dan melihat matahari terbit dari sana.
Beruntung, kami menemukan suku Baduy. Mereka menawarkan untanya untuk dijadikan tumpangan bagi kami mendaki Gunung Sinai. Sebagai gantinya, kami harus merelakan 150 pounds Mesir sebagai ongkos sewa unta dan pawangnya.
Tumpangan unta itu sangat menolong. Perjalanan yang harusnya ditempuh dalam waktu empat jam, bisa disingkat menjadi satu setengah jam. Belum lagi tenaga yang dihemat sejauh 4 kilometer, rute yang bisa dihemat dengan menumpang unta. Dari tempat terakhir unta bisa ditumpangi, kami tinggal mendaki tangga bebatuan sejauh dua kilometer.
Sesampainya di puncak, bertepatan dengan waktu Fajar terbit. Terbayar sudah sedikit kelelahan kami berjalan di tengah malam. Ditambah risiko jatuh ke jurang karena minimnya penerangan dan tebing yang tidak dibatasi apapun. Pendakian Gunung Sinai, jika dibandingkan dengan gunung di Indonesia memang tidak ada apa-apanya. Namun cukup melelahkan karena tidak ada tempat beristirahat seperti sungai dan semacamnya, semuanya batu.
Perjalanan pulang tidak kalah menyenangkan. Saya dan teman-teman mengambil rute yang berbeda. Rute ini nantinya berujung di belakang gereja bersejarah berusia ratusan tahun, Saint Catherine. Hal yang menakjubkan adalah pemandangan di jalan setapak bukit belakang gereja ini. Kami disuguhi pemandangan dinding batu yang terpantul sinar matahari pagi menimbulkan warna kemerahan yang luar biasa.
Menghabiskan waktu liburan di Mesir cukup menyenangkan bagi saya. Biaya hidup di sana sangat murah. Bahkan harga bahan pangan di sana bisa dikatakan lebih murah daripada di Indonesia. Destinasi wisata alam sangat dijaga pemerintah maupun warga setempat. Mungkin alasannya adalah karena pemasukan negara dari wisata cukup besar, seperti saya dengar dari kesaksian pelajar Indonesia di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel ini sudah tayang di Isa Alkaf