Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ritual Labuhan Puro Pakualaman Digelar dengan Prosesi Lengkap di Pantai Glagah Kulon Progo

Dalam ritual Labuhan Puro Pakualaman, sejumlah ubarampe atau sejenis sesaji hasil bumi akan diperebutkan dan dilarung ke laut.

19 Juli 2024 | 10.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tradisi Labuhan Puro Pakualaman di Pantai Glagah Kulon Progo, Yogyakarta, Rabu, 17 Juli 2024. Dok. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yigyakarta - Prosesi adat ritual Labuhan di pantai selatan Yogyakarta rutin digelar oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Puro Pakualaman setiap tahun. Tradisi Labuhan ini biasanya diselenggarakan setiap 10 Suro kalender Jawa atau hari ke-10 pada bulan Muharram kalender Hijriah. Dalam prosesi itu, sejumlah ubarampe atau sejenis sesaji hasil bumi akan diperebutkan dan dilarung ke laut, sebagai simbol doa membuang segala hal yang kotor dan jahat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada peringatan Suro tahun ini, Kadipaten Pakualaman menggelar tradisi itu di Pantai Glagah, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta, pada Rabu, 17 Juli 2024 yang juga diikuti kerabat dan keluarga Pakualaman.

Prosesi Lengkap

Abdi Dalem Pura Pakualaman Urusan Kapanitran Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Sestrodiprojo mengatakan, ritual tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya terutama saat pandemi Covid-19 masih terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jika tahun-tahun sebelumnya saat pandemi itu hanya ada prosesi melarung, kali ini prosesinya sudah lengkap kembali," kata Sestrodiprojo.

Prosesi lebih lengkap yang dimaksud dimulai ada tahapan serah terima gunungan, doa bersama, kirab bregada hingga prosesi puncak larung yang disebut Larung Sukerto atau kotoran.

"Prosesi melarung itu maknanya membuang hal-hal yang bersifat negatif maupun buruk alias buang sial," kata dia.

Ada lima ubarampe yang dilarung kali ini dengan dua ubarampe berbentuk gunungan. Gunungan pertama berisi hasil bumi dan gunungan kedua berupa padi. Sedangkan ubarampe lainnya berisi pakaian dari Raja Kadipaten Pakualaman yakni Sri Paduka Paku Alam, Garwa Dalem (permaisuri) dan keluarga. Ada pula nasi tumpeng hingga buah-buahan seperti pisang dan kelapa.

Makna Melarung Ubarampe

Sestrodiprojo mengatakan, prosesi membuang sukerto atau kotoran dalam Labuhan itu, mengandung makna dari alam kembali ke alam.

"Supaya hal-hal buruk itu akan pudar," kata dia.

Labuhan ini dilakukan di Pantai Glagah yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Diharapkan dengan prosesi ini, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat sekitar bisa hidup sejahtera atau gemah ripah loh jinawi.

"Tujuan utama tradisi sakral ini tak lain untuk mengharap kemakmuran kepada Tuhan sekaligus membuang hal-hal buruk," kata dia.

Menanti Ubarampe

Masyarakat maupun wisatawan datang untuk menyaksikan prosesi adat ini sekaligus berharap mendapatkan ubarampe gunungan dilarung ke laut selatan. Mereka setia menanti dengan sabar pun tampak mendapatkan ubarampe gunungan yang ludes dalam sekejap.

Salah satu yang mendapatkannya adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Hadi Masaid. Ia awalnya mendapatkan informasi tradisi Labuhan dari warga di tempatnya menggelar kuliah kerja nyata atau KKN. Karena penasaran dan baru pertama kali mengetahui ada upacara adat Labuhan, ia bersama teman-temannya naik motor menuju Pantai Glagah. 

Dirinya sangat senang apalagi setelah menunggu dengan sabar di bibir pantai justru mendapatkan buah kelapa yang bisa dimakan bersama teman-temannya. "Senang sekali bisa melihat tradisi ini," kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus