Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perkembangan dunia pariwisata semakin mendorong berbagai inovasi untuk berlomba-lomba menarik minat para pelancong. Hal itu yang kemudian memunculkan sebuah tren wisata dark tourism atau yang berarti wisata dalam kegelapan. Makna wisata gelap bukan diartikan kunjungan di tempat-tempat minim cahaya, melainkan berwisata di tempat-tempat yang memiliki sejarah kelam atau tragedi pada masa lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, orang tak lagi pergi berlibur untuk sekedar hiburan atau kembali menyegarkan pikiran, orang-orang mulai mencari sesuatu yang berbeda. Berbondong-bondong wisatawan sering mengunjungi kamp konsentrasi, tempat pertempuran terkenal, bahkan tempat terjadinya kekejaman massal. Apa yang membuat mereka tertarik pada wisata gelap?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Discover Magazine banyak turis saat ini banyak beralih ke wisata kelam atau dark tourism karena tempat-tempat tersebut memiliki nilai sejarah atau menjadi pilihan sebab ingin mencari pengalaman yang mencekam. Tempat-tempat itu biasanya secara historis dikaitkan dengan kematian dan tragedi. Tren ini juga menjamur hampir di seluruh dunia, para turis mengunjungi kamp konsentrasi, tempat bersejarah pertempuran terkenal, atau bahkan tempat yang terkait dengan kekejaman massal.
Menurut para ahli, ada banyak faktor yang membantu membuat para wisatawan tertarik pada tempat-tempat seram ini. Motivasi wisatawan mengunjungi lokasi wisata kelam sering kali didasarkan pada empat tema umum, menurut sebuah penelitian tahun 2021 yang diterbitkan di International Hospitality Review, alasan itu di antaranya, rasa ingin tahu yang mendalam menjadi faktor terbesar, namun keterikatan dengan hubungan pribadi juga penting.
Banyak wisatawan mengambil bagian karena mereka merasa terhubung atau ingin merasakan koneksi dengan peristiwa yang terjadi di lokasi destinsi wisata tertentu, kata Heather Lewis, asisten profesor di Troy University yang terlibat dalam studi tahun 2021.
Berkunjung untuk tujuan pendidikan, sementara beberapa lainnya kebetulan berada di tempat yang sama dan memutuskan untuk berpartisipasi setelah melihat sesuatu yang mungkin menarik. Bagi sebagian orang, berziarah ke makam selebritas yang mereka sukai adalah cara untuk merayakan dan mempertahankan hubungan mereka layaknya kedua orang yang saling memiliki ikatan.
Konsep pariwisata gelap memiliki nuansa budaya dan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Hal ini dapat menjadi mediasi antara rasa hampa melalui kematian orang lain, sebagaimana orang mati bertindak atas peringatan dari sejarah perjuangan, kebodohan, dan kemalangan kita sendiri. Singkatnya, ketertarikan pada kematian itu sendiri mungkin bukan motif utama mengunjungi lokasi wisata gelap. Hal ini mungkin lebih berkaitan dengan minat individu terhadap warisan budaya dan pendidikan.
Namun, terlepas dari nuansa tersebut, pariwisata gelap sering kali tidak disukai. Bagi sebagian kelompok, hal ini tampak seperti tak bisa menghargai tragedi dan kemalangan akan peristiwa kelam sejarah. Dalam banyak hal, industri ini bertujuan untuk mengelola ingatan kolektif dan memberikan kenangan akan peristiwa kelam bagi mereka yang meninggal secara tragis sebelumnya.
Pada saat yang sama, hal ini memungkinkan pengunjung masa kini untuk mengonsumsi narasi kematian yang telah disederhanakan untuk menjadi komoditas tanpa melihat esensi dari yang dihadirkan oleh industri pariwisata ini untuk mereka. Dengan kata lain, praktik tersebut dapat dianggap sebagai "turistifikasi" terhadap tempat-tempat dan orang-orang yang tenggelam dalam kematian dan tragedi.
Namun, dark tourism nyatanya telah menjadi fenomena yang telah melahirkan setidaknya 900 tempat wisata dark tourism dalam 112 negara di dunia dan begitu diminati terutama bagi generasi millenial. Dengan adanya fenomena ini ada harapan baru untuk mengenalkan sejarah dan proses yang pernah terjadi mengenai suatu tempat kepada generasi muda.
SAVINA RIZKY HAMIDA | LAURENSIA FAYOLA | NAOMY A. NUGRAHENI