Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang turis asing menggunggah video di TikTok yang menyebut bahwa desa wisata adat Sade di Lombok Nusa Tenggara Barat merupakan scamming village atau desa penipu. Hal itu diungkapkan dalam video setelah turis itu membeli suvenir dengan harga yang dinilai mahal di desa Sade.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar. Hal yang terjadi adalah kesalahan persepsi dan komunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelumnya yang terjadi adalah salah persepsi karena kedua pihak tidak berkomunikasi dengan baik dan lancar sehingga terjadi penggiringan opini terhadap Desa Wisata Sade yang dikesankan tidak memperlakukan wisatawan dengan baik," kata Sandiaga dalam keterangannya, Rabu, 21 Desember 2022.
Karena itu, Sandiaga mengatakan pihaknya akan memperkuat pelatihan dan pendampingan bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif, khususnya di desa wisata. Dalam kasus ini, ia akan melibatkan Poltekpar (Politeknik Pariwisata) Lombok.
"Selain bahasa Inggris juga akan ada pendampingan terhadap produk ekraf (ekonomi kreatif) agar ada standardisasi kualitas dan juga harga dengan batasan-batasan harga produk ekraf yang layak dan pantas untuk daerah Lombok Tengah," kata Sandiaga.
Menurut Sandiaga, pada dasarnya Desa Wisata Sade adalah desa yang indah dengan kekuatan budaya dan ekonomi kreatif serta masyarakatnya. "Saya sudah beberapa kali ke sana dan kita akan terus lakukan pendampingan dan pelatihan termasuk peningkatan kemampuan bahasa Inggris masyarakat," ujarnya.
Klarifikasi
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Sade Ardinata Sanah mengatakan apa yang dipersepsikan turis itu sangat tidak benar mengingat masyarakat Desa Wisata Sade sudah sejak lama sangat terbuka terhadap wisatawan dan selalu berusaha menjadi tuan rumah yang baik. "Namun dengan segala keterbatasan, kami tidak bisa berkomunikasi dengan baik kepada wisatawan yang mencecar pertanyaan kepada warga lokal," kata dia.
Turis itu diketahui akan membeli suvenir seharga Rp 60 ribu, namun dinilai terlalu mahal. Ia menawar namun karena keterbatasan komunikasi tidak ditemukan kesepakatan harga. Ia akhirnya memberikan uangnya.
"Persoalan itu hanyalah kesalahpahaman masalah harga, padahal harga suvenir itu tergantung dari kualitas kain tenun yang ditawarkan," kata Sanah.
Desa wisata Sade berbenah
Peristiwa itu cukup membuat desa wisata itu heboh. Namun desa adat bagi suku Sasak itu segera berbenah agar tetap bisa menyambut wisatawan domestik dan mancanegara dengan baik.
Sanah pun mengatakan kejadian itu akan menjadi pelajaran bagi mereka untuk berbenah. "Kami sudah mengidentifikasi apa yang menjadi kekurangan kami sehingga Insya Allah kami sudah mulai berbenah diri untuk menjadi lebih baik" kata dia.
Sanah mengatakan perajin yang sudah sepuh tak akan menjual suvenir lagi. "Mulai saat ini penjual suvenir di Desa Wisata Sade ini rata-rata usia produktif, kalau yang tua kita tidak berikan berjualan," kata dia.
Adapun kunjungan wisatawan di desa Sade saat ini masih tetap stabil atau tidak ada penurunan setelah ada peristiwa viralnya tuduhan scam itu. Dari data pengelola setempat, jumlah kunjungan wisatawan domestik mencapai 200 hingga 300 orang per hari. Sedangkan jumlah kunjungan wisatawan asing bisa mencapai 50 orang per hari.
Baca juga: Paresean, Tari Perang dari Desa Sade