Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Bandara baru Yogyakarta International Airport atau YIA yang berada di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo tak akan dibiarkan hanya menjadi pusat pergerakan arus transportasi udara wisatawan berbagai negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menuturkan bandara YIA menjadi jalan untuk mempercepat kawasan pesisir laut selatan agar dapat segera menjadi wajah atau pintu depan Yogya di masa depan. Salah satu upaya menghidupkan perekonomian dan wisata pesisir selatan itu, Yogya kini menyiapkan kawasan aerotropolis sebagai pendukung utama perkembangan bandara YIA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aerotropolis ini semacam kota baru, dengan tata letak, infrastruktur dan sektor ekonomi berpusat pada bandar udara yang ada. Mirip konsep kota metropolis yang memiliki kawasan suburban.
“Sejak awal (di bandara YIA) sudah kami desain untuk area aerotropolis ini di depan bandara baru itu," ujar Sultan di sela pertemuan dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa di Komplek Kepatihan Yogyakarta, Kamis, 14 Oktober 2020.
Persiapan membangun aerotropolis di area bandara YIA itu pun sudah diikuti dengan menyiapkan lahan cukup luas. "Kami sudah sediakan tanah seluas 1.000 -1.800 meter persegi, jadi tidak akan ada masalah tanah lagi membangun aerotropolis itu," ujar Sultan.
Menurut Sultan, aerotropolis bandara YIA itu nanti langsung menjadi kawasan terintegrasi dan sangat strategis lokasinya. Sebab, di lokasi itu nanti bakal dilalui jalan tol yang menyambungkan Yogya ke berbagai wilayah Jawa Tengah.
"Pengembangan aerotropolis ini bertujuan agar keberadaan bandara baru di Kulon Progo ini bisa terus berkembang, tidak stagnan," kata Sultan.
Sultan menjelaskan pemerintah daerah selama ini sebenarnya sudah berupaya mengembangkan potensi ekonomi dan wisata di kawasan pesisir laut selatan. Namun hasilnya memang masih belum besar jika dibandingkan dengan perkembangan ekonomi wisata di laut utara Jawa.
Lambatnya perkembangan laut selatan itu, menurut Sultan, karena berbagai faktor, khususnya sumber daya manusia.
Nelayan di pesisir laut selatan selama ini merupakan mereka yang sebelumnya berkecimpung dari sektor pertanian lalu beralih profesi ke sektor nelayan karena hanya memiliki lahan garapan yang kecil. Bahkan sebagian nelayan itu pun juga tidak memiliki lahan sama sekali.
Sultan mengatakan pemerintah pernah berupaya mendorong perekonomian pesisir selatan dengan menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan. KKP memberikan bantuan kapal dengan varian kapasitas antara 10-30 grosston untuk sejumlah nelayan di pesisir selatan.
Namun, kebanyakan dari kapal yang diterima itu tidak bertahan lama dan tidak produktif hingga akhirnya mangkrak. Kapal itu dibiarkan dalam waktu lama sampai rusak dan nelayan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki.
"Karena bantuan ini langsung diserahkan dan menjadi milik kelompok masyarakat, kami (pemerintah daerah) akhirnya tidak bisa membantu perbaikan," kata Sultan.
Untuk ke depannya, Sultan mengusulkan agar bantuan bantuan seperti itu bisa diberikan melalui Pemda DIY sehingga pemda memiliki kewajiban merawat dan memperbaiki kapal yang rusak. Selain itu, Pemda DIY bisa membuatkan koperasi dan memberi modal dasar bagi kelompok nelayan agar bisa lebih berkembang.
“Kalau memang bantuan mau langsung ditetapkan untuk kelompok A di lokasi B, silahkan saja, kami tidak masalah. Tapi bisa tidak jika bantuan diserahkan melalui Pemda DIY, jadi kalau rusak bisa langsung kami perbaiki,” ujar Sultan.
Menteri PPN Suharso Monoarfa mengatakan target utama pemerintah pusat saat ini adalah membangkitkan lagi putaran ekonomi di wilayah, khususnya saat masih berlangsung pandemi Covid-19 ini. "Yogya adalah daerah yang sangat ditentukan perekonomiannya oleh sektor jasa, karena sumber ekonomi terbesarnya dari sektor pariwisata,” ujarnya.