Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sidang perdana suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku yang menjerat Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto akan digelar pada Jumat besok, 14 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menuju sidang perdana itu, kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam dakwaan yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kliennya. Ia menegaskan bahwa dakwaan tersebut bertentangan dengan fakta hukum yang telah diuji dan memiliki kekuatan hukum tetap di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Jubir KPK itu menjelaskan bahwa terdapat eksaminasi terhadap dua putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Proses ini melibatkan sembilan ahli dari tiga bidang hukum, yakni hukum pidana, hukum administrasi negara, dan hukum tata negara.
"Eksaminasi ini adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum untuk menguji ulang keputusan yang sudah berkekuatan hukum tetap," kata Febri dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.
Lantas, apa saja sebenarnya kejanggalan dakwaan KPK yang ditemukan tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto? Berikut rangkumannya.
Kejanggalan Dakwaan KPK
Febri menyatakan dia menemukan sejumlah kejanggalan dalam dakwaan KPK terhadap Hasto Kristiyanto. Pertama, ia menyoroti kesalahan penggunaan data. Dalam poin nomor 22, dakwaan KPK menyatakan bahwa Nazarudin Kemas memperoleh nol suara dalam pemilihan legislatif. Namun, berdasarkan fakta hukum dalam putusan nomor 18, Nazarudin Kiemas justru meraih suara terbanyak.
"Ini bertentangan dengan fakta yang ada dan menimbulkan kesan seolah-olah ada kepentingan lain di balik dakwaan ini," ucap Febri.
Kedua, ia membantah tuduhan soal pertemuan tidak resmi yang dilakukan kliennya. Dalam poin nomor 23, KPK menyebutkan bahwa Hasto Kristiyanto pernah melakukan pertemuan tidak resmi dengan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Namun, fakta hukum dalam putusan nomor 28 yang mengadili Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio, menyatakan bahwa pertemuan Hasto dengan KPU merupakan pertemuan resmi saat proses rekapitulasi suara pada April dan Mei 2019. "Tidak ada pertemuan tidak resmi seperti yang dituduhkan," ujarnya.
Ketiga, ia menepis tuduhan tanpa dasar tentang pemberian uang. Dalam poin nomor 24, dakwaan menyatakan bahwa Hasto menerima laporan dari Saiful Bahri dan menyetujui rencana pemberian uang kepada Wahyu Setiawan. Namun, dalam putusan nomor 28, tidak ditemukan fakta hukum yang mendukung klaim tersebut. "Ini adalah tuduhan yang tidak berdasar dan sudah diuji di persidangan sebelumnya," tuturnya.
Keempat, Febri menyoroti tuduhan ihwal sumber dana yang keliru. Dalam poin nomor 25, dakwaan menyebutkan bahwa Hasto memberikan dana Rp 400 juta melalui Kusnadi kepada Donny Tri Istiqomah, yang kemudian diserahkan kepada Wahyu Setiawan.
Namun, putusan nomor 18 dengan terdakwa Saiful Bahri menyatakan bahwa sumber dana tersebut berasal dari Harun Masiku, bukan Hasto. "Ini jelas sekali dalam putusan nomor 18, sumber dana bukan dari Hasto," ucap Febri.
Oleh karena itu, Febri menegaskan bahwa tim kuasa hukum akan terus mengawal jalannya persidangan yang dijadwalkan dimulai pada Jumat 14 Maret 2025 mendatang, dengan penuh penghormatan terhadap forum pengadilan. "Kami berharap proses persidangan ini dapat berjalan secara adil dan transparan, sehingga kebenaran yang sesungguhnya dapat terungkap," kata dia.
Antara dan Yolanda Agne berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Puluhan Pati-Pamen Polri Akan Bertugas di Kementerian, DPD, Badan Penyelenggara Haji, BGN dan BP Batam