Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kembali menyuarakan kapasitas rumah tahanan (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas) yang sudah melebihi kapasitas. ICJR mencatat kapasitas rutan atau lapas terus naik dari 205 persen pada Maret 2020 dengan 270.721 narapidana, menjadi 223 persen hingga Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi penuh sesak rutan dan lapas membuat hak dasar misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Minggu, 6 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyatakan persoalan itu sudah diungkap dalam laporan bersama KuPP (Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan) dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK pada 2018 dan 2019. Laporan ini menjabarkan terdapat korupsi sistemik pada penyelenggaraan rutan dan lapas.
Praktik jual beli segala fasilitas dasar yang seharusnya diberikan kepada para narapidana, dan mempekerjakan tahanan untuk kepentingan petugas dilaporkan sebagai bentuk korupsi sistemik tersebut. Selain itu, laporan KuPP juga menemukan transaksi ilegal berkaitan dengan pengurusan hak pembebasan bersyarat.
Untuk itu, ICJR memberi lima rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan kapasitas lapas yang sudah penuh. Pertama, amnesti atau grasi massal bagi pengguna narkoba untuk kepentingan sendiri yang terjerat UU Narkotika berbasis penilaian kesehatan. "Karena jumlah pengguna narkotika saat ini mencapai 103.081 orang," kata Erasmus.
Kedua, polisi dan jaksa tidak melakukan penahanan rutan untuk pengguna narkotika atau tindak pidana ekspresi seperti penghinaan. Alternatif penahanan non-rutan dapat digunakan seperti tahanan rumah dan kota. Selain itu, pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP.
Ketiga, presiden bisa menyerukan jaksa menuntut dengan rehabilitasi rawat jalan untuk kasus penggunaan narkoba yang tidak membutuhkan rehabilitasi medis di lembaga. Puskemas bisa dipakai tanpa perlu memindahkan kepadatan rutan ke pusat rehabilitasi.
Keempat, presiden bisa menyerukan jaksa untuk menuntut menggunakan Pasal 14a dan c KUHP tentang pidana bersyarat dengan masa percobaan untuk pengguna narkotika. Alternatifnya yaitu syarat rehabilitasi jalan ataupun inap berdasarkan kebutuhan.
Kelima, melakukan pendekatan penanganan kasus dengan pengarusutamaan peran korban (restoratif justice) untuk tindak pidana paling banyak. Di antaranya seperti pencurian dan penganiyaan (tidak untuk kekerasan seksual).
Pendekatan ini mengutamakan penggunaan ganti kerugian pada korban yang sejalan dengan pertanggungjawaban pelaku. Hal ini, kata Erasmus dari ICJR, bisa dilakukan dengan memperbanyak penggunaan Pasal 14c KUHP tentang pidana bersyarat berupa penggantian kerugian dengan masa percobaan.