Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ajal lazarus dan tiang tjoen ...

Liong wie tong alias lazarus & tan tiang tjoen menjalani hukuman mati di kec. klari, karawang. banyak pro & kontra karena eksekusi itu baru dilaksanakan setelah 25 tahun kejahatan pembunuhan terjadi.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENDAM hukum itu sudah terbalaskan. Dua terpidana mati, Liong Wie Tong alias Lazarus, 52 tahun, dan Tan Tiang Tjoen, 63 tahun, Sabtu dinihari pekan lalu, menemui ajalnya di depan sebuah regu tembak. Eksekusi itu berlangsung di sebuah lapangan di Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat. Mereka menyusul rekan-rekannya sesama terpidana mati untuk kejahatan pembunuhan berencana, Kusni Kasdut, Hengky Tupanwael, dan Oesin Baffari -- tiga orang pionir terhukum mati, sejak Indonesia merdeka, di luar perkara-perkara politik. Seperti juga Kusni, Hengky, dan Oesin, yang dieksekusi sekitar 1978 dan 1980, Lazarus dan Tan Tiang Tjoen, menghadapi kematian yang ditentukan manusia itu, dengan pasrah. Sekurangnya begitu kesan Pendeta F. Sahetapy, yang bersama istrinya menyelenggarakan kebaktian terakhir untuk kedua terpidana, pada Jumat pagi, atau sehari sebelum eksekusi dilakukan. "Mereka memegang Alkitab, duduk di hadapan kami dengan pasrah. Keduanya kelihatan cerah, tidak tegang atau pucat menghadapi kematian," kata Sahetapy. Pendeta yang menjadi pelayan rohani di LP Cipinang itu sudah mengenal kedua terpidana sejak 1976 di penjara Cipinang. Pada hari terakhir itu ia menuntun pesakitan membaca ayat dan doa-doa untuk keselamatan mereka di akhirat. Kebaktian itu ditutup oleh istri Sahetapy dengan doa pengampunan dosa. Sebelum berpisah dengan Sahetapy untuk selama-lamanya kedua terpidana mati itu masih sempat titip salam dan permohonan maaf untuk rekan-rekannya sesama narapidana di LP Cipinang, tempat yang dihuninya bertahun-tahun, sebelum dipindahkan ke LP Karawang beberapa hari sebelum eksekusl dilakukan. Lazarus, di sore hari setelah kebaktian terakhir itu, menemui istri dan seorang putranya yang lahir ketika ia masuk penjara. Anak itu kini 25 tahun sudah. Sementara rekannya, Tiang Tjoen, melalui hari terakhirnya dengan sepi. Istri dan tiga orang anaknya menghilang sejak ia divonis pada 16 Oktober 1962. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 24.00, di batas pergantian antara Jumat dan Sabtu, kedua pesakitan dibawa regu tembak ke tempat eksekusi tak begitu jauh dari LP Karawang. Setengah jam kemudian, di hadapan regu tembak Polres Karawang keduanya berangkat menemui ajal. "Pagi-pagi kami telah menerima mayatnya dan pagi itu juga kami kuburkan," kata Sahetapy, yang merasa kehilangan Lazarus karena mereka sama-sama pengurus Gereja Pantekosta LP Cipinang. Alkisah, seperempat abad yang lalu, Lazarus, yang ketika itu berusia 27 tahun, bersama Tiang Tjoen, 37 tahun, menggemparkan penduduk Karawang karena pembunuhan sadistis. Korban bernama Nyonya Siauw Kwie Siong, masih ada hubungan keluarga dengan mereka. Wanita yang baru saja sepekan melahirkan bayi pertamanya itu dihabisi oleh kedua terpidana dengan senjata tajam, selagi menyusui bayinya. Si bayi terempas ke lantai, tapi selamat -- sampai kini masih hidup. Sementara itu, ibunya terkapar berlumuran darah, meregang nyawa. Selesai mengeksekusi korban kedua bandit itu menjarah perhiasan Mendiang. "Kedua terdakwa adalah jahanam-jahanam yang sangat berbahaya. Sebab itu, harus disingkirkan dari kehidupan masyarakat," kata Hakim Mokalu ketika membacakan vonis matinya di Pengadilan Negeri Daerah Swatantra Karawang, seperti dikutip harian Sinar Harapan -- harian yang tahun lalu dibatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Persnya. Sebab itu, kata Mokalu selanjutnya, tidak ada vonis yang setimpal bagi keduanya kecuali hukuman mati. Vonis mati Mokalu disambut oleh pengunjung sidang dengan tepuk tangan menah. "Akur-akur," teriak pengunjung sidang, yang konon berjubel sampai ke halaman pengadilan. Dendam penduduk Karawang ketika itu memang memuncak. Mereka mengiringi kedua pesakitan dengan gemas ketika digiring petugas kembali ke tahanan. Tapi itu peristiwa 25 tahun lalu. Setelah 25 kali angka tahun berganti, sementara masyarakat pelan-pelan melupakannya, Lazarus dan Tiang Tjioen pun berubah. Setidaknya menurut Pendeta Sahetapy: "Mereka berdua adalah jemaat kami yang saleh di LP Cipinang." Bahkan Lazarus, katanya, sudah diangkatnya menjadi pengurus gereja. Itu karena ia sangat aktif membantu kebaktian yang diselenggarakan setiap Rabu di penjara. Ia, menurut Sahetapy pula, sangat fasih membaca Alkitab. Karena itu pula Sahetapy pernah, suatu hari, mempercayai Lazarus memimpin pembacaan doa di gereja LP itu. Lazarus, menurut Sahetapy, kecuali rajin menyiapkan peralatan kebaktian juga aktif mengajak rekan-rekannya sesama napi untuk ikut kebaktian. Ia pula di LP itu yang membentuk kelompok-kelompok doa di antara sesama napi. Salah seorang napi yang ikut kelompok doanya adalah Johny Indo, perampok toko emas, yang belakangan menjadi bintang film. Selain itu semua, Lazarus pun sangat pula memperhatikan rekan-rekannya sesama napi. "Jika ada rekannya yang bebas, ia berinisiatif memberi bingkisan berupa sepatu atau baju," tutur Sahetapy. Sebab itu, Sahetapy kaget ketika Rabu lalu mendapat kabar jemaatnya itu akan dieksekusi. Tapi bukan hanya Sahetapy yang kaget. Liong Hang Moy, 53 tahun, kakak kandung Lazarus, tergagap ketika Rabu itu pula mendapat pemberitahuan dari petugas kejaksaan bahwa adiknya akan ditembak mati, pekan itu juga. "Berita eksekusi itu tiba -tiba disampaikan kepada saya secara lisan. Sungguh saya tidak mengerti, itu 'kan menyangkut nyawa manusia," katanya. Ia segera bergegas ke LP Karawang. Dan menemui adiknya yang ternyata sudah pasrah menerima kabar kematian itu. "Itu jalan ke arah pembebasan penderitaan saya menuju sisi Tuhan," ucap Lazarus -- nama seorang gelandangan yang mati karena tak mendapat belas kasih orang kaya dalam satu kisah di Alkitab Perjanjian Baru. Dengan ucapan itu ia mencoba menyiramkan kedamaian di hati kakak perempuannya. Tapi Hang Moy tetap tidak bisa mengerti kenapa vonis yang sudah berusia 25 tahun itu harus dilaksanakan juga. "Eksekusi itu menimbulkan kecurigaan saya dan bertentangan dengan Pancasila. Sebab, dengan eksekusi itu berarti selama 25 tahun Lazarus menjalani tahanan bukan hukuman," kata wanita tua itu. Karena telah begitu lama mendekam di tahanan, tutur Hang Moy, ia berharap pada suatu waktu Wie Tong -- demikian ia menyebut adiknya itu -- mendapat kebebasan. Apalagi selama di penjara Lazarus telah bertobat bahkan menjadi penginjil. "Waktu itu Wie Tong memang bersalah membunuh. Tapi kemudian ia sudah mengakui kesalahannya dan bertobat," kata Hang Moy. Begitu pula istri Lazarus, dan putranya Aming. Ia, selama 25 tahun, dengan setia menunggu suaminya. Bahkan wanita itu menolak semua lamaran orang, karena berharap suatu ketika akan berkumpul lagi dengan Lazarus. Namun, nasib memang bukan di tangan manusia. Penantian panjang itu berakhir dengan keperihan. Pekan lalu, ia menerima kabar Lazarus harus mati juga. "Ia shock akibat pemberitahuan itu," kata Aming, anaknya. "Seharusnya ia mendapat remisi. Tapi itu tidak pernah terjadi," tambah Hang Moy. Padahal, perbuatan adiknya, menurut dia, tidak tergolong kejahatan subversi atau kejahatan politik. "Kalau penjahat kelas kakap dan koruptor yang merugikan negara bisa mendapat remisi, kenapa Wie Tong, yang hanya melakukan kriminalitas biasa, tetap harus dieksekusi? Di mana letak keadilan hukum?" tanya Hang Moy bertubi-tubi dengan emosi. Kakak perempuan Tiang Tjoen, Tan Heng Nio, 65 tahun, lebih kaget. Sebab, sebelum kabar eksekusi itu muncul, ia malah mendengar kabar baik tentang adiknya itu dari petugas LP Cipinang. Konon, Tiang Tjoen, juga Lazarus, sudah dalam proses peringanan hukuman, bahkan akan dibebaskan. "Petugas LP Cipinang sudah mengantarkan barang-barang Tiang Tjoen, termasuk ayam-ayam piaraannya di LP, ke rumah saya. Ternyata, bukan pembebasan yang terjadi, mereka malah didor," kata Heng Nio. Harapan untuk bebas itu tidaklah berlebihan. Sebab, selain sudah 25 tahun tidak kunjung dieksekusi, semua upaya untuk memperoleh keringanan lewat jalur hukum, bahkan di luar hukum, sudah dicoba terpidana dan keluarga mereka. Pada 1966 misalnya, mereka mengajukan kasasi atas vonis itu tapi ditolak. Berikutnya mereka memohon grasi. Baru pada 1970 datang jawaban: permohonan grasi resmi ditolak Presiden. Setelah itu, upaya di luar jalur hukum mereka lakukan. Menurut cerita Ban Nio, keponakan Tiang Tjoen, dengan cara beternak ayam di LP, pamannya berhasil menabung hingga terkumpul uang sebanyak Rp 850 ribu. Uang itu kemudian diberikan, sebagai persekot, kepada seorang oknum yang berjanji bisa menolong terpidana dari hukuman mati. Tiang Tjoen pun sepekan sebelum eksekusi dilaksanakan, sempat berkirim surat kepada kakaknya Eng Nio, tentang perkembangan upaya di luar hukum itu. Tapi belum sempat balasan diterimanya ia sudah harus mati. "Yang menyakitkan, uang hasil jerih payah Mendiang di tahanan tidak ada artinya. Eksekusi tetap dilaksanakan," kata Ban Nio. Bukan hanya pihak keluarga terpidana yang memprotes eksekusi setelah 25 tahun itu. Yayasan LBH Jakarta, misalnya, sehari sebelum eksekusi dilaksanakan, mengedarkan siaran pers yang isinya menentang pelaksanaan hukuman mati itu. LBH menyebutkan bahwa bentuk pemidanaan itu bertentangan dengan kaidah hak asasi manusia dan Pancasila. Lain daripada itu, tindakan tersebut, dari sudut ilmiah, juga tidak lagi dianggap mempunyai efek penangkal kejahatan atau membuat orang jera melakukan kejahatan. Apalagi ternyata eksekusi itu baru dilaksanakan setelah 25 tahun kejahatan itu terjadi. Malah, setelah 17 tahun grasi ditolak -- Kusni Kasdut dan Henky Tupanwael dieksekusi tiga bulan setelah grasinya ditolak. "Selama kurun waktu itu sudah tecermin apakah terpidana memang berbahaya bagi masyarakat atau tidak. Dan setelah melewati waktu sebegitu lama, secara sosiologis, masyarakat juga sudah lupa pada kejahatan yang dilakukannya," kata Luhut Pangaribuan yang menandatangani siaran pers itu. Pendapat Luhut didukung sepenuhnya oleh pengacara kawakan Yap Thiam Hien. "Saya sangat tidak setuju dengan hukuman mati dari dulu, untuk kejahatan apa pun juga. Menurut norma agama, tidak ada penjahat sekaliber apa pun yang tidak mungkin bertobat," ujar Yap. Ia juga tidak sependapat bahwa hukuman berat semacam itu akan menyebabkan orang lain takut berbuat kejahatan. "Sudah ratusan tahun hukuman mati dilaksanakan, tapi kejahatan selalu ada. Dibunuh, ada lagi yang baru, dibunuh lagi, muncul lagi...," kata Yap. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Prof. Dr. Sahetapy, mengaku sangat terkejut atas pelaksanaan hukuman mati di Karawang itu. "Bayangkan saja, orang yang telah dijatuhi hukuman mati 25 tahun lalu, dan menunjukkan kesan sudah bertobat, tak tahunya harus mati dieksekusi juga," kata Sahetapy, yang meraih gelar doktor dengan disertasi Ancaman Pidana Mati untuk Pembunuhan Berencana. "Itu penyiksaan yang sangat berat." Menurut Sahetapy, pelaksanaan hukuman mati, ditinjau dari berbagai penelitian, tidak menunjukkan ada efek positifnya. Dua negara bagian di Amerika Serikat, katanya, yang satu melaksanakan hukuman mati dan yang lainnya tidak, telah membuktikan hal itu. Ternyata, di negara bagian yang melaksanakan hukuman mati, kejahatan malah naik, sementara di negara bagian yang tidak, grafik kejahatan mendatar saja. "Di Indonesia, setelah Kusni Kasdut dan Hengky Tupanwael ditembak mati, kejahatan malah naik, sehingga perlu di'petrus'," tuturnya. Sebab itu, katanya, dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan datang, hukuman mati dikeluarkan dari KUHP dan dimasukkan ke paket khusus. Seperti juga dalam diskusi pro dan kontra hukuman mati, tidak semua ahli hukum anti hukuman mati (TEMPO 16 Februari 1980). Hakim Agung Bismar Siregar, misalnya, menganggap hukuman mati masih perlu dipertahankan. "Biarlah orang lain berpendapat lain, tapi bagi saya hukuman mati itu harus ada, karena dalam imanku Islam, Tuhan mewahyukan hukuman mati itu ada. Selama masih ada manusia yang lebih binatang daripada binatang, hukuman mati itu perlu," kata Bismar, yang memang dikenal kontroversial itu. Vonis hukuman mati itu, kata Bismar, tidak dimaksudkan agar oranglain jera, tetapi sadar. Jera dan sadar itu berbeda. Jera, menurut konsep Barat, artinya kapok. Sedang sadar berarti orang itu menyadari bahwa ia bersalah. Dan kalau orang itu sadar, begitu pendapat Bismar Siregar, kemudian menjalani hukuman, juga berarti ia sudah menebus dosanya. "Dalam hukuman mati, kalau ia sadar dan kemudian menjalani hukumannya, maka ia bebas dari dosa dan masuk surga," katanya. Bismar memang tidak sendirian. Ketika eksekusi hukuman mati dilaksanakan terhadap Oesin Baffari, Kusni Kasdut, dan Henky Tupanwael, 1980, angket TEMPO menunjukkan, 61% responden di 9 kota besar di Indonesia menyatakan setuju hukuman mati untuk salah satu kejahatan. Yakni subversi, korupsi, dan pembunuhan berencana. Pada angket tiga tahun kemudian pilihan responden berubah. Mereka menyatakan lebih setuju bila para koruptor kelas berat yang ditembak mati (19,03%), ketimbang perampok (6,42%). Artinya, orang lebih suka koruptor ditembak mati ketimbang Lazarus dan Tiang Tjoen. Tapi mengapa begitu lama baru ada eksekusi? "Ini memang pertama kali terjadi belum pernah sebelumnya eksekusi hukuman mati tertunda sekian lama," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, M. Hasan, penanggung jawab eksekusi tersebut. Pihaknya, kata Hasan, masih mempelajari keputusan yang sudah berusia 25 tahun itu. Dan, ujarnya kepada Hedy Susanto dari TEMPO, "Kebetulan saja eksekusinya di zaman saya, sehingga saya harus mengumpulkan serpihan sejarah." Karni Ilyas, A. Ulfi (Jakarta), Agung Firmansyah (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus