GEREJA yang sudah 52 tahun itu di tepi Danau Toba. Ketika acara Minggu 28 Oktober lalu, sekitar 200 jemaat HKBP di Desa Lottung, Simalungun, berdesak-desak di gereja 8 x 17 meter tersebut. Biasanya, dihadiri antara 20 jemaat. Hari itu di mimbar Ir. Posma Situmorang, 48 tahun, tampil berkhotbah. Matanya, lewat jendela, terkesiap ke lima tugu keluarga marga Batak yang mengitari gereja. Ia berhitung: paling tidak kelima tugu setinggi 6 meter itu total biayanya Rp 100 juta. "Saya tak tahu apakah kita menempatkan adat dalam posisi nomor satu, lalu Yesus di tempat kedua," ucap Posma. Khotbah dengan tema begitu memang sudah lama tak terdengar di tengah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Sejak 18 hingga 31 Oktober lalu di pelbagai gereja HKBP, di Tapanuli, tema itu muncul lagi, yang dikoordinasi Departemen Zending HKBP Pusat -- dan diberi nama evangelisasi. Sekitar 60 petugas dikerahkan. Tim meliput anggota Badan Pendukung Pelayana Zending HKBP Cabang Jakarta, yang rela mengeluarkan biaya sendiri. Sejumlah gereja HKBP di Tapanuli dan Simalungun jadi sasaran inti. "Itu tugas mengkristenkan kembali orang Kristen," ujar Ephorus (pucuk pimpinan) HKBP Pusat, Dr. A.E. Nababan, 54 tahun, pada TEMPO. Ide evangelisasi itu mengendap sejak 1980-an di dalam tubuh HKBP. Sasarannya internal. Katanya, umat Kristen semakin jauh dari Alkitab, terutama di Batak. Satu contoh di Lottung yang 191 km dari Medan itu. "Orang lebih suka membangun tugu daripada memugar gereja," ujar Sintua A. Sinaga, 63 tahun -- voorhanger (kepala pengetua) di gereja tersebut. Membangun tugu marga, kata Sinaga, sebenarnya bertolak dari ajaran Pelbeg -- kepercayaan animisme. Dalam adat Batak yang berimpit dengan Pelbegu, kedudukan orangtua yang sudah meninggal sangat dihormati. Misalnya, pada upacara mangongkal holi atau membongkar makam dan tulangnya dikubur lagi ke makam baru yang bertugu lebih megah. Para anak cucu lalu minta berkat agar hidup sejahtera. Di sepanjang jalan negara di Tapanuli Utara, contohnya, ribuan tugu marga bagai "monas" kecil, tegak di tengah persawahan. "Itu kebiasaan Pelbegu, bukan Kristen," kata Nababan, ayah tiga anak itu. Terjadinya bencana alam di Tapanuli belum lama ini, malah tak mendesak mereka "mengadu" ke gereja, melainkan banyak yang "lari" ke Pelbegu. "Mereka menangis dan memohon pada trinitas dewata, Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan, agar tak lagi menurunkan bencana itu," ujar Direktur Departemen Zending HKBP Pusat, Pendeta A. Siahaan, 48 tahun. Ketika tenggelamnya KM Saur Nauli di Danau Toba pada 13 April 1986, kemudian diliputi suasana non-Kristen. Setelah tim SAR gagal mencari sebagian korban yang tenggelam, yang dipanggil malah datu alias dukun. Gondang sabangunan dipalu untuk menyembah Putri Paraek Sitio-tio dan Paraek Sanyiang Naga -- si "penguasa" danau. Kristen masuk ke Tanah Batak pada 1861. "Adat yang berbau animisme harus diinjilkan," kata Nababan, bekas Ketua Umum PGI Pusat itu. "Misalnya, tempatkan gondang sebagai alat hiburan yang mengiringi kita sewaktu manortor atau menari." Jika itu jadi alat memanggil roh, HKBP melarang gondang masuk gereja. "Kami mau menerima adat tetapi isinya sudah dinapasi kekristenan," ujar Nababan. Menurut uskup Katolik untuk Wilayah Tapanuli dan Nias, Dr. A.B. Sinaga, 46 tahun, HKBP sebagai salah satu sekte dari Protestan lebih dulu 73 tahun dari Katolik masuk ke Tapanuli. HKBP berhadapan dengan "sistem dan dunia kafir" -- karena itu mengambil batas yang jelas terhadap adat Batak, agar survive. Katolik melihat bahwa semua yang baik itu berasal dari Allah. Jika adat Batak ada yang mengandung nilai kebaikan, itu juga dari Allah, bukan dari kafir," ujar Sinaga. Contoh dari dia: monoteisme, yang dianut orang Batak dengan Pelbegunya, adalah "sepercik api Kristiani" . Pelbegu, katanya, mengenal Tuhan yang bernama Mula Jadi Nabolon alias "Asal Mula dari yang Ada". Melalui Konsili Vatikan II pada 4 Desember 1963 di Roma, Katolik merumuskan inkulturisasi, mempribumikan ajaran. Maksudnya: Katolik menyusup pada nilai kebaikan yang terdapat di mana pun (juga dalam adat), lalu dimurnikan, sesuai dengan embusan Iman. Menurut uskup Katolik di Medan, Mgr. A.B. Datubara, 53 tahun, Katolik tak memusuhi adat Batak. "Banyak yang positif, misalnya, sistem kekerabatannya," katanya. Agar tak jatuh ke kompromi dan permisif terhadap nilai kekafiran, Katolik membikin pagar dengan piramida iman. Di piramida ini, disusun pertingkatan kekudusan. Yang paling tinggi: Bunda Maria. Bahkan pada tingkat lebih bawah ditemui yang beriman, hanya tak terlalu aktif dan tak menjalankan ajaran agama. Penampilan Katolik berani menyusup ke dalam adat. Sinaga, 1978, memimpin upacara mamorot horbo alias mempersembahkan kerbau kepada para dewata di Danau Toba, dan dia memakai doa-doa Katolik -- dalam bahasa Batak. Belakangan penganut Pelbegu itu memeluk Katolik. Sinaga menolak inkulturisasi itu sekadar strategi untuk menjaring orang masuk Katolik. "Ini prinsip," katanya. HKBP juga merasa melakukan inkulturisasi itu. "Buktinya, nama sekte kami Huria Kristen Batak Protestan," kata Nababan. "Tapi jika kompromi dengan nilai kekafiran, kami menolak," katanya tegas. Laporan Biro Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini