Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sepatu hakim dan sepatu mimi

Kasus mimi yang melempar sepatunya pada hakim saat sidang adalah "contempt of court". di indonesia, yang menganut hukum eropa kontinental, merasa perlu mencangkokkan pasal contempt of court.

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"RAJA adil raja disembah, raja lalim raja disanggah." Itulah ungkapan lama di khazanah budaya kita. Nilai demokratis yang dikandung ungkapan itu tidaklah tercermin dalam konsep contempt of court yang berlaku di negara-negara Barat, khusus yang menganut hukum Anglo Saxon. Di konsep negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Persemakmuran, sudah diasumsikan bahwa tidak akan ada hakim yang tidak adil. Rupanya, di situ tak ada "hakim lalim hakim disanggah". Jabatan hakim adalah yang paling mulia. Ia dipilih dari orang-orang pilihan. Seorang hakim, kecuali dituntut berpengetahuan luas -- melebihi keterampilan penegak hukum lainnya -- juga punya integritas yang tak tercela. Ia tidak saja harus bebas dan kekuasaan lain, tapi juga tidak akan tergoda oleh uang, wanita, bahkan ancaman sekalipun. Hakim, yang kadang-kadang dilukiskan sebagai wakil Tuhan di muka bumi, diharapkan menjadi ultimum remedium (senjata pamungkas) yang akan membabat semua ketidakberesan di bidang lain. Semua bagian di masyarakat boleh kotor dan bobrok, tapi lembaga peradilan selalu harus bersih. Sehingga ada ungkapan di sana, kalau orang melecehkan jabatan hakim, sang hakim akan berucap, "Seandainya Anda berdiri di sepatu saya." Artinya kira-kira begitu berat beban yang harus dipikul seorang hakim. Ketika suatu kali saya berkesempatan menghadiri sebuah persidangan di negara Anglo Saxon, saya merasa seakan sedang mengikuti sebuah upacara keagamaan yang khusyuk, ketimbang sidang pengadilan. Semua hadirin berdiri hormat ketika aba-aba terdengar dan hakim yang akan memimpin sidang keluar dari balik dinding ruang sidang -- bukan dari pintu pengunjung -- dengan toga kebesarannya dan rambut palsu (wig). Ia seperti makhluk asing yang diturunkan dari planet lain, khusus mengadili perkara tersebut. Ia seakan-akan lepas dari pribadinya dan berada di atas semua pihak. Ia bagaikan pastor yang sedang berdiri di altar gereja memimpin misa. Ia sangat tertib dan serius mengikuti perdebatan pihak-pihak yang berperkara. Jika pengacara mengutip sebuah buku, sang hakim, dibantu panitera, segera mengambil buku yang sama -- di mejanya berjejer buku yang berhubungan dengan perkara yang tengah ditanganinya -- lalu membalik halaman yang disebut si pengacara. Di pihak lain, pengunjung sidang juga tertib duduk di kursi masing-masing. Tidak seorang pun duduk seenaknya, apalagi mengobrol atau merokok. Juga tidak ada yang berani keluar-masuk ruang sidang tanpa membungkukkan badan lebih dulu kepada hakim. Memotret terlarang, baik di sidang pidana maupun perdata semata-mata untuk tata tertib dan tak ada hubungannya dengan asas praduga tak bersalah. Pelanggaran atas segala tata tertib itu bisa dituntut berdasarkan pasal-pasal contempt of court. Bagaimana di Indonesia? Negara kita tidak menganut hukum dari negara Anglo Saxon. Hukum di negara kita berasal dari Eropa Kontinental. Maka, memotret di ruang sidang, misalnya, bukan hal yang tabu di sini. Kendati demikian, orang tidak bisa pula seenaknya di sidang pengadilan, apalagi sampai merendakkan martabat pengadilan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam hukuman penjara untuk orang yang membuat gaduh di persidangan, tidak mengindahkan panggilan hakim, merobek pengumuman pengadilan, sampai ke perbuatan menyuap hakim. Walau begitu, pembuat undang-undang masih merasa perlu mencangkokkan pasal contempt of court di perangkat perundang-undangan kita. Pada penjelasan Undang-undang tentang Mahkamah Agung, 1985, tercantum pentingnya dibuat undang-undang contempt of court, demi tercapainya suasana yang sebaik-baiknya dalam penyelenggaraan pengadilan dan penegakan hukum. Lahirnya ide, "mencangkokkan" perundang-undangan negara Anglo Saxon erat hubungannya dengan insiden-insiden dalam perkara subversi Tanjungpriok dan pengeboman BCA di akhir 1985. Dalam perkara H.M. Fatwa, misalnya, tim pengacara serentak meninggalkan sidang ketika majelis menolak permintaan mereka menghadapkan Ali Sadikin sebagai saksi. Persidangan terpaksa ditunda gara-gara tertuduh Fatwa ikut-ikutan keluar ruangan. Sekalipun contempt of court baru ide, toh sudah ada "korban". Dialah Pengacara Buyung Nasution, yang dianggap merendahkan martabat pengadilan, ketika mencoba menginterupsi majelis yang sedang membacakan vonis perkara subversi H.R. Dharsono. Akibatnya, Buyung diskors dari jabatan pengacara selama 1 tahun. Penghinaan terhadap pengadilan sebenarnya sudah lama mencemaskan. Orang tidak hanya menyepelekan perintah atau putusan pengadilan, terutama perkara perdata, tapi juga berani mencemarkan kehormatan pengadilan dan menyerang hakim secara fisik. Lembaga peradilan pertama yang mencatat penyerangan fisik dari pencari keadilan adalah Pengadilan Negeri Bandung. Ketika seorang ibu, pada 1972, nekat menyerang majelis dan jaksa dengan gunting, gara-gara majelis hanya menghukum percobaan pengemudi yang menubruk mati anak wanita itu. Setelah itu, penyerangan fisik terhadap hakim dan pengadilan semakin menjadi-jadi. Tahun 1980, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, seorang yang kalah dalam perkara perdata bahkan nekat mencabut pistol, lalu menembak pengacara lawan dan mencoba pula membunuh hakim yang membacakan vonisnya. Di Pengadilan Negeri Lahat, majelis hakim diserbu saksi pelapor bersama puluhan pengikutnya, sehingga majelis babak belur dan gedung pengadilan berantakan. Peristiwa yang mirip juga terjadi di berbagai tempat. Puncaknya terjadi Agustus lalu, ketika seorang wanita muda, Mimi Lindawati, nekat mencopot sepatunya dan melemparkannya ke arah Hakim Abdul Razak, yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara untuk Nyonya Nani, lawan Mimi. Tentunya, Mimi tidak bermaksud mengatakan "seandainya hakim memakai sepatu saya". Mimi, yang mengaku telah menyuap Razak 2,5 juta, merasa hukuman untuk Nani, orang yang menipunya, terlalu ringan dan tidak sesuai dengan janji sebelumnya. Tuduhan Mimi belum tentu benar, tapi tindakannya mungkin lambang penghinaan paling pahit sepanjang sejarah pengadilan kita. Di atas semua itu, penghinaan terpahit yang diterima hakim adalah tuduhan menerima suap. Celakanya, tuduhan yang menyakitkan itu kini menjadi mode, dan dilontarkan pesakitan di berbagai pengadilan. Di Pengadilan Negeri Surabaya, Pesakitan Mansur Subagio menuding Hakim Mutojo menerima suap sebanyak Rp 5 juta. Tuduhan-tuduhan suap itu belum tentu benar. Tapi pengadilan sendiri sudah membuktikan bahwa ada hakim-hakim yang menerima suap dari pencari keadilan. Akibatnya, hakim-hakim itu dipecat. Pertanyaan yang menarik kini: kenapa begitu banyak orang yang menghina hakim? Mereka yang menghina mungkin akan menjawab: "Hakim adil hakim disembah, hakim lalim hakim disanggah." Lalu apa kata hakim yang terhina menghadapi contempt of court semacam itu? Hakim Surabaya, Mutojo, konon berucap, "Bangsat, kamu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus