HARGA sebuah pertunangan ternyata tidak murah. Timothius Sumantoro dihukum Pengadilan Negeri Wonosari, Yogyakarta, membayar ganti rugi Rp 15 juta, Selasa pekan lalu. Pasalnya, lelaki 23 tahun itu memutuskan pertunangannya dengan seorang bernama Yuni, 21 tahun, secara sepihak. Warga Gunungkidul, di Yogyakarta itu bersama ayahnya, Hardjosuwardi, sebagai tergugat kedua, dihukum oleh Hakim Hadris Tammu membayar Rp 12 juta untuk ganti rugi atas kehormatan dan masa depan Yuni. Ditambah ganti rugi sebanyak Rp 3 juta karena tergugat telah mencemarkan nama baik orangtua si gadis. Untuk menjamin agar ganti rugi itu terlaksana, hakim memerintahkan pembeslahan dua buah rumah berikut pekarangan milik kedua tergugat. Semua ini bermula ketika awal tahun ini Sumantoro dan Yuni bertatap pandang di sebuah gereja. Dari acara misa pertemuan berlanjut di sebuah toko sepatu di Wonosari. Akhirnya, keduanya jatuh cinta. Entah bagaimana awalnya, kedua asyik-masuk itu saling mengaku masih perawan. "Kalau Mas tidak yakin saya masih perawan buktikan setelah kita tukar cincin kelak," begitu kira-kira janji Yuni, seperti dikatakan Sumantoro alias Suman. Singkat cerita, pada Maret 1987 mereka bertunangan. Upacara tukar cincin dihadiri 100 undangan, dikukuhkan oleh Pendeta Alfius Suwandi dari GKJ (Gereja Kristen Jawa) Wiladeg. Tetapi, justru setelah di jari manis mereka ada sebuah cincin, Suman mengeluh dan curiga karena Yuni sering berkencan dengan laki-laki lain. Ia konon khawatir calon istrinya itu tidak perawan lagi. Mungkin karena sikap curiga Suman, Yuni mengajak tunangannya membuktikan keperawanannya. Menurut Suman, terjadilah itu sebulan kemudian, yakni pada April. "Tapi saya terkejut, kok tidak ada tanda-tanda dia masih perawan," ujar Suman, anak pedagang yang tampan. Anehnya, hubungan layaknya suami istri itu tetap berjalan terus. Sampai suatu sore Juli 1987, tiba-tiba Suman mengajak Yuni menghadap Pendeta Alfius Suwandi. "Karena pendeta yang mendoakan pertunangan kami, maka saya ingin hubungan kami putus pula di depan pendeta," pinta Suman kepada Pendeta itu. Waktu itu, "Saya sangat kaget, tapi saya diam saja," ujar Yuni, lulusan SMEA, karyawati di Pemda Gunungkidul. Empat hari setelah itu, Suman bersama seorang temannya datang ke kantor Yuni membawa surat persetujuan pemutusan pertunangan di kertas bermeterai Rp 500. Yuni menolak menandatanganinya. Bahkan, kemudian ia menggugat Suman ke pengadilan. Hakim Hadris ternyata sependapat dengan penggugat. Kata dia, Suman telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menurut yurisprudensi MA, 1986, kata hakim, seorang lelaki yang berjanji akan mengawini seorang wanita dan sudah kumpul kebo kemudian memutuskan hubungan dengan alasan si wanita tidak pantas dikawini, adalah perbuatan yang melanggar norma-norma hukum. Mendengar putusan itu, Sumantoro dan ayahnya kontan berdiri. Sembari menudingkan tangannya ke arah hakim, dengan lantang katanya, "Saya tahu hakim telah disogok." Harjosuwardi, sambil mengentak-entakkan kaki ke lantai dan tangan mengacung ke atas, menyambung kata-kata anaknya, "Hakim tidak adil...." Suasana sidang bertambah tegang ketika kakak kandung Sumantoro mengamuk. Brak, kursi yang tadinya diduduki Sumantoro ditendangnya terjungkal. Yuni dan ayahnya, sebagai penggugat, menerima baik vonis hakim. "Semula saya ingin masalah ini diselesaikan secara baik-baik, tapi pihak sana tetap menolak," tutur Yuni, yang berkulit hitam manis itu. Sementara itu, pengacara Suman, J.C. Sudjami, S.H., yang tidak hadir ketika putusan itu dibacakan menyatakan naik banding. "Putusan hakim itu melebihi dari yang diminta penggugat," ujarnya. Penggugat dalam gugatannya tidak meminta agar tergugat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mencemarkan nama baik. Tapi vonis hakim menjadikan hal itu dasar untuk hukuman ganti rugi. Syahril Chili, Slamet Subagyo, dan Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini