Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Amien Rais
Sejak Israel didirikan pada 1948 dengan bantuan PBB lewat konspirasi Amerika, Inggris, dan Rusia, Ariel Sharon tidak pernah absen dari panggung perang dan politik di Timur Tengah. Sharon, 77 tahun, yang kini terbaring tanpa harapan akibat perdarahan otak massif, termasuk salah satu pendiri Israel bersama nama-nama seperti David Ben Gurion, Golda Meir, Menachem Begin, Yitzhak Rabin, dan Shimon Peres.
Sepanjang sejarah konflik Arab-Israel, para tokoh politik Israel dapat digolongkan menjadi dua haluan. Yang pertama adalah kelompok kanan yang bercita-cita membangun Israel Raya dan memandang Tepi Barat sebagai tanah Biblikal Judea-Samarea yang tak pernah mau menerima kehadiran Negara Palestina. Yang kedua, kelompok kiri yang berpendapat penolakan Arab terhadap Israel disebabkan langkah-langkah Israel yang ekspansionistis. Penolakan Arab itu dapat diatasi bila Israel mau mengembalikan wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 agar Negara Palestina dapat didirikan. Ariel Sharon termasuk tokoh berat kelompok kanan yang riwayat politiknya ditandai dengan antipati tanpa henti terhadap bangsa Palestina. Sharon pernah menjadi Menteri Pertahanan (1981–1983) pada zaman Menachem Begin dan dicopot sebagai menteri karena membunuh ratusan orang Palestina di pemukiman Sabra dan Shatila.
Pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang melanggar hukum internasional didorong dan difasilitasi oleh Ariel Sharon, terutama makin meningkat pada 1990-an tatkala Sharon berturut-turut menjadi Menteri Konstruksi dan Perumahan dan Menteri Infrastruktur Nasional. Pemikiran Sharon dan Partai Likud, partai ultra-kanan yang didirikannya 33 tahun lalu, cukup jelas. Bangsa Arab-Palestina harus didesak terus dari tanah airnya agar menjadi Arab Diaspora menggantikan Yahudi Diaspora.
Bagi masyarakat Yahudi Israel, Sharon adalah sosok pemimpin yang dapat diandalkan dalam segala jenis cuaca politik. Skandal korupsinya dan korupsi anaknya tak mampu menggoyahkan kepercayaan masyarakat Israel. Ditambah dengan kepiawaiannya membangun hubungan yang hangat dengan Washington, kepercayaan masyarakat Israel bertambah besar.
Sosok yang dikagumi dan dipuji oleh Israel itu, di dunia Arab dan dunia Islam sangat dibenci dan dikenal sebagai penjagal manusia. Dia disebut butcher of Beirut, butcher of Sabra and Shatila, dan Dracula of this Century. Dari tokoh-tokoh Hamas (kekuatan yang makin populer di Tepi Barat dan Jalur Gaza) sampai Ahmadinejad, Presiden Iran, kelumpuhan Sharon disambut dengan antusias disertai doa kematian.
Sampai menjelang Agustus tahun lalu tidak tampak tanda-tanda Sharon akan berubah arah. Namun, pada akhir musim panas tahun lalu itulah Ariel Sharon mengguncang politik Israel khususnya dan Timur Tengah umumnya dengan memutuskan secara sepihak pengosongan seluruh Jalur Gaza dari pemukiman Yahudi. Juga, empat pemukiman besar di Tepi Barat harus dibongkar dan untuk pertama kalinya Sharon menyatakan menerima Negara Palestina merdeka sambil mengisyaratkan Yerusalem timur dapat dikembalikan ke Palestina.
Bukan itu saja. Sharon keluar dari Partai Likud dan mendirikan Partai Kadima. Kadima berarti maju atau datang, mirip kata Arab qadiman yang juga berarti maju atau datang. Langkah Sharon ibarat gempa politik karena tiba-tiba ia berbalik arah ”mengkhianati” prinsip-prinsip politiknya selama ini.
Sekalipun jumlah masyarakat Israel yang menentang balik kanan (U turn) Sharon lumayan signifikan, terutama dari kelompok ultra-kanan dan teman-temannya di Likud, agaknya arus utama masyarakat Israel dapat menerima perubahan radikal kebijakan Sharon. Terbukti Kadima yang belum seumur jagung itu dalam berbagai jajak pendapat diperkirakan akan merebut sekitar 40 dari 120 kursi Knesset (parlemen) atau dua kali yang akan diperoleh oleh masing-masing Partai Buruh dan Likud sendiri.
Sharon tidak pernah menjelaskan mengapa ia berbalik arah 180 derajat. Tetapi dapat diduga gempa politik yang diciptakannya itu didasarkan atas pandangannya yang makin realistis. Sampai kapan pun Israel tidak dapat hidup tenang dengan memelihara terus-terusan permusuhannya dengan bangsa Palestina dan dunia Arab. Lewat saling hujat, saling demonisasi, saling nihilisasi, dan saling mendelegitimasi antara Israel dan Palestina, kedua pihak terperangkap dalam lingkaran setan tanpa akhir.
Sharon pasti menangkap dengan baik bahwa Roadmap menuju perdamaian yang ditawarkan Presiden Bush tidak mungkin terlaksana kalau Israel tidak menerima prinsip land for peace. Tidak bisa tidak, Israel harus mundur dari wilayah Palestina yang diduduki sejak perang 1967 dan berkoeksistensi dengan Negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.
Masalahnya kini, Sharon sudah lumpuh permanen dan mustahil dapat kembali ke panggung politik. Andaikata tetap hidup, tetap saja Sharon sudah tiada lagi. Israel tanpa Sharon menjadi semakin semrawut. Ada kemungkinan Kadima segera kempis dan akan bersaing ketat dengan Likud dan Buruh dan hal ini tentu mempersulit tentang siapa yang harus menarik Israel ke depan. Sementara itu, partai-partai kecil seperti Herut, Tehiya, Tzomet, Moledet, dan lain-lain hanya akan berfungsi sebagai timun bungkuk, masuk ke koalisi tidak menggenapkan, keluar pun tidak mengganjilkan.
Bibi Netanyahu, pemimpin Likud sekarang, sedang mencoba mengambil hati masyarakat Israel dengan menyanjung Sharon sambil menerangkan betapa sesungguhnya tidak ada perbedaan prinsipil antara dirinya dan Sharon. Padahal, Sharon keluar dari Likud karena Bibi keras kepala menentang kebijakan barunya. Pada pemilu di akhir Maret nanti, pertarungan Netanyahu (Likud), Amin Peretz (Buruh), dan Ehud Olmert (Kadima) diduga tidak akan menghasilkan pemenang telak sehingga menjadikan masa depan Israel tidak begitu jelas. Kemungkinan besar Shimon Peres sudah sulit dijual kembali.
Netanyahu barangkali lebih cerdik dari kedua pesaingnya. Pengalamannya sebagai perdana menteri menambah bobot politiknya di mata rakyat Israel, ditambah dengan artikulasinya serta penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Ibrani yang jarang dimiliki oleh para pemimpin Israel yang berumur 50 tahunan, mereka yang seangkatan Netanyahu.
Bila ia sampai menang, paling mungkin ia akan kembali ke ”aslinya”, yakni tidak akan mundur dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, tidak akan membongkar satu pemukiman pun, dan akan membangun kembali pemukiman yang sudah dibongkar. Netanyahu termasuk dalam kategori elang ganas (archetypal hawk) yang mengambil garis keras tanpa kompromi.
Di pihak lain, situasi politik Palestina barangkali lebih semrawut. Mahmud Abbas, pengganti Yasser Arafat, terbukti sangat lemah kepemimpinannya. Fatah, faksi terbesar di tubuh PLO pada zaman Arafat dulu, kini mengalami proses penyempalan tanpa harapan. Di atas itu semua, makin terkuak korupsi yang melanda kebanyakan tokoh Fatah. Tidak keliru jauh jika dikatakan bahwa sebagian tokoh Fatah menjadikan derita Palestina sebagai komoditas politik belaka.
Saya punya pengalaman pahit di sebuah seminar tentang masa depan Palestina yang diselenggarakan oleh PBB di Wina, Austria, pada 1994. Hampir semua peserta yang berdatangan dari segala penjuru dunia bersimpati pada perjuangan Palestina. Namun, pada sesi terakhir, sesi puncak, ketika dibacakan hasil-hasil seminar, tiga orang delegasi PLO tidak hadir dan memilih mengobrol santai di sebuah kafe. Bukan main!
Masa depan Otoritas Palestina (belum menjadi Pemerintah Palestina) makin lama makin tidak menentu. Hamas yang menentang perdamaian dengan Israel tambah hari tambah kuat dan makin memperoleh simpati rakyat Palestina. Diperkirakan 40 persen konstituen Fatah akan mengalihkan suara mereka ke Hamas pada pemilu 25 Januari ini sebagai aksi penolakan terhadap korupsi tokoh-tokoh Fatah. Melihat kemungkinan besar Hamas akan jadi pemenang pemilu, tokoh-tokoh Fatah berusaha menunda pemilu.
TIMUR TENGAH
Peta Timur Tengah yang sangat erat terkait dengan perkembangan politik di Israel kebetulan kini juga sedang tidak menentu. Iran sudah membuka kembali kegiatan reaktor nuklirnya tanpa menggubris keberatan Amerika. Presiden Ahmadinejad tidak pernah mau mencabut pernyataannya bahwa Israel harus dilenyapkan dari peta bumi. Ia menolak politik apartheid nuklir Barat yang diterapkan pada Iran.
Irak setelah diduduki Amerika bukan menuju ke demokrasi, tetapi malah menjadi neraka bagi demokrasi. Bom bunuh diri menjadi kejadian normal. Sebagai musuh bebuyutan Israel, Irak, di bawah kendali siapa pun, tetap akan menentang Israel. Sampai sekarang Amerika belum tahu bagaimana cara keluar dari kemelut Irak secara terhormat (graceful exit).
Suriah juga gonjang-ganjing. Presiden Suriah Bashar Assad tampaknya akan dikaitkan dengan pembunuhan PM Libanon Rafik Hariri oleh tim investigasi PBB. Sebuah fenomena sangat aneh, di kawasan tempat pembunuhan politik sudah menjadi peristiwa biasa, kesungguhan PBB—tentu dimotori Amerika—untuk menuntaskan kasus pembunuhan itu tentu ada udang di balik batunya. Besar kemungkinan Amerika ingin menggebuk Suriah yang dianggap sebagai tempat penampungan para pemberontak Irak.
Mesir juga menyaksikan perkembangan politik yang mengejutkan. Al-Ikhwan al-Muslimun, yang para kadernya ditakuti Israel karena perlawanannya yang paling sengit terhadap Zionisme, kini memborong seperlima kursi parlemen Mesir. Al-Ikhwan menjadi kekuatan oposisi terhadap Husni Mubarak yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Amerika di Mesir.
Ketika Ariel Sharon, sang buldoser peperangan, ingin menjadi buldoser perdamaian, cuaca politik Timur Tengah berubah agak cerah. Di penghujung akhir hidupnya, Sharon ingin mengikuti jejak para pendahulunya seperti Sharett, Levi Eshkol, dan Abba Eban. Ketiga tokoh Zionis ini tidak pernah percaya ada solusi militer bagi konflik Israel-Palestina. Memang, terdengar tidak masuk akal, tokoh berat pembangunan pemukiman Yahudi akhirnya membongkar pemukiman itu secara besar-besaran.
Namun, kini Sharon sudah lenyap dari panggung politik Timur Tengah. Bersamaan dengan lenyapnya Sharon, situasi Israel makin tidak jelas dan negara-negara kunci di kawasan itu kebetulan memang semakin rawan.
Sekarang terpulang kepada para pemain utama di Timur Tengah dan pemain paling utama di kawasan itu, yakni Amerika, untuk tidak memperuncing masalah yang sudah cukup eksplosif. Jangan pula dilupakan bahwa inti masalah yang berupa ketidakadilan terhadap bangsa Palestina harus secara pelan-pelan diakhiri.
Roadmap for Peace yang diajukan Presiden Bush relatif masuk akal dan relatif adil karena hak-hak asasi bangsa Palestina diakomodasi dengan baik. Hanya saja, masalahnya, bisakah Bush meretas jalan baru dan segar dan tidak sekadar ”napak tilas” para Presiden Amerika sebelumnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo