Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang pemuda di Batu, Jawa Timur, ditangkap atas dugaan tindak pidana terorisme.
Kelompok radikal menyasar anak muda.
Anak mudah gampang dipengaruhi dan militan.
DETASEMEN Khusus 88 Antiteror Polri menangkap seorang pemuda di Kota Batu, Jawa Timur, akhir Juli lalu. Tuduhan: terlibat tindak pidana terorisme. Polisi menyebut pemuda 19 tahun bernama Hamzah Omar Khaled itu terpapar radikalisme dan tengah menyiapkan serangan teror. “Dugaan sementara terprovokasi propaganda Daulah Islamiyah secara online melalui Internet atau media sosial,” kata Kepala Bagian Rencana Administrasi Densus 88 Komisaris Besar Aswin Siregar, Senin, 5 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aswin mengatakan tim Densus 88 mengawasi gerak-gerik Hamzah sejak beberapa bulan terakhir. Ia memperkirakan pemuda itu terpapar paham radikalisme sejak November 2023. Indikasinya, Hamzah mengikuti grup premium berbayar yang memuat berbagai informasi tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Di grup itulah ia belajar cara merakit bom dan mencari tahu bahan-bahan apa saja yang dibutuhkan.
Dari hasil pemeriksaan, polisi mengetahui Hamzah berencana melancarkan serangan bom bunuh diri menggunakan bahan peledak jenis triacetone triperoxide (TATP) dengan sasaran dua rumah ibadah di Kota Batu. Barang bukti yang disita polisi, antara lain, satu botol bahan peledak TATP ukuran satu liter, cairan kimia H2SO4, lima jeriken cairan kimia aseton ukuran satu liter, satu dus paket berisi aseton, dan satu jeriken ukuran 30 kilogram berisi hidrogen peroksida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, sebuah tas ransel hitam berisi alat-alat, seperti ketapel, jarum kurung, suntikan, botol kecil merek TMT, hand spray, dan stoples berisi gotri. Semua bahan tersebut dibeli oleh Hamzah secara daring menggunakan uang jajan yang diterima dari orang tuanya.
Tim Bidlabfor Polda Jatim dan Inafis Polres Batu membawa sejumlah barang bukti di rumah kontrakan terduga teroris di Junrejo, Batu, Jawa Timur, 1 Agustus 2024. ANTARA/Irfan Sumanjaya
Penangkapan orang yang diduga teroris tiba-tiba saja menyeruak. Tren peristiwa yang berhubungan dengan serangan teroris cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Bahkan tahun lalu, polisi sama sekali tak menemukan serangan teroris. Sementara itu, pada 2022, hanya ada satu serangan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Sektor Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat; dan pada 2021, tercatat ada enam peristiwa.
Serangan kondusif itu memuncak ketika para pentolan Jamaah Islamiyah menyatakan pembubaran organisasi pada 30 Juni 2024. Dalam video yang beredar, mereka menyatak kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan mematuhi hukum positif Indonesia, bukan syariat Islam yang selama ini mereka cita-citakan.
Menurut Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris, meski belakangan ini terorisme melandai, penyebaran radikalisme tetap harus diwaspadai. "Di permukaan memang terlihat landai, tapi di bawah sangat kencang," ujarnya.
Penyebar radikalisme ini menyasar kelompok-kelompok rentan, termasuk remaja. Bahkan kelompok remaja dianggap aset yang sangat potensial karena mudah dipengaruhi dan militan. "Kita perlu menguatkan ideologi Pancasila kepada anak-anak," ujar Irfan.
Pendapat serupa disampaikan oleh pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti. Menurut dia, terorisme di Indonesia memang belum redup. Tahun lalu, meski tidak ada serangan teror, tim Densus 88 menangkap 142 tersangka tindak pidana terorisme. Bahkan, pada Juli lalu, tidak kurang dari 25 tersangka yang ditangkap.
Serangan teror yang cenderung menurun belakangan ini dinilai berkorelasi dengan kondisi ISIS di Timur Tengah. Pendapat itu disampaikan oleh peneliti dari Indonesian Terrorist Watch, Al Chaidar. Menurut dia, kekuatan ISIS saat ini memang melemah. Paling tidak hal itu terlihat dari aktivitas mereka yang menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun bukan berarti kelompok ini benar-benar hilang. “Justru dalam periode senyap tersebut, penyebaran mereka makin mengakar,” katanya.
Chaidar khawatir penyebaran radikalisme di Indonesia justru meningkat dalam kondisi seperti ini. "Saya melihat penanganan terorisme ini memang tidak begitu serius, pemerintah cenderung memakai kontra-narasi," ujarnya.
Juru bicara Densus 88 Antiteror Mabes Polri, Brigadir Jenderal Aswin Siregar (kanan), dalam konferensi pers di gedung Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, 5 Agustus 2024. Dok. Humas Polri
Pemerintah cenderung mengandalkan penguatan ideologi nasionalisme untuk melawan kelompok radikal. Padahal jelas-jelas kelompok radikal menentang ideologi tersebut. Dengan demikian, cara ini tidak bisa digunakan kepada mereka yang sudah terpapar. "Kontra-narasi itu tidak efektif dan harus segera diganti dengan kontra-wacana," ujar dia. “Artinya, harus ada perspektif baru yang ditawarkan kepada mereka, alih-alih memberi tawaran yang jelas bertolak belakang.”
Sekretaris Jenderal Yayasan Dekat Bintang dan Langit (DeBintal) Hendro Fernando mengatakan penyebaran radikalisme lewat media sosial perlu diwaspadai. Sebab, selama ini kelompok radikal kerap menjadikan media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi. “Sasarannya anak-anak muda,” kata mantan narapidana teroris itu.
Hendro masuk penjara karena terbukti terlibat kasus teror bom di sekitar Plaza Sarinah, Jakarta, pada 2016. Saat itu ia menjadi bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS. “Anggotanya rata-rata berusia di bawah 30 tahun,” kata dia. Untuk menggaet anak-anak muda ini, tidak terlalu sulit. Mereka mudah dipengaruhi oleh konten-konten menarik seputar peperangan ISIS di Timur Tengah. “Mereka yang terpapar tidak langsung diminta untuk melakukan aksi bunuh diri.”
Anak-anak muda yang sudah terpapar itu akan menjalani proses doktrinasi melalui pencucian otak. Di sinilah ditanamkan keyakinan bahwa membunuh mereka yang berbeda pemahaman adalah amalan wajib untuk menuju surga. Dia menduga Hamzah yang ditangkap Densus 88 di Batu juga menjalani proses yang sama.
Pakar keamanan dan terorisme dari Universitas Indonesia, M. Syauqillah, mengatakan remaja memang rentan terpapar radikalisme. Hal itu karena remaja berada pada masa transisi. Remaja menjadi pengguna media sosial terbanyak dan pada saat bersamaan kelompok radikal menyebarkan ideologi mereka di media sosial. "Untuk mencegah remaja terpapar, penting untuk memasukkan moderasi agama di sekolah," ujarnya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong mengatakan penyisiran aktif terhadap konten-konten radikalisme telah dilakukan oleh Kementerian Kominfo. Ia mencontohkan, selama periode Januari-4 Agustus 2024, ada 5.823 konten yang terindikasi menyebarkan radikalisme. Namun Kementerian Kominfo tidak memiliki wewenang menyatakan konten tersebut masuk kategori radikal atau tidak. "Yang berhak adalah BNPT," ucapnya.
Karena itu, kata Usman, data-data yang diperoleh Kementerian Kominfo akan diserahkan kepada BNPT. Setelah BNPT menyatakan konten tersebut mengandung unsur radikal, barulah Kementerian Kominfo memblokir media yang memuat konten tersebut. "Pada 2017, misalnya, kami pernah memblokir Telegram selama satu pekan karena isu radikal," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo