Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI asal Partai Pembangunan Persatuan (PPP) Arsul Sani, mengatakan polemik status justice collaborator mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menunjukkan adanya persoalan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Arsul polemik tersebut menandakan pentingnya Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. "Dari penjelasan menteri tadi itu kenapa urgensi RUU Pemasyarakatan itu harus segera dilakukan. Supaya politik hukum ke depan itu jelas," kata Arsul dalam rapat kerja bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 22 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sistem peradilan pidana, kata Arsul ada tiga kotak utama. Yaitu, penyelidikan-penyidikan, penuntut, dan pengadil. Adapun kotak keempat, kata dia, adalah lembaga pemasyarakatan.
Menurut Arsul kotak penyidik-penyelidik, dan penuntut seharusnya diatur agar tidak ikut berbaur dalam urusan lembaga pemasyarakatan. Bila pun kotak lain ikut campur, menurut Arsul, maka yang boleh hanya kotak pengadil.
"Jadi tidak ada ke depan bagi politik hukum kita, kotak penyidik, penyelidik itu ikut campur terhadap kotak yang keempat," ujarnya.
Sebelumnya status justice collaborator dipersoalkan dalam pemberian cuti menjelang bebas atau CMB kepada Nazaruddin. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM berargumen bahwa Nazaruddin telah memenuhi persyaratan, termasuk menjadi justice collaborator yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun KPK menyanggah hal tersebut. Melalui juru bicara mereka Ali Fikri, KPK membantah pernah memberikan status justice collaborator kepada Nazaruddin.
Menanggapi Arsul, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan setuju untuk mengatur lagi sistem pemidanaan Indonesia. Menurut politikus PDIP ini, salah satu yang harus dibenahi adalah penggunaan kewenangan dari tiap penegak hukum.
Yasonna menyebut yang bisa membatasi hak seseorang hanya pengadilan dan Undang-Undang. Pun penetapan seseorang menjadi justice collaborator katanya, bukan menjadi kewenangan Ditjen PAS Kemenkumham.
"Jadi itu yang kadang-kadang berbeda tafsiran dan penggunaan kewenangan. Harus kita dudukkan pada sistem integrated criminal justice system itu tadi," ujarnya.