Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Asmara Meninggalkan Sengketa

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA tak ada hubungannya dengan pemain sinetron Anjasmara atau aktivis hak asasi manusia Asmara Nababan. Ia datang dari masa lalu, tak dikenal di masa kini, kecuali oleh spekulan tanah di Bogor, Jawa Barat. Hajah Asmara namanya, atau biasa disebut Nyi Asmara. Wafat pada 1933—tahun lahirnya bahkan tak diketahui dengan pasti—dialah penguasa 44 hektare tanah di kota madya dan kabupaten Bogor. Peninggalannya terserak di Kecamatan Cibuluh, Tanah Sareal, serta Cilebut. Kini beberapa di antara tanah itu menjadi sumber sengketa.

Yang terakhir jadi omongan adalah sengketa tanah 5,7 hektare di Jalan Soleh Iskandar, Kedung Badak, Bogor Utara—tanah yang telah 20 tahun jadi rebutan.

Enam ahli waris Hajah Asmara bersatu padu melawan PT Bangun Adi Graha—perusahaan yang belakangan menjual lagi tanah itu kepada PT Matahari Putra Prima, perusahaan kakap pemilik toko retail Hypermart.

Sedianya supermarket itu akan dibuka di lokasi sengketa akhir Januari lalu. Malang bagi PT Matahari, Mahkamah Agung menyatakan tanah itu milik keturunan Asmara. Toko itu urung dibuka, bahkan sebagian gedung yang sudah dibangun diratakan dengan tanah.

Perihal Hajah Asmara, bahkan anak keturunannya pun menjelaskan nenek buyut mereka dengan meraba-raba. ”Siapa suaminya, saya juga tidak tahu,” kata Muhammad Hatta, 61 tahun, cucu Asmara. Tak ada pula foto yang menyimpan kenangan tentang sang nenek. Satu yang tersisa adalah setumpuk kertas bukti jual-beli tanah yang sudah lapuk.

Hatta sebenarnya bukan cucu langsung Nyi Asmara. Perempuan itu tak punya anak. Kakek Hatta, Ali Muchtar, adalah salah seorang saudara Nyi Asmara. Hatta menampik suara-suara yang menyebut neneknya kaya lantaran jadi gundik Belanda. ”Dia tidak pernah kawin dengan Belanda,” katanya. Bersama lima saudaranya, Hattalah kini penggenggam surat jual-beli tanah milik sang Nyi.

Berdasarkan bukti jual-beli itu, terungkap bahwa neneknya punya tanah segunung sejak 4 Desember 1913. Ketika itu, Nyi Asmara memborong ratusan petak tanah milik Haji Maskun, kakak iparnya, yang tersebar di Cilebut (16 petak), Cibuluh (75 petak), Kedung Badak (39 petak), dan puluhan lain di Cimanggu. Di atas sebagian lahan itu kini tumbuh pelbagai kompleks perumahan.

Menjelang ajal, Asmara membuat surat wasiat untuk Abdul Hamid bin Taheran. Yang terakhir ini bukan siapa-siapa kecuali orang yang dipercaya Asmara menjaga tanah dan harta miliknya. Isi wasiat itu: jika Asmara meninggal, semua harta harap diserahkan kepada ahli warisnya. Oleh Pengadilan Landraad, Bogor, pada 1934, diputuskan bahwa yang dimaksud ahli waris adalah Sabeni, kakak laki-laki Nyi Asmara. Sial bagi Sabeni, saat putusan itu keluar, ia sedang merantau ke Sumatera.

Inilah yang menyebabkan Abdul Hamid dan anak-anaknya menguasai tanah itu. Baru pada 1951, Sabeni muncul. Tapi tanah kadung dikuasai Abdul Hamid. ”Mereka menganggap Nyi Asmara telah menguasakan tanah itu kepada mereka,” kata Hatta. Sayang, Tempo tak berhasil menemui anak-cucu Abdul Hamid untuk meminta konfirmasi.

Keadaan semakin runyam ketika pada 12 Mei 1952 Sabeni menghibahkan warisan itu kepada keponakannya, Agus Gani—yang tak lain dari ayah Hatta. Di pihak lain, Abdul Hamid dan anak-anaknya terus ”mempreteli” tanah itu dengan menjualnya ke mana-mana. Sebagian tanah di Jalan Soleh Iskandar, misalnya, dijual kepada PT Bangun Adi Graha, yang kemudian menjual lagi—sebagian tanah itu—ke PT Matahari Putra Prima, pemilik Hypermart. Agus Gani membawa kasus ini ke pengadilan dan sengketa tanah warisan ini bergulir terus hingga Januari lalu Mahkamah Agung memenangkan keturunan Asmara.

Tapi cerita tidak berhenti di sini. Belakangan, PT Bangun Adi Graha membawa kasus eksekusi itu ke meja hijau. PT Matahari pun tak tinggal diam. ”Kami akan terus mempertanyakan keabsahan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Kota Bogor. Sebab, secara sah kami telah membeli lahan tersebut dari PT Bangun Adi Graha,” kata L. Micheal Shah, kuasa hukum PT Matahari. Hatta optimistis tanah itu akan tetap ia miliki. ”Karena memang tinggal kami pemilik sah warisan itu,” ujarnya.

Di Bogor, Asmara pergi membawa sengketa.

Dimas Adityo, Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus