MALANG tak dapat ditolak, peluru tak bisa ditangkis. Mas'ud, bocah tiga tahun yang belum mengerti hijaunya daun, Jumat pekan lalu tewas tertembak di Modung, Bangkalan, Madura. Kepalanya terkoyak sedemikian rupa sampai darah dan otaknya muncrat ke tembok. Maklum, ia terkena peluru dari senjata api laras panjang, yang ditembakkan dari jarak hanya beberapa meter. Tersangka penembak, Kopda Ersad, 26, kini ditahan di Polres Bangkalan. Dia mengaku telah salah tembak. "Tadinya saya mau menembak ke atas, supaya orang-orang yang ada di pasar itu jangan terlalu ramai," katanya kepada Masduki Baidlawi dari TEMPO. Hari itu memang merupakan hari pasaran di Modung, hingga suasana pasar memang ramai bukan main. Lagi-lagi inilah ulah hamba hukum yang seharusnya memelihara ketenteraman. Apa pun sebabnya, akhir-akhir ini peluru nyasar terjadi di banyak tempat. Adapun si kecil Mas'ud, pagi itu, kebetulan sedang berdiri di muka Balai Desa Modung, yang terletak di seberang pasar. Ayahnya, Sukan Arifin, yang menjabat kepala desa di situ, sedang menerima tamu di ruang kerjanya. Tak lama muncul Kopda Ersad. Tiba di depan pasar, ia memarkir sepeda motornya dan sambil menyiapkan senjata api laras panjangnya, ia berjalan menuju depan balai desa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi "Dor!", beberapa orang yang kebetulan berada dekat Mas'ud tahu-tahu melihat anak kecil itu terkapar, kepalanya berdarah. Tahu apa yang terjadi, Arifin, sang ayah, langsung semaput. Hari itu juga nyaris terjadi tindakan balas dendam. Beberapa famili Arifin sempat mencari Mahmudah, istri Kopda Ersad yang juga punya anak berumur tiga tahun, untuk dihabisi. Untung, niat itu tak terlaksana, karena keburu dicegah oleh anggota keluarga yang lain. Ersad sendiri tak mungkm dicari, karena sudah lari menyerahkan diri ke Polres Bangkalan. Akan halnya Ersad, konon sudah punya nama buruk di kawasan ini. Ia dikabarkan sering mengutip uang dari para pengemudi kendaraan, terutama mobil omprengan. "Sopir-sopir Colt di kecamatan sini, boleh dibilang tak ada yang lepas dari cengkeramannya," ujar Haji Nawawi, salah seorang tokoh masyarakat Modung. Dan di dinding pasar, memang ada coret-coret yang ditujukan kepada Ersad. Bunyinya, antara lain: "Kapten doyok Ersad, rakyat muak dengan sikapmu. Segera pergi." Lain lagi berbunyi, "Awas, Ersad lari dari rumah sakit gila." Dan ini, "Singkirkan Ersad." Tak jelas sejak kapan tulisan itu tercoret. Ersad sendiri, akhir-akhir ini, mengaku agak berang. Bukan karena tulisan-tulisan tadi dan juga bukan karena anggapan masyarakat terhadap dia. Melainkan, karena ia mendengar ada Marinir yang mencari dirinya entah untuk urusan apa. Lalu, katanya, dua hari sebelum kejadian ia mendapati ban sepeda motornya seperti ada yang mengiris dengan celurit. Kurang jelas adakah itu semua yang lalu mendorongnya untuk main tembak. Tapi, polisi yang enteng tangan menarik picu senjata tak hanya di Bangkalan. Indra K. Yunus, 27, juga tertembak lengan dan dada kirinya di Depok, Bogor. Pemuda itu memang sial betul. Sore itu, 13 Februari lalu, dengan langkah terburu-buru, ia melintasi lapangan bola - dan langsung ditangkap petugas berpakaian preman. Rupanya, sedang dilakukan penyergapan atas tersangka pemeras yang menamakan diri dari Organisasi Gerakan Rahasia (OGR), di daerah itu. "Saya meronta, karena saya pikir mau dirampok," kata Indra, aktivis gereja, yang memang sedang berduit karena memborong mendirikan rumah. Tapi, segala pembelaan dirinya sia-sia saja. Ia diseret, lalu ditembak -- sebab, dianggap hendak melawan. Dia juga mengaku diludahi segala, saat diangkut ke rumah sakit. YANG tak kalah menyakitkan, karena sewaktu ia diangkut ke rumah sakit Cipto, petugas yang mengantar mengatakan bahwa yang mereka bawa adalah penjahat yang mencoba melarikan diri. "Keterlaluan. Saya menuntut agar nama anak saya direhabilitir," ujar Pelis Yunus, ayah Indra. Kapolres Depok, Letkol M. Ismail, mengakui bahwa telah terjadi salah tangkap dan salah tembak. "Saya sampai menangis. Saya 'kan manusia juga. Bagaimana tidak sedih melihat orang tak bersalah kena tembak?" katanya. Tersangka penembak, katanya, kini berada dalam sel. Dua hari sebelumnya, 11 Februari, Asep Wawan di Bandung telah sial lebih dulu. Ayah dua anak itu tewas kena peluru nyasar saat naik bemo. Ia tertembak secara telak: kena di pipi kanan dan peluru terus bersarang di otak. Peluru itu ditembakkan seorang oknum Polantas, Serda Dadan, yang jengkel terhadap seorang pengemudi mobil yang melanggar lalu lintas. Polantas tadi segera mengejar dan bergelantungan di pintu mobil yang dikejarnya. "Saya lihat, dia mencabut pistol dan menembak. Ternyata, tembakannya salah sasaran," tutur Feri, teman korban yang melihat langsung kejadian itu. Korban lain adalah Inyo Risakota, 25, dan Sujana, 21, di daerah Kuta, Bali. Juga gara-gara pelanggaran lalu lintas. Inyo, Kamis dua pekan lalu, membonceng sepeda motor seorang rekan. Mereka disemprit polisi karena tak memakai helm, tapi tak mau berhenti. Kopda Sumar lantas mengacungkan pistol. Niatnya menembak ban, tapi yang kena pinggang Inyo yang tembus ke perut. Peluru itu masih pula menyrempet telapak tangan Sujana, yang berdiri dekat situ. Untung saja, Inyo masih bisa ditolong. Dan, di Medan, Manahan Gultom, 21, tewas di tangan polisi karena diduga ia residivis yang bengal. Pihak polisi masih sempat mengirimkan bunga dukacita kepada keluarga korban, pagi, pukul 10.00, 12 Februari lalu. Tentu saja Monang Gultom, 57, ayah Manahan, kaget. Tak cuma itu, ia merasa terhina. Sebab, hari itu ia merasa tak ada kematian dalam keluarganya. Herannya, nama pengirim tak ada. Langsung kapten TNI AD purnawirawan itu mendatangi toko kembang yang mengiriminya bunga, dan lalu menjadi jelas. Pemesan bunga dukacita adalah Poltabes Medan, kira-kira satu jam sebelum bunga dikirimkan. Langsung bapak ini bergegas ke Kantor Poltabes di Jalan Durian, dan disambut seorang perwira yang tak ia ketahui namanya. Dari perwira itulah ia diberi tahu bahwa anaknya pagi dinihari ditembak polisi. Jenazah anak itu ada di RSU Pingadi, Medan. Benar. Dan Monang, yang menjadi tentara sejak 1954, tak hanya melihat empat lubang bekas peluru di tubuh anaknya. Tapi juga bengkak-bengkak biru, tampaknya bekas pukulan, misalnya di rahang, di bawah telinga, dan di pinggul kiri. Sebagai tentara ia langsung menganalisa: anaknya rupanya ditembak sewaktu tak lagi berdaya. Bekas peluru di pundak kanan tembus ke rusuk kiri, dan di pangkal lengan tembus dekat siku, antara lain, membuktikan tembakan dilakukan dari atas samping kanan. Jadi, anak itu tentunya sedang terkapar ketika tembakan dilepaskan. Dua pekan kemudian, setelah masa duka agak bisa dilupakan, Monang melaporkan hal ini langsung ke Kodam I Bukit Barisan di Medan. Ia diterima Kasdam, Brigjen Ali Geno. "Pihak Kodam akan menghubungi Polda," kata Monang menirukan janji yang diperolehnya. Adapun Manahan, oleh polisi, didakwa residivis yang telah melakukan 40 kejahatan di kawasan Perumnas Helvetia, tempat tinggalnya sendiri. Sementara itu, menurut keluarga korban, anak ketiga dari 6 bersaudara itu anak baik-baik, cuma kadang-kadang mencuri buah-buahan tetangga. Manahan, pemuda penganggur, putus sekolah di kelas III SMP, dan meski usianya sudah 21, teman mainnya adalah anak-anak SD dan SMP. Bahkan kemudian ada pernyataan dari 12 penduduk Jalan Melur, Perumnas Helvetia -- para tetangga Monang -- yang isinya, "Semasa hidupnya Manahan tak pernah berbuat onar dan kejahatan di kawasan Perumnas." Penanda tangan antara lain Karim, kepala lorong semacam ketua RT kalau di Jawa. Menurut sumber TEMPO di Polda Sumatera Utara, sebenarnya sudah ada petunjuk khusus perihal tarik senjata ini. Umpamanya, hanya dalam keadaan terpaksa. Dan yang disebut terpaksa, yakni, bila ada perlawanan, dan itu dianggap berbahaya bagi petugas. Selama belum dianggap mengancam jiwa, itu belum berbahaya. "Polisi 'kan sudah dibekali bela diri tangan kosong," kata sumber tersebut. Tapi, kata Letkol Daljono, Kepala Penerangan Polda Jawa Timur, teori dan praktek kadang jauh berbeda. Kondisi di lapangan bukan mustahil mempengaruhi emosi petugas. "Polisi itu manusia juga, tak lepas dari kekhilafan," katanya. Namun, bila kekhilafan itu sering terjadi, dan tampaknya merata di berbagai tempat, apa sebenarnya yang harus dilakukan? Untuk ini tak ada jawaban. Juga, berapa sebenarnya dalam tahun 1986 yang baru berlangsung dua bulan ini terjadi peluru nyasar. Berbagai Polda yang dihubungi TEMPO senada jawabnya. "Belum kami hitung," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Sumatera Utara, Letkol Yusuf Umar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini