Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hana Dan Mario

Ny. Hana, pejabat REI & pengurus Yayasan Presma ditemukan tewas bersama mario di dalam kamar mandi di Bungalo Pondok Gedeh, Cimacan. Kemungkinan korban pembunuhan atau karena gas co dari water heater. (krim)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan sebuah kematian biasa. Dua sosok tubuh ditemukan sudah tak bernyawa dalam kamar mandi di bungalo Pondok Gedeh, Cimacan, Jawa Barat. Yang satu, sosok seorang wanita berparas cantik, setengah baya. Yang lain, seorang pria atletis, berusia jauh lebih muda. Tak selembar pakaian melekat di tubuh mereka. Saat ditemukan Minggu siang 23 Februari lalu, si pria dalam posisi berjongkok. Lengan kirinya melingkari tengkuk si wanita -- seolah hendak mengangkat. Sedangkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, menutup lubang hidung -- agaknya ia mencium bau sesuatu. Si wanita, ternyata, bukan orang sembarangan. Dia adalah Nyonya Hana, Public Relation Real Estate Indonesia (REI). Ia juga pendiri dan pengurus Yayasan Presma (Pengarahan Remaja Siap Mandiri), sebuah yayasan yang memberikan pendidikan keterampilan bagi remaja putus sekolah di kalangan anggota polisi di Polda Jakarta. Prianya, tak lain Mario, bekas wartawan sebuah surat kabar terkemuka. Mario termasuk cukup tampan. Dan bertubuh tinggi. Keduanya berkenalan Desember 1985 lalu yakni, ketika Mario - sebagai fotografer freelance -- memotret Hana, untuk dimuat di majalah Infopapan terbitan REI. Maka berbagai dugaan muncul. Ini pembunuhan, ataukah sekadar kecelakaan. Banyak yang menduga, korban -- Hana khususnya -- tewas akibat pembunuhan dengan sebutir peluru di tengkuknya. Diduga ini perbuatan sebuah sindikat narkotik yang tak menyukai Hana -- ibu tiga anak. Ia, menurut isu yang lain, kemungkinan dibunuh di tempat lain dan baru kemudian mayatnya dibawa ke Pondok Gedeh, disatukan dengan mayat Mario. Tapi sejauh ini, polisi belum bisa memberi kepastian. "Semuanya masih dalam pengusutan," ujar Letkol Gumilar, Kapolres Cianjur, yang menangani kasus ini. Hanya satu hal sudah pasti: berdasar penelitian yang dilakukan, kedua korban tak mungkin tewas karena bunuh diri. Cerita peluru di tengkuk Hana, ternyata, tak pernah ada. "Kedua korban tewas dengan tubuh mulus. Tak dijumpai ada bekas penganiayaan, apalagi peluru di tubuh mereka," kata sebuah sumber. Kematian yang tak biasa memang mengundang dugaan yang bukan-bukan. Menurut beberapa saksi mata, Mario dan Hana tiba di Pondok Gedeh sekitar pukul 16.00 Sabtu, 22 Februari. Mereka mengendarai mobil Civic Wonder milik Hana. Pada pukul 20.00 pelayan mengantarkan makanan yang dipesan: sayur asam dan ikan emas goreng. Satu jam kemudian, si pelayan datang kembali untuk membereskan piring-piring dan sisa makanan. Itulah saat terakhir keduanya diketahui dalam keadaan hidup. "Malah mereka pesan agar sarapan diantar pukul tujuh esok harinya," tutur Sumardi, pelayan. Petugas bungalo menjadi curiga ketika sampai Minggu siang, suasana Pondok Sofyan yang mereka sewa tetap sepi. Pada pukul 12.30, hari itu 23 Februari, Sumardi mengintip dari jendela kamar mandi dan melihat kedua penyewa di pondok itu tergeletak tak bergerak-gerak. Polisi dipanggil dan langsung melakukan pemeriksaan. Kemungkinan korban tewas akibat pembunuhan tampaknya kecil. Hal itu diperkuat dengan hasil pemeriksaan bedah mayat yang dilakukan LKUI, Jakarta. Saat diperiksa, menurut sebuah sumber, tubuh kedua korban berwarna merah terang -- cherry red. Baik dalam darah maupun organ tubuh lain, seperti diduga, "Ditemukan gas CO - karbon monoksida," kata sumber tadi. Gas itu memang berbahaya. "Dalam konsentrasi 1%, CO mematikan dalam jangka waktu 30 menit, bila korban dalam keadaan istirahat. Tapi bila korban sedang melakukan aktivitas, kematian bisa lebih cepat," katanya. Di kamar mandi penginapan ini memang ada sebuah alat pemanas air (water heater) yang mengandung CO. Diduga, pipanya bocor. Atau, ketika keran dibuka, yang keluar adalah gas CO karena airnya tak ada. Yang menjadi korban pertama kali, kemungkinan besar, adalah Hana. Bisa jadi Hana yang menghirup CO, lalu berteriak minta tolong. Mario segera memburu ke kamar mandi, mencoba mengangkat tubuh Hana. Malang, gas itu juga terhirup olehnya dan ia ikut tak berdaya -- mati lemas. Hal seperti ini memang bukan hal yang mustahil. Saat musim dingin di Eropa, ketika salju turun dan angin kencang bertiup, ketika rumah rapat tertutup dan pemanas ruangan dihidupkan, menurut sumber yang lain, biasanya memang suka ada korban. "Karena pipa gas bocor, penghuni rumah yang sedang tidur menghirup gas tersebut hingga berakibat fatal," katanya. Hana bercerai dengan suaminya sekitar tiga tahun lalu. Wanita aktif itu, belakangan ini, dikabarkan hendak menikah -- bukan dengan Mario melainkan dengan seorang pria asal Semarang, temannya semenjak kecil dulu. Tapi dari Semarang konon muncul bantahan. Dan sejak pertemuan Desember lalu dengan Mario, mereka beberapa kali bertemu. Hana, menurut teman dekat Mario, menawari agar Mario kursus komputer dengan biaya dari Presma. Lulus kursus, Mario dijanjikan akan dipekerjakan di perusahaan milik Siswono, Ketua REI. Tapi Mario, yang berwatak keras, menolak. Dia malah ikut temannya menggarap proyek membuat foto di Semarang yang hasilnya lumayan. Tiga hari di Semarang, pada 22 Februari lalu Mario balik ke Jakarta bersama temannya itu. Agaknya, ia langsung menemui Hana dan kemudian bersama-sama menuju Cimacan untuk bermalam Minggu. Dan esok sorenya, kawan dekatnya itu kaget waktu dikabari Mario telah tewas. "Nyonya Hana orang baik. Dia benar-benar seorang pekerja sosial," komentar Mayjen Soedjoko, Deputi Kapolri bidang Administrasi. Dia mengenal Hana, karena ketika Yayasan Presma didirikan, ketika itu Soedjoko menjabat Kapolda Jakarta. Selain mendirikan Presma, kebaikan Hana terlihat saat gudang peluru Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, meledak, Desember 1984. Hana tak kenal lelah mengungsikan anak-anak dan ikut membantu penduduk, dengan mobilnya. "Waktu ditanya, dia bilang kasihan melihat anak-anak kecil," kata Soedjoko. Ia tak yakin Hana tewas karena dibunuh sindikat narkotik. Begitu pula Mayor Gordon Siadari, Wakil Kadis Krimtiksila Polda Jakarta. "Terlalu jauh menghubung-hubungkan kematiannya dengan kasus narkotik," ujar Gordon. Surasono Laporan Bunga Surawijaya (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus