BERWAJAH ketat, lebih dari lazimnya, dengan handy-talky di tangan, dan borgol di saku celana, para Satpam berserakan bersiaga menjaga semua pojok vital menjelang pintu masuk. Itulah, pemandangan seru, di kantor BNI 1946 Pusat, Jalan Lada, Jakarta Kota, Senin siang pekan ini. Selama 30 menit lebih, sejak pukul 14.00, memang ada brifing. Isinya: sampai akhir Maret ini, Direksi akan merumahkan sekitar 600 dari 2.500 karyawan kantor pusat lembaga keuangan terbesar pemerintah itu. Penjelasan yang menciutkan hati itu disampaikan secara serentak di semua divisi dan bagian oleh atasan unit masing-masing. Di Divisi Umum saja, misalnya, terhitung 10 Maret, sekitar 100 orang, menurut bunyi surat resminya, "dibebaskan dari kewajiban untuk hadir di kantor". Menurut surat pemberitahuan yang ditandatangani Kepala Divisi Umum Hartoko Tjokrojudo tanggal 1 Maret, upaya merumahkan karyawan ini berpangkal pada SK Direksi No. KP/051/DIR/R tanggal 21 Februari 1986. Intinya: Mereka yang dirumahkan tetap mendapat hak seperti gaji, dan berkewajiban menjaga hal-hal yang menyangkut rahasia bank. Dalam setahun, Direksi akan mengusahakan penempatan kembali para karyawan yang dirumahkan ini. Misalnya, disalurkan di pusat-pusat pelayanan listrik dan telepon yang baru, di kantor-kantor kas/cabang yang juga baru, atau anak perusahaan yang kelak akan dibentuk. Bagi yang bersedia berhenti atas permintaan sendiri, diberikan imbalan yang memadai, tanpa mengurangi hak pensiun. Langkah merampingkan jumlah karyawan ini, agaknya, tak terelakkan lagi. Meski gemuk dengan kekayaan Rp 8,5 trilyun, bank itu terseok menggendong beban hampir 12.900 karyawan. Deregulasi perbankan Juni 1983, yang membebaskan bank pemerintah menentukan sendiri tingkat bunga deposito, dan menghapuskan pagu kredit, menyebabkan BNI 1946 menghadapi kenyataan buram. Yakni, biaya naik, tapi laba turun. Dari laba Rp 92 milyar pada 1984, jadi Rp 36 milyar pada 1985. Tapi laba yang merosot itu, agaknya, bukanlah satu-satunya penyebab perlunya menciutkan pegawai. BNI 1946 sendiri mulai melaksanakan komputerisasi, untuk mempercepat pelayanan dan juga efisiensi. Komputerisasi ini, dalam rencana delapan tahun, mengakibatkan BNI 1946 kelebihan 1.500 karyawan. Akibatnya, "Kami tidak menutup kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja," kata Direktur Utama BNI 1946 Somala Wiria. (TEMPO 15 Februari 1986). Seorang pensiunan Direksi BNI 1946, yang enggan disebut namanya, mengatakan tindakan efisiensi seharusnya sudah dilaksanakan 12 tahun silam. Jadi, jauh sebelum ada deregulasi Juni 1983. Dengan Surat Edaran No. SE/010/Dir tanggal 4 Maret 1974 Direksi kala itu mencanangkan: perlu ditingkatkan pendayagunaan pegawai, dan kemungkinan merumahkan karyawan. Sehingga, bagi pensiunan Direksi ini, adalah aneh, "Mengapa beberapa tahun terakhir ini tetap menerima pegawai baru, dengan akibat seperti sekarang, ratusan karyawan terancam PHK." Benarkah? Dirut Somala Wiria, Senin pekan ini, tak masuk kantor. "Bapak sakit," ujar seorang staf sekretarisnya. Yang jelas menurut M. Chris Kaligis, Kepala Bagian Humas, tidak benar ada PHK. Brifing yang dijaga ketat Satpam itu, katanya, "Hanya soal reorganisasi biasa, dan pembagian tugas-tugas baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini