BERUNTUNGLAH akseptor keluarga berencana di Kota Bandung. Sebab, sejak awal Maret ini, mereka mendapat kartu rabat yang berlaku bila berbelanja, antara lain, di 9 toko, 125 apotek, atau memperbaiki kendaraan di tiga bengkel, dan, mematut diri di sebuah salon. Rabat itu berkisar 5%-10%. Kecuali pengusaha sebuah kolam renang, yang berani memberi potongan hingga 30%. "Dengan rabat itu, diperkirakan, tiap bulan pengusaha swasta Bandung memberi subsidi kepada para akseptor sampai Rp 141,5 juta," ujar dr. Ritola Tasmaya, Kepala BKKBN Kota Madya Bandung. Perkiraan Ritola ini dihitung berdasarkan jumlah akseptor di Kota Bandung yang jumlahnya hampir 115 ribu orang. Ditilik dari daya belinya, sekitar 28% akseptor itu adalah golongan mampu, sedang sisanya golongan menengah dan kurang mampu. Golongan mampu diperkirakan, di luar kebutuhan pokok, saban bulan berbelanja minimum Rp 15.000. Adapun golongan menengah dan kurang mampu, sebesar Rp 7.500 sebulan. Pemberian rabat bagi akseptor KB ini, memang, yang pertama di Indonesia. Cara itu boleh dikata tergolong program inovatif di bidang keluarga berencana. "Selama ini pendekatan yang dipakai disinsentif. Yakni, yang beranak lebih dari dua, misalnya, tidak mendapat tunjangan untuk anak ketiga dan seterusnya," kata Dr. Mulyamah Wignyadisastra, peneliti senior pada Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Unpad, yang disertasinya mengenai keluarga berencana di Indonesia. Kini, dengan pemberian rabat itu, pendekatan yang disisentif bergeser menjadi pendekatan insentif. Artinya, "Siapa yang mau menjadi akseptor memperoleh kemudahan (insentif) tertentu. Jadi, dari yang bersifat agak memaksa menjadi bersifat menawarkan," tambah Mulyamah. Gagasan memberi kartu rabat pada akseptor KB itu muncul pertama kali Desember tahun silam, dalam suatu rapat yang dihadiri BKKBN dan Kadinda Kodya Bandung, serta Kadinda Provinsi Ja-Bar. Pertemuan itu kemudian memandang perlu agar peranan swasta dalam program KB ditingkatkan. Dewasa ini, 36% dari seluruh akseptor KB di Bandung memasang alat kontrasepsi dan merawatnya di rumah sakit serta klinik swasta. "Kami ingin memperluas partisipasi kalangan swasta ini," ujar Ritola lagi. Maka, dibentuklah kerja sama dengan berbagai asosiasi pengusaha yang tergabung dalam Kadin Bandung, seperti Gabungan Pengusaha Farmasi, Badan Kerja Sama Pemilik Rumah Sakit Swasta, Asosiasi Pengusaha Pertokoan dan Pembelanjaan, serta Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia. Hasilnya, selain kalangan bisnis yang telah disebut tadi, turut pula memberi rabat sebuah taman wisata dan 7 buah rumah sakit swasta sebesar 10%, serta sebuah hotel memberi keringanan rekening 5%. Dalam perekonomian yang umumnya tergolong lesu seperti sekarang, "Dengan rabat itu, kami berharap dapat menggairahkan keinginan membeli," kata Rachman Oka, Ketua Kadinda Kodya Bandung. "Kecuali itu, para pengusaha melakukan promosi, sebagai konsekuensi ikut serta dalam program KB." Yang jelas, pemberian rabat bagi akseptor KB ini, agaknya, laik bagi masyarakat perkotaan. "Orang kota bersifat heterogen, individualistis, dan reaktif kalau dipaksa. Dengan iming-iming rabat itu, barangkali orang kota akan terbujuk menjadi akseptor KB," kata Ritola, yang juga Wakil Ketua DPD KNPI Ja-Bar itu. Tapi Mulyamah, dosen Fakultas Ekonomi Unpad itu, mengingatkan, pengusaha selalu pandai menutupi kerugiannya. "Rabat itu diberikan, bisa saja, setelah harga barang terlebih dulu dinaikkan," katanya. Jika ini terjadi, konsumen atau para akseptor KB itulah pula yang dirugikan. "Pendekatan insentif ini kelak masih perlu dievaluasi efektivitasnya," tambahnya. Evaluasi itu menjadi tambah perlu, terlebih, karena Dr. Haryono Suyono, Kepala BKKBN Pusat, berencana melaporkan program ini kepada Presiden Soeharto. Dan, seperti dituturkan Ritola, akan diusulkan menjadi program nasional KB di wilayah perkotaan. Saur Hutabarat Laporan Farid Gaban (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini