Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bahas Dwifungsi ABRI, Hendropriyono Usulkan Wajib Militer

Hendropriyono mengusulkan wajib militer dalam diskusi soal dwifungsi ABRI

13 Maret 2019 | 19.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah korban peristiwa Talangsari 1989 membentangkan spanduk saat melakukan audiensi di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin, 4 Maret 2019. Peristiwa Talangsari terjadi di Dusun Talangsari III, Lampung Timur pada tengah malam menjelang 7 Februari 1989. Kampung tersebut diserbu oleh tentara di bawah pimpinan Kolonel Hendropriyono yang mencari tokoh bernama Warsidi. Dalam insiden berdarah ini sebanyak 246 orang tewas, termasuk Warsidi. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Abdullah Mahmud atau A.M. Hendropriyono, punya pemahaman sendiri soal dwifungsi ABRI. Menurut dia, masyarakat sipil pun bisa menerapkan dwifungsi dengan mengusulkan ada wajib militer bagi masyarakat berusia 18 sampai 40 tahun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi Dwi fungsi bukan hanya ABRI dan Polri, tapi rakyat juga berdwifungsi, juga harus membela negara," kata Hendropriyono di sela-sela peluncuran buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu, 13 Maret 2019.

Dia menyatakan jika Pemerintah Indonesia tidak menerapkan wajib militer, maka pertahanan negara kalah dengan negara-negara kecil yang lebih dulu menerapkan wajib militer seperti Isrel.

"Semua harus latihan militer,  kita nanti keok, itu negara kecil-kecil jagoan itu, kayak Israel. Itu karena dwifungsi, semua rakyatnya pada latihan tentara (wajib militer),” kata dia.

Saat ditanya soal wajib militer yang mengekang rakyat sipil, ia justru menyinggung orang-orang yang menentang. Ia menyebut mereka sebagai kalangan liberal.

Hendro berpendapat tidak ada yang salah dengan dwifungsi Abri. Ia juga menyebut banyak yang belum paham dwifungsi Sehingga ketakutan adanya penempatan di jabatan-jabatan sipil.

“Dwifungsi itu ada dua pengertian. Pertama dwifungsi ontologis dan kedua dwifungsi teknis, itu yang dijabarkan di doktrin dalam kekaryaan. Karena itu direformasi pada 1998 kita gulirkan. Itu yang kita reformasi. Bukan dwifungsinya,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus