Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mengklarifikasi bahwa larangan menerbangkan drone tidak berkaitan dengan keberadaan ladang ganja yang terungkap di kawasan taman nasional itu. Menurut Kepala Balai Besar TNBTS Rudijanta Tjahja Nugraha, larangan menerbangkan drone hanya diberlakukan di jalur pendakian Gunung Semeru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun lokasi penemuan ladang ganja itu, kata Nugraha, berjarak 13 kilometer dari jalur pendakian Semeru dan 11 kilometer dari Gunung Bromo. “Larangan ini sebenarnya sudah ada sejak 2019. Itu bertujuan untuk menjaga fokus pendaki dan tidak membahayakan keselamatan karena jalur pendakian cukup rawan terjadinya kecelakaan,” kata Nugraha melalui pesan tertulis kepada Tempo, Rabu 20 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nugraha mengatakan di kawasan taman nasional selain jalur pendakian, pengunjung tetap bisa mendokumentasikan menggunakan drone dengan skema berbayar. Aturan mengenai tarif ini berlaku sejak 30 Oktober 2024.
Menurut Nugraha, penetapan tarif penggunaan drone tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024 tentang Jenis Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Lingkungan Hidup. “Jadi ini tidak berlaku untuk TNBTS saja, tetapi di seluruh Indonesia,” kata Nugraha.
Sejak kapan ganja di dalam Taman Nasional itu, dia mengaku tidak tahu persis. Yang jelas, dia menduga ganja tersebut sudah ditanam jauh sebelum terungkap pada September 2024.
Nugraha mengatakan baru terungkapnya keberadaan ladang ganja itu karena lokasinya yang sulit diakses. Selain itu, dia melanjutkan, ganja itu ditanam di antara semak belukar secara terpisah-pisah di 49 titik dengan total luas sekitar 1 hektare.
“Lokasinya kalau tidak dilihat secara seksama, tidak akan diketahui bahwa itu tanaman ganja. Dengan drone pun tidak akan terlihat kalau jaraknya terlalu tinggi,” ujar dia.
Sebelumnya, pengungkapan ladang ganja tersebut berlangsung pada pertengahan September lalu. Kasus ini sedang bergulir di Pengadilan Negeri Lumajang yang melibatkan lima terdakwa.
Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa, 18 Maret 2025, majelis hakim memeriksa terdakwa atas nama Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam dan Bambang bin Narto. Ketiganya merupakan warga Dusun Pusung Duwur, Desa Agrosari, Kabupaten Lumajang.
Di depan majelis hakim ketiga terdakwa mengaku memperoleh bibit ganja dari Edi. Edi juga mengarahkan di titik mana saja ganja itu harus ditanam. Edi disebut juga menyuplai pupuk.
Ketiga terdakwa mengaku saling mengenal karena masih tetangga. Bahkan Tono adalah menantu Tomo. Terdakwa juga mengaku bersedia menanam ganja di kawasan konservasi itu karena mendapat Rp 150 ribu setiap kali turun ke lokasi. Setelah panen, mereka dijanjikan uang Rp 4 juta per kilogram.
Edi juga yang mengajari mereka mulai dari cara menanam, memupuk hingga merawat tanaman ganja itu. "Setelah tanaman berusia empat sampai lima bulan, baru bisa dipanen," ujar Bambang di hadapan majelis hakim.
Saat persidangan lainnya, PN Lumajang memeriksa terdakwa Suwari bin Untung dan Jumaat bin Seneram. Keduanya juga warga Dusun Pusung Duwur. Agenda sidang yang digelar pada Selasa siang itu adalah pembacaan surat dakwaan. Satu terdakwa lain, Ngatoyo telah meninggal sehingga dakwaannya gugur.
Sosok Edi, yang masih kerabat Bambang, dikenal akrab oleh penduduk desa karena ia sehari-hari menjadi pengepul sayur yang dihasilkan warga desa. "Terakhir bertemu Edi, ya lima hari sebelum penggerebekan ladang ganja itu," kata Bambang.
Edi kini berstatus tersangka yang masih dalam pengejaran oleh pihak kepolisian. Kepala Sub Humas Polres Lumajang Inspektur Dua Untoro mengatakan polisi telah mengantongi foto Edi.
"Kami punya foto DPO ini. Upaya pengejaran secara maksimal masih terus kami lakukan," ujar Untoro, Rabu 19 Maret 2025.
David Priyasidarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Awal Mula Penemuan Ladang Ganja di Kawasan Bromo