HARUSKAH anak-anak menanggung hukuman seperti orang dewasa? Samakah tindakan kriminal mereka dengan kejahatan? Pertanyaan inilah yang akan dikaji Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI), yang lahir di Medan Rabu pekan lalu. ''Lembaga ini dibentuk karena hak-hak anak Indonesia selama ini belum diperhatikan khusus,'' kata direkturnya, Maiyasyak Johan. Seperti lembaga bantuan hukum lain, LAAI akan melakukan pembelaan secara sukarela kepada anak-anak yang tersangkut perkara kriminal. Sebagai gebrakan awal, LAAI menjemput kasus dengan cara membuka bulan pengaduan. Maiyasyak mengungkapkan keprihatinannya melihat proses hukum acara yang melibatkan tersangka anak-anak. Mulai dari penyidikan hingga persidangan, penanganannya sering tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah dan asas legalitas. Lebih menyedihkan, hakim umumnya lebih suka menjatuhkan hukuman badan ketimbang hukuman alternatif. Padahal, dalam KUHP dikenal hukuman alternatif yang memungkinkan anak dikembalikan kepada orang tuanya untuk dididik atau dijadikan anak negara. Mahadi, yang kini staf LAAI, pernah meneliti soal itu di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan pada 1988-1991. Ia menemukan bahwa dalam 246 kasus anak-anak, 241 vonis merupakan hukuman penjara. Hanya dalam lima kasus si anak dikembalikan kepada orang tuanya. Pertimbangan hakim menjatuhkan hukuman penjara, menurut Mahadi, klasik: untuk kepentingan si anak. Maksudnya agar terhindar dari lingkungan yang merusak. Latar belakang sosial anak-anak itu, menurut para hakim, tidak baik. Maka, di penjara, anak-anak itu diharapkan mendapat siraman rohani dan bekal keterampilan. Setelah mengamati kasus per kasus, Mahadi menemukan tiga hal yang mempengaruhi tindakan kriminal anak-anak. Faktor ekonomi, lingkungan, dan faktor kurangnya perhatian orang tua. Contoh kejahatan karena faktor ekonomi ditunjukkan kasus yang menimpa Ucok, 15 tahun. Pelajar SMP di Medan itu pada tahun 1988 dihukum 3 bulan gara-gara mencuri beberapa bungkus rokok. Anak penarik becak tersebut mencuri untuk menutupi tunggakan SPP (uang sekolah). Kasus Izal (nama samaran), yang dihukum 3 bulan pada tahun 1990 menunjukkan adanya pengaruh lingkungan. Anak yatim itu mencuri tape recorder agar bisa berfoya-foya seperti teman mainnya. Pergaulan memang faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku anak. Kasus Totok, 16 tahun, menunjukkan kurangnya perhatian orang tua. Ia dihukum 10 bulan karena mencuri kamera. Di persidangan, terungkap bahwa ayahnya sering pulang malam dan cekcok dengan istrinya karena kawin lagi. Akibatnya, anak-anaknya telantar. Menurut Mahadi, tidak tepat menangani terdakwa anak-anak seperti menghadapi penjahat. Namun dalam hukum acara kita memang belum diatur secara tegas pemisahan kejahatan anak dan orang dewasa. Karena itu, Mahadi menyarankan agar KUHP Anak-Anak, atau, Undang-Undang Peradilan Anak segera disahkan. Seruan itu sebenarnya bukan hal baru. Diskusi tentang perlunya peradilan anak merebak hangat tahun 1984 tatkala dua bocah divonis Pengadilan Negeri Denpasar, 2 tahun penjara. Mereka terbukti membunuh temannya. Usai menjalani hukuman, kedua bocah itu berubah menjadi pemurung. DPR menyesalkan hakim yang memvonis kedua bocah tersebut dengan hukuman penjara. Albert Hasibuan, anggota Komisi Hukum DPR ketika itu, menyebut tindak pidana anak-anak tergolong juvenile delinquency (kenakalan yang menjurus ke kejahatan). Ini tidak harus divonis dengan hukuman penjara. Ketika itu Albert sudah mengingatkan perlunya UU Peradilan Anak. Kalangan akademisi dan advokat mendukung imbauan ini. Ali Said, yang baru dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung, menanggapinya serius. ''UU Peradilan Anak bukan hanya prioritas, tapi prioritas utama,'' katanya. Rancangan undang-undangnya, konon, sudah disiapkan. Toh sampai kini RUU yang diprioritaskan itu belum juga dibahas DPR. Belum lama ini, ahli hukum pidana UGM, Prof. Bambang Poernomo, terdengar menyesalkan kemacetan itu. ''RUU ini sebetulnya hampir masak, tapi mengapa kini mentah lagi?'' katanya. ''Padahal keperluan lembaga khusus peradilan anak sudah mendesak.'' Sebagai perbandingan, Bambang menunjuk contoh di Belanda. Di sana ada probation officers, yang bertugas menangani kejahatan anak-anak tanpa memasukkannya ke penjara. Mereka adalah jaksa, pembela khusus anak-anak, pekerja sosial yang tergabung dalam sebuah lembaga musyawarah. LAAI belum menyamai lembaga probation officers itu. Namun sebagai langkah pertama, kehadirannya disambut banyak kalangan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Hakim Garuda Nusantara, mengharapkan LAAI di masa datang tak cuma mengangani peradilan anak-anak, tapi juga memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak. Misalnya mengatasi tindakan eksploitasi anak-anak. Ia mengambil contoh banyaknya pembantu rumah tangga anak-anak dan juga buruh anak-anak yang mengalami penyiksaan dan pemukulan. Celah ini perlu dilirik LAAI di samping peran litigasi tadi. Aries Margono, Leila S. Chudori, Sarluhut Napitupulu, Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini