Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bela Diri, Pak Camat?

Camat kotaagung, lampung selatan, sanusi menembak ahmad rozali hingga mati. pistol yang dipakai diduga senjata gelap. (krim)

7 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA berdarah itu berlangsung cepat sekali. Dalam beberapa detik, Abdul Baki menyaksikan kakak kandungnya, Ahmad Rozali, terkapar kena tembak di kepala. Sedangkan Sanusi, Camat Kotaagung, di Lampung Selatan, yang masih ada hubungan keluarga dengan korban, tergeletak. Dadanya terluka kena badik. Sampai akhir Desember lalu, Sanusi masih dirawat di Rumah Sakit Kartika Chandra. Telukbetung. Berdasarkan pemeriksaan sementara, kata komandan reserse kepolisian Lampung Tengah, Letnan Herry Heryanto, kejadian di atas bermula dari hati yang panas. Peristiwa itu terjadi di Desa Terbanggi Marga, Kecamatan Sukadana, Minggu 18 Desember 1983. Camat Sanusi, yang kebetulan pulang kampung, marah melihat seorang anak lelaki menyiangi rumput di ladangnya. Beberapa waktu lalu, 12 batang pohon rambutan di ladang itu memang ditebang orang. Secara tak langsung, tampaknya, Sanusi menuduh anak lelaki tadi, Fauzi, 14, yang masih punya hubungan darah, sebagai pela unya. Belum Jelas bagaimana mulanya, menurut Herry, camat itu membuang tembakan ke udara. Fauzi, anak Rozali, lalu mengkeret. Ia diam saja dimarahi. Pamannya, Abdul Baki, merasa tak enak. Sembari membawa golok, Baki menghampiri Sanusi. Tapi, konon, ia dihardik, "Jangan maju lagi. Kalau tidak, saya tembak!" Sekali lagi Sanusi menembakkan senjatanya, tapi Baki, seperti diakuinya kemudian kepada TEMPO, nekat maju. Pergumulan pun terjadi. Tiba-tiba terdengar bunyi sepeda motor. Yang datang, tak lain, Rozali, yang dikabari Fauzi tentang kejadian di kebun. Tanpa banyak cingcong, menurut Baki, Rozali menyerang. Ia menghunjamkan badik ke arah Sanusi. Bersamaan dengan itu, pistol Colt kaliber 38 di tangan Sanusi menyalak. Rozali pun roboh. Kepalanya tertembus. Ayah tujuh anak itu mati seketika. Kepada TEMPO, di rumah sakit, Sanusi mengakui bahwa dialah yang menembak korban. "Semuanya terpaksa saya lakukan untuk membela diri," katanya. Tembakannya, menurut Sanusi, baru dilepaskan setelah dirinya kena tusuk sampai tiga kali. Luka yang cukup parah adalah yang menusuk dada kirinya dan menyentuh paru-paru. Segera setelah terkena tusukan, kata Sanusi lagi, ia langsung muntah darah. Ia menduga, badik Rozali mengandung racun. "Sungguh, semula tak ada sedikit pun niatsaya menembak Rozali. Apalagi sampai membunuhnya," ujar Sanusi sedih. Antara dia dan keluarga Almarhum, katanya, selama ini tak pernah terjadi percekcokan atau permusuhan. Baki membenarkan hal itu. Untuk itulah, kabarnya, pihak Sanusi sudah mengadakan pendekatan terhadap keluarga Rozali. Meskipun demikian pihak Rozali, tampaknya, lelum berkenan persoalan ini diselesaikan secara kekeluargaan. Suasana panas belum mereda betul. "Kami orang tak punya., Entahlah, bagaimana cara menghidupi anak-anak ini..." kata istri Rozali, sambil menggendong Si bungsu. Hari itu, begitu cerita Sanusi, ia bersama Lukman - adik ipar yang merangkap sebagai sopir pribadi jauh-jauh datang ke Terbanggi Marga untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Pulang menghadiri acara hajatan, keduanya mampir di kebun, dan terjadilah peristiwa berdarah itu. Polisi, semula, hampir percaya ketika Minggu senja itu Lukman datang ke kantor polisi di Metro, sembari menyerahkan sepucuk pistol dan mengaku baru menembak orang di Terbanggi. Usut punya usut, ternyata, pengakuannya itu hanya untuk melindungi kakak iparnya. Sanusi sendiri tak pernah menyuruh demikian. Ia hanya menyuruh menyerahkan pistol itu dan minta dirinya dilindungi - siapa tahu ada yang hendak membalaskan dendam Rozali. Meski peristiwanya sudah cukup jelas, Letnan Herry kini masih mengadakan penyidikan. Perwira itu mempertanyakan pistol Colt kaliber 38 yang menghabisi nyawa Rozali. SenJata api itU, ternyata, tak terdaftar di kantornya. Namun, belum bisa dipastikan bahwa senjata api itu adalah senjata gelap. "Sanusi belum bisa dimintai keterangan karena masih sakit," kata Herry hati-hati. Sanusi mengaku, seperti dikatakannya kepada TEMPO, bahwa pistol miliknya sah. Pistol tadi, katanya, adalah senjata inventaris dari pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan. Ada sepucuk surat keterangan yang ditandatangani Mustafa Kamil, bupati yang lama, yang menyertai senjata api tadi. Tentang ini, pengadilanlah nanti, yang berhak menguji sah tidaknya pistol maut itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus