PARA pengedar narkotik di Sumatera Utara kini boleh berpikir-pikir untuk berganti haluan. Dua hari menjelan tutup tahun, 29 Desember, para abdi huum yang berkumpul di Medan sepakat memperberat hukuman bagi pengedar daun ganja khususnya dan narkouk pada umumnya. Pertemuan yang berlangsung di kantor Oditorat Militer Sumatera Utara itu dihadiri pejabat kejaksaan, pengadilan, oditorat militer, dan mahkamah militer. Istilah "memperberat hukuman" barangkali tidak tepat benar karena UndangUndang No. 9/1976 tentang kejahatan narkotik, sebenarnya telah mengancam hukuman mati atau seumur hidup disertai denda sampai Rp 50 juta bagi pelaku tindak pidana itu. Hanya saja, dalam penerapannya, para hakim dan jaksa sering menggantungkan ancaman itu tetap pada pasal-pasalnya saja. Alasannya, "Yang diadili itu biasanya cuma pengedar kelas teri, yang terpaksa berdagang barang terlarang karena desakan ekonomi," tutur Chabib Syarbini, ketua Pengadilan Negeri Medan, yang awal Desember lalu ditarik menduduki jabatan di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Di pengadilan yang dulu dipimpinnya, prakteknya, para terdakwa dalam kasus narkotik umumnya memang dihukum penjara dalam waktu "bulan-bulanan" saja. Sebuah sumber menyatakan bahwa di Pengadilan Negeri Medan, sepanjang tahun 1982, tercatat 82 kasus narkotik. Tahun berikutnya sampai November, ada 66 perkara. "Sebagian besar terdakwanya divonis kurang dari setahun," kata sumber itu. Hanya beberapa saja yang dihukum agak berat. Misalnya Aminuddin dan kawankawan, yang masing-masing dikenai hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500.000. Sedangkan suami-istri Bahtiar dan Cut Mariana hanya divonis 10 bulan penjara. Padahal, pasangan itu, menurut sumber TEMPO, diketahui sering mondar-mandir Medan-Penang mengurus bisnis gelapnya Ketika mereka ditangkap, d rumahnya ditemukan barang bukti berupa 160 kg lebih ganja kering- jumlah yang bisa menjadi petunjuk bahwa mereka bukan sekadar pengedar kelas teri. Meski begitu, di pengadilan, jaksa hanya menuntut hukuman setahun dan enam bulan penjara. Yang membuat berang kepala Kejaksaan Negeri Medan, Isban Burhanuddin, adalah jaksa ternyata tak berminat mengajukan banding. Isban sendiri yang akhirnya turun angan hingga, sebelum tenggang waktu habis, permohonan banding dari jaksa bisa masuk. Apa yang dilakukan jaksa Medan itu menuntut ringan dan enggan banding - terjadi pula di Jakarta. Jaksa di Jakarta sering memperingatkan rekannya yang menangani kasus narkotik untuk melakukan hal itu. Mereka khawatir terhadap keselamatan pribadi karena sindikat narkotik, menurut beberapa jaksa, biasa mengancam siapa saja yang tak disenanginya (TEMPO, 15 Oktober) . Para jaksa di Medan umumnya tidak merasa diancam. Anak buahnya, kata Isban, enggan mengajukan banding karena untuk menyusun memori banding perlu waktu. "Padahal, pekerjaan lain menumpuk, dan semuanya harus diselesaikan segera. Kami memang kekurangan tenaga, ujar Isban. Tapi, apa pun kekurangan yang ada, kini para jaksa dan oditur militer di Medan tclah bersepakat menuntut berat pelaku kejahatan narkotik. Hakim dan ketua mahkamah militer pun "bersatu": akan mcnjatuhkan hukuman berat. Chabib Syarbini terus terang mengaku, baru tahu bahwa masalah narkotik tak bisa dipandang enteng setelah mendengar pengarahan Pangkowilhan I, Letnan Jenderal Soesilo Soedarman Juli 1982 lalu. "Mata hakim jadi terbelalak, setelah diberitahu bahwa ada 'bahaya lain' mengancam di balik bisnis gelap narkotik," katanya kepada TEMPO. Sebab itu, katanya, hakim pasti akan menjatuhkan hukuman berat bila selama persidangan berlangsung bisa terungkap ada motif lain, misalnya motif politik. Kepala Oditurat Militer Sumatera Utara Letnan Kolonel M. Thaher, yang memimpin pertemuan, menyebut bahwa narkotik lebih jahat ketimbang pembunuh. "Korban pengedar narkotik adalah masyarakat luas yang bisa gila gara-gara kecanduan," katanya berapi-api. Kebetulan, Letnan Kolonel Thaher inilah yang menjadi oditur dalam perkara Aidi Syarifuddin. Bekas komandan Koramil Lawc Sigala-gala, Kotacane, Aceh Tenggara, itu didakwa membawa 25 kg ganja di mobilnya dalam perjalanan menuju Medan (TEMPO, 31 Desember 83). Barangkali sudah suratan nasib, Aidi menjadi "korban" pertama kesepakatan para penegak hukum. Selesai memimpin pertemuan, Thaher menghadiri sidang pengadilan, dan menuntut hukuman penjara seumur hidup serta denda Rp 10 juta. Keputusan majelis hakim nanti, sekitar awal tahun ini, akan mencerminkan apakah ia terikat atau tidak terhadap kesepakatan dengan oditur sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini